Kamis, 29 Mei 2008

POLITICAL MARKETING (Antara Kebutuhan dan Etika Politik)

Setiap organisasi apapun bentuknya memang harus perlu melakukan kegiatan marketing. Kegiatan marketing adalah suatu keniscayaan tentang suistanabilitas eksistensi suatu organisasi untuk bisa survive di tengah komunitas masyarakat. Hal tersebut penting untuk memahami bahwa produk apapun yang dihasilkan oleh suatu organisasi ia haruslah inheren dengan kebutuhan masyarakat. Dalam konteks apapun produk yang dihasilkan oleh organisasi ia haruslah memberikan value berupa konteks, content dan performance-nya sehingga memberikan penilaian berupa persepsi, pengertian, kepercayaan, support dan loyalitas konsumen terhadap produk. Memahami aspek marketing dalam suatu organissi haruslah menjadi suatu upaya bagi organisasi dan individu agar ia meletakkan substansi produk sebagai suatu keyakinan untuk memberikan pencitraan positif bagi organisasi dan individu tersebut. Sebab aktivtas marketing adalah suatu proses sosial sekaligus manajerial dari seluruh kegiatan usaha organisasi yang mengkombinasikan perencanaan produk, penetapan harga, distribusi dan promosi untuk menciptakan, memelihara dan meningkatkan komunikasi kepada konsumen sebagai pengguna produk organisasi agar output yang dicapai terwujud yakni kepuasan. Yang menarik adalah teori dan implementasi konsep marketing tidak hanya di monopoli oleh dunia usaha. Organisasi sosial politik dan tokoh politik (termasuk partai politik) juga menyadari bahwa pembentukan partisipasi masyarakat untuk menentukan dan menjadi konsumen (baca : partisan dan simpatisan) partai politik sangat penting dilakukan. Media auditif, media visual maupun media audiovisual adalah jalan elementer yang paling efektif bagi partai dan tokoh politik untuk melakukan aktivitas pemasaran tersebut. Dengan memanfaatkan media tersebut diharapkan konsumen (publik) paling tidak dapat memiliki informasi yang lebih obyektif tentang organisasi termasuk tokoh yang menjadi obyek marketing tersebut. Salah satu aspek yang paling penting dalam aktivitas pemasaran disamping technical marketing adalah menyangkut isi pesan yang disampaikan oleh seorang markerter. Sebab impikasi isi pesan menyangkut etika komunikasi kepada publik. Komunikasi pemasaran yang dimaksud meliputi dua hal, yaitu pertama, komunikasi dalam konteks public relations approacment dan kedua komunikasi pemasaran dalam konteks advertisment approacment. Komunikasi Public Relations Approacment diarahkan untuk mendorong terbukannya prinsip pemahaman publik tentang informasi, pengetahuan dan pendidikan politik masyarakat terhadap produk yang ditawarkan. Sebab orientasi komunikasi tersebut diarahkan untuk menciptakan goodwill antara organisasi dengan partisan. Organisasi/ individu yang tidak menerapkan prinsip public relations approacment dalam menjalankan komunikasi pemasarannya justru akan mencederai prinsip komunikasi itu sendiri yang pada akhirnya kontra produktif dengan semangat menjalin goodwill dengan masyarakat. Oleh karenanya partai politik harus berhati-hati dalam menjalankan pola komunikasi ini. Alih-alih ingin mendapatkan simpati, ketika substansi bergeser menjadi upaya untuk “memaksa” masyarakat untuk memiliki “produk” salah-salah justru yang didapatkan adalah antipati. Oleh sebab itu maka partai politik haruslah mengemas komunikasi dalam konteks Public relations Aproachment ini sesuai dengan segmentasi pasar (baca : masyarakat) yang dibidik. Segmentasi yang jelas melalui komunikasi pemasaran yang efektif nantinya akan menguntungkan buat organisasi agar mendapatkan positioning dan branding (baca : dalam konteks ini adalah identitas partai politik dan autentitas tokoh politik) yang konstruktif di mata konsumen (partisan dan simpatisan). Studi kasus dalam konteks ini menurut penulis adalah misalnya ketika Wiranto melakukan prinsip komunikasi pemasaran yang sangat “keliru” dengan memanfaatkan momentum kenaikan BBM untuk mencederai kebijakan pemerintah. Wiranto sangat peka melihat momentum, namun sangat tidak peka melihat motif dan peran etika komunikasi politik dan minim dalam melihat substansi Marketing Public Relations. Penulis mencurigai kondisi tersebut ditengarai karena hasrat birahi politik menguasai pasar didorong oleh semangat instan membesarkan partai politik dan ketokohannya di mata masyarakat. Wiranto alpa bahwa product equity partai dan ketokohannya tidak korelatif dengan product life cycle (baca : siklus perkembangan partai) dan kontribusinya di mata masyarakat. Wiranto barangkali juga alpa bahwa prinsip etika komunikasi politik mendasari esensinya pada aspek autentitas, legalitas, faktualitas, revenue, education dan documentation (jejak rekam masyarakat terhadap partai dan ketokohannya), padahal partai politiknya baru tahap introduction, belum berada pada tahap growht apalagi maturity. Maka sangatlah aneh partai politik yang baru tumbuh, dengan ketokohannya yang tidak autentik, dan belum memberikan kontribusi memadai buat publik, namun seolah-olah partai tersebut adalah market leader dari partai politik yang ada di Indonesia saat ini. Begitu pula halnya yang dilakukan oleh Sutrisno Bachir- Ketua umum PAN yang mengkampanyekan dirinya dengan memanfatkan momentum Kebangkitan Nasional. Yang dilakukan oleh Sutrisno bachir justru tidak mengarahkan perilaku konsumen kepada suatu pencitraan positif partai. Sebab apa yang disampaikan oleh sutrisno bachir dalam konteks komunikasi pemasaran adalah sangat normatif dan tidak mendorong public Relations approachment kepada publik, sebab komunikasi politik yang disampaikan tidak memliki dasar kuat terhadap pertama, product relations (masyarakat tidak diajak memahami partai dan pencitraan ketokohannya), product kedua, services (masyarakat tidak diajak melihat dan memahami kontribusi dan aktivitas partai) dan ketiga, product empowering (masyarakat tidak melihat akses dan peran partai serta tokoh Sutrisno sebagai sebuah problem solver bagi masalah mereka). Lain halnya jika informasi tersebut dtambah dengan dokumentasi kontribusi PAN dalam proses perubahan konstruktif kondisi ekonomi, politik dan sosial bangsa. Barangkali akan lain konstalasinya. Komunikasi dalam konteks advertisment approachment juga sangat penting dilakukan. Prinsip komunikasi ini adalah persuasif, yaitu memberikan pengaruh kepada publik agar mendorong tercipatnya product image, product awwarness dan product equity publik kepada partai politik. Jika ditelaah, kampanye dan iklan politik di media massa dalam pilkada, dan yang dilakukan oleh beberapa tokoh politik belakang ini menunjukkan bahwa prinsip persuasi yang ditonjolkan mengidentikan pesan komunikasi inheren dengan produk (barang) yang biasa diiklankan perusahaan. Padahal sejatinya produk partai politik adalah program, kontribusi, autentitas ketokohan dan sebagainya. Namun hal tersebut banyak kita saksikan tidak tampak dalam kemasan pesan yang disampaikan. Iklan persuasifnya jusrtu sangat normatif dan tidak menggugah aspek perilaku konsumen. Hal ini dibuktikan dengan berbagai hasil polling yang menyatakan bahwa partisan dan pemilih memilih partai dan tokoh politik (pemimpin) di pengaruhi oleh kuatnya daya lekat figur pemimpin di mata masyarakat (bukan karena aspek kompetensi dan kontribusi dan kompensasi partai politik terhadap rakyat). Namun boleh jadi dalam konteks iklan hal tersebut memberikan peluang signifikan bagi partai politik yang melakukan kegiatan pemasarannya untuk menjaring loyalitas konsumen dalam jangka pendek. Sebab yang diprioritaskan oleh partai politik adalah performance tokoh dan partai, bukan konteks dan content partai. Kedepan diharapkan para politisi juga memikirkan hal tersebut agar paling tidak output product life cycle (berupa partisan dan simpatisan) terikat dalam konsep equity produk partai secara jelas

Selasa, 13 Mei 2008