Kamis, 29 Mei 2008

POLITICAL MARKETING (Antara Kebutuhan dan Etika Politik)

Setiap organisasi apapun bentuknya memang harus perlu melakukan kegiatan marketing. Kegiatan marketing adalah suatu keniscayaan tentang suistanabilitas eksistensi suatu organisasi untuk bisa survive di tengah komunitas masyarakat. Hal tersebut penting untuk memahami bahwa produk apapun yang dihasilkan oleh suatu organisasi ia haruslah inheren dengan kebutuhan masyarakat. Dalam konteks apapun produk yang dihasilkan oleh organisasi ia haruslah memberikan value berupa konteks, content dan performance-nya sehingga memberikan penilaian berupa persepsi, pengertian, kepercayaan, support dan loyalitas konsumen terhadap produk. Memahami aspek marketing dalam suatu organissi haruslah menjadi suatu upaya bagi organisasi dan individu agar ia meletakkan substansi produk sebagai suatu keyakinan untuk memberikan pencitraan positif bagi organisasi dan individu tersebut. Sebab aktivtas marketing adalah suatu proses sosial sekaligus manajerial dari seluruh kegiatan usaha organisasi yang mengkombinasikan perencanaan produk, penetapan harga, distribusi dan promosi untuk menciptakan, memelihara dan meningkatkan komunikasi kepada konsumen sebagai pengguna produk organisasi agar output yang dicapai terwujud yakni kepuasan. Yang menarik adalah teori dan implementasi konsep marketing tidak hanya di monopoli oleh dunia usaha. Organisasi sosial politik dan tokoh politik (termasuk partai politik) juga menyadari bahwa pembentukan partisipasi masyarakat untuk menentukan dan menjadi konsumen (baca : partisan dan simpatisan) partai politik sangat penting dilakukan. Media auditif, media visual maupun media audiovisual adalah jalan elementer yang paling efektif bagi partai dan tokoh politik untuk melakukan aktivitas pemasaran tersebut. Dengan memanfaatkan media tersebut diharapkan konsumen (publik) paling tidak dapat memiliki informasi yang lebih obyektif tentang organisasi termasuk tokoh yang menjadi obyek marketing tersebut. Salah satu aspek yang paling penting dalam aktivitas pemasaran disamping technical marketing adalah menyangkut isi pesan yang disampaikan oleh seorang markerter. Sebab impikasi isi pesan menyangkut etika komunikasi kepada publik. Komunikasi pemasaran yang dimaksud meliputi dua hal, yaitu pertama, komunikasi dalam konteks public relations approacment dan kedua komunikasi pemasaran dalam konteks advertisment approacment. Komunikasi Public Relations Approacment diarahkan untuk mendorong terbukannya prinsip pemahaman publik tentang informasi, pengetahuan dan pendidikan politik masyarakat terhadap produk yang ditawarkan. Sebab orientasi komunikasi tersebut diarahkan untuk menciptakan goodwill antara organisasi dengan partisan. Organisasi/ individu yang tidak menerapkan prinsip public relations approacment dalam menjalankan komunikasi pemasarannya justru akan mencederai prinsip komunikasi itu sendiri yang pada akhirnya kontra produktif dengan semangat menjalin goodwill dengan masyarakat. Oleh karenanya partai politik harus berhati-hati dalam menjalankan pola komunikasi ini. Alih-alih ingin mendapatkan simpati, ketika substansi bergeser menjadi upaya untuk “memaksa” masyarakat untuk memiliki “produk” salah-salah justru yang didapatkan adalah antipati. Oleh sebab itu maka partai politik haruslah mengemas komunikasi dalam konteks Public relations Aproachment ini sesuai dengan segmentasi pasar (baca : masyarakat) yang dibidik. Segmentasi yang jelas melalui komunikasi pemasaran yang efektif nantinya akan menguntungkan buat organisasi agar mendapatkan positioning dan branding (baca : dalam konteks ini adalah identitas partai politik dan autentitas tokoh politik) yang konstruktif di mata konsumen (partisan dan simpatisan). Studi kasus dalam konteks ini menurut penulis adalah misalnya ketika Wiranto melakukan prinsip komunikasi pemasaran yang sangat “keliru” dengan memanfaatkan momentum kenaikan BBM untuk mencederai kebijakan pemerintah. Wiranto sangat peka melihat momentum, namun sangat tidak peka melihat motif dan peran etika komunikasi politik dan minim dalam melihat substansi Marketing Public Relations. Penulis mencurigai kondisi tersebut ditengarai karena hasrat birahi politik menguasai pasar didorong oleh semangat instan membesarkan partai politik dan ketokohannya di mata masyarakat. Wiranto alpa bahwa product equity partai dan ketokohannya tidak korelatif dengan product life cycle (baca : siklus perkembangan partai) dan kontribusinya di mata masyarakat. Wiranto barangkali juga alpa bahwa prinsip etika komunikasi politik mendasari esensinya pada aspek autentitas, legalitas, faktualitas, revenue, education dan documentation (jejak rekam masyarakat terhadap partai dan ketokohannya), padahal partai politiknya baru tahap introduction, belum berada pada tahap growht apalagi maturity. Maka sangatlah aneh partai politik yang baru tumbuh, dengan ketokohannya yang tidak autentik, dan belum memberikan kontribusi memadai buat publik, namun seolah-olah partai tersebut adalah market leader dari partai politik yang ada di Indonesia saat ini. Begitu pula halnya yang dilakukan oleh Sutrisno Bachir- Ketua umum PAN yang mengkampanyekan dirinya dengan memanfatkan momentum Kebangkitan Nasional. Yang dilakukan oleh Sutrisno bachir justru tidak mengarahkan perilaku konsumen kepada suatu pencitraan positif partai. Sebab apa yang disampaikan oleh sutrisno bachir dalam konteks komunikasi pemasaran adalah sangat normatif dan tidak mendorong public Relations approachment kepada publik, sebab komunikasi politik yang disampaikan tidak memliki dasar kuat terhadap pertama, product relations (masyarakat tidak diajak memahami partai dan pencitraan ketokohannya), product kedua, services (masyarakat tidak diajak melihat dan memahami kontribusi dan aktivitas partai) dan ketiga, product empowering (masyarakat tidak melihat akses dan peran partai serta tokoh Sutrisno sebagai sebuah problem solver bagi masalah mereka). Lain halnya jika informasi tersebut dtambah dengan dokumentasi kontribusi PAN dalam proses perubahan konstruktif kondisi ekonomi, politik dan sosial bangsa. Barangkali akan lain konstalasinya. Komunikasi dalam konteks advertisment approachment juga sangat penting dilakukan. Prinsip komunikasi ini adalah persuasif, yaitu memberikan pengaruh kepada publik agar mendorong tercipatnya product image, product awwarness dan product equity publik kepada partai politik. Jika ditelaah, kampanye dan iklan politik di media massa dalam pilkada, dan yang dilakukan oleh beberapa tokoh politik belakang ini menunjukkan bahwa prinsip persuasi yang ditonjolkan mengidentikan pesan komunikasi inheren dengan produk (barang) yang biasa diiklankan perusahaan. Padahal sejatinya produk partai politik adalah program, kontribusi, autentitas ketokohan dan sebagainya. Namun hal tersebut banyak kita saksikan tidak tampak dalam kemasan pesan yang disampaikan. Iklan persuasifnya jusrtu sangat normatif dan tidak menggugah aspek perilaku konsumen. Hal ini dibuktikan dengan berbagai hasil polling yang menyatakan bahwa partisan dan pemilih memilih partai dan tokoh politik (pemimpin) di pengaruhi oleh kuatnya daya lekat figur pemimpin di mata masyarakat (bukan karena aspek kompetensi dan kontribusi dan kompensasi partai politik terhadap rakyat). Namun boleh jadi dalam konteks iklan hal tersebut memberikan peluang signifikan bagi partai politik yang melakukan kegiatan pemasarannya untuk menjaring loyalitas konsumen dalam jangka pendek. Sebab yang diprioritaskan oleh partai politik adalah performance tokoh dan partai, bukan konteks dan content partai. Kedepan diharapkan para politisi juga memikirkan hal tersebut agar paling tidak output product life cycle (berupa partisan dan simpatisan) terikat dalam konsep equity produk partai secara jelas

Selasa, 13 Mei 2008

Kamis, 08 Mei 2008

QUO VADIS PENDIDIKAN PANCASILA DI PERGURUAN TINGGI

Judul Lengkap: Quo Vadis Pendidikan Pancasila dan Kewarganeraan di Perguruan Tinggi (Memahami momentum 100 tahun Kebangkitan Nasional 20 Mei 2008 dan Kelahiran Pancasila 1 Juni 2008 dari Spektrum kurikulum Perguruan Tinggi)

Era reformasi memang telah banyak melahirkan perubahan-perubahan signifikan yang terjadi dalam kehidupan sosial – ekonomi bahkan politik dinegeri ini termasuk dalam dunia pendidikan. Perubahan tersebut yang sejatinya diharapkan mengarah kepada nillai-nilai konstruktif banyak diyakini masyarakat sebagai upaya untuk merubah bangsa ini kearah yang lebih baik. Dan ketika reformasi meggelinding begitu cepat, paradigma masyarakat juga begitu cepat menjustifikasi nilai-nilai baru yang berkembang ditengah masyarakat sebagai pengganti nilai-nilai lama. Persoalannya adalah tidak ada upaya penakaran yang obyektif apakah nilai-nilai lama tersebut dianggap usang dan perlu dinegasikan. Sementara nilai-nilai baru tersebut juga tidak ada yang mampu menjustifikasi sebagai nilai-nilai yang mesti dipegang. Implikasinya adalah banyak produk ilmiah dan produk intelektual zaman orde baru yang sejatinya masih tetap relevan dan obyektif justru dianggap keliru dan mesti dihapuskan. Contoh kongkrit dari artikel ini adalah tentang realitas eksistensi mata kuliah pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewiraan di Perguruan Tinggi yang terautarki oleh paradigma "kekinian" yang keliru melihat konteks dan nilai sejarah.

Empirisisasi Pemaknaan Pancasila (Catatan Singkat Mengenai Perkembangan Pancasila)

Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945, negeri ini telah mengalami berbagai perubahan penting di dalam sistem politiknya, dari yang sedikit “liberal” kepada bentuk yang sedikit banyak “otoriter”, yang diberi nama Demokrasi Terpimpin. Dari pemerintahan sipil kepada pemerintahan dimana militer memegang peranan yang menentukan. Dari sistem kepartaian multi – mayoritas kepada sistem mayoritas tunggal, dan dari “Orde Lama” kepada “Orde Baru”. Selanjutnya dari “Orde Baru” muncul sekarang “Orde Reformasi” dimana tatanan-tatanan sebelumnya dianggap juga merupakan tesis serupa atas kekeliruan-kekeliruan nilai yang dipegang penguasa sebelumnya. Perubahan-perubahan tersebut adalah perubahan-perubahan yang cukup mendasar. Yang menarik dalam konteks tersebut diatas adalah semua menjustifikasi Pancasila sebagai sebuah “tema” politik yang mempengaruhi opini publik bangsa Indonesia.

Atas nama Pancasila, panji-panji revolusi dipancangkan dan politik dinobatkan sebagai panglima. Siapa yang berani menentang Pancasila ia akan dicap sebagai kontra revolusioner, penganut kapitalis dan neo kolonialisme. Atas nama Pancasila pula, revolusi digantikan oleh pembangunan ekonomi – bukan politik. Siapa yang menentang Pancasila juga dikatakan sebagai anti pembangunan, tidak Pancasilais dan dicap sebagai Komunis. Dan sekarang ketika Orde Baru runtuh serta gelombang reformasi diteriakkan, fenomena dengan intepretasi serupa juga muncul, yakni berbicara tentang pancasila seolah-olah di cap sebagai bagian dari Orde Baru, tidak reformis dan di cap sebagai kelompok status quo.

Bagaimana kita menjelaskan semua itu ? mungkinkah akhirnya kita mengatakan bahwa justifikasi apapun mengenai Pancasila, pada akhirnya ia berkorelasi dengan keterpurukan bangsa, yang pada gilirannya kita akan mengatakan bahwa Pancasila adalah slogan kosong yang tak ada apa-apanya. Dalam perspektif inilah sebenarnya paradigma tersebut diangkat.

Untuk maksud tersebut, maka beberapa catatan singkat tentang latar belakang historis dari Pancasila dibutuhkan. Makalah ini tidak secara detail menjabarkan proses lahirnya Pancasila yang pernah dibahas pada rapat-rapat BPUPKI (Badan Usaha Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia) waktu itu, yaitu tentang : “Apakah dasar negara yang akan kita bentuk itu ? Fakta sejarah membenarkan bahwa terdapat perbedaan pendapat antar anggota (Baca : BPUPKI). Ada yang mengatakan bahwa pertanyaan tersebut terlampau filosofis. Membahasnya akan membawa seluruh badan ini terjerumus kepada perdebatan yang tidak relevan, abstrak dan tanpa akhir. Oleh karena itu mereka mengusulkan untuk langsung menyelesaikan naskah UUD terlebih dahulu, yang menurut mereka lebih praktis, realistis, relevan dan mendesak. Namun sebagian terbesar anggota BPUPKI setuju untuk akhirnya terlebih dahulu membahas tentang dasar negara, karena dianggap bahwa persoalan tersebut amat penting untuk diselesaikan terlebih dahulu, sebelum melangkah ke soal-soal lain. Sebab yang dipertaruhkan disini tidak lain adalah “Kebhineka Tunggal Ika-an” Indonesia.

Perdebatan tajam tak terhindari. Kelompok yang menurut Soekarno terdiri dari kelompok Islam, Nasionalis, Federalis dan Unitaris memiliki gagasan sendiri-sendiri yang sulit dipertemukan. Namun demikian para pendiri negara dan bangsa tersebut menyadari bahwa perdebatan dan perbedaan tersebut adalah merupakan masalah yang paling penting. Pada tanggal 1 Juni 1945, setelah pertentangan selama tiga hari, Soekarno menyampaikan pidato yang kemudian menjadi amat terkenal dengan sebutan lahirnya Pancasila. Di dalam pidato tersebut, Soekarno menawarkan jalan keluar : Indonesia merdeka bukan negara agama, dan bukan pula negara sekuler, tetapi negara berdasarkan Pancasila. Pancasila seperti yang diusulkan oleh Soekarno, dirumuskan menurut urutan sebagai berikut : Pertama, Kebangsaan, Kedua, Internasionalisme/Perikemanusiaan, Ketiga, Mufakat/ Demokrasi, Keempat, Kesejahteraan Sosial dan Kelima, Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan yang kemudian dijadikan mainset dalam Piagam Jakarta, dirubah susunannya untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan kelompok yang berbeda, akhirnya dianggap sebagai jalan keluar dari kebuntuan dan tekanan waktu yang amat singkat.

Kembali kepada latar belakang perkembangan Pancasila, hasil rumusan yang menghasilkan Piagam Jakarta itu kemudian di pergunakan sebagai dasar untuk merumuskan UUD, yang proses pembentukannya juga diwarnai oleh perbedaan/perdebatan panjang mengenai beberapa pasal yang bersinggungan dengan persoalan-persoalan agama. Namun pada akhirnya juga di sahkan UUD 1945. Yang kita sebut Pancasila adalah seperti yang dirumuskan di dalam mukadimahnya. Yang berbeda baik dibandingkan dengan pidato Soekarno maupun dengan Piagam Jakarta. Rumusannya adalah sebagai berikut : Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Ketiga, Persatuan Indonesia, Keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat/ Kebijaksanaan dalam Permusyaawaratan/ Perwakilan, Kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh rakyat Indonesia.

Di Dalam perkembangan selanjutnya, dasar negara Indonesia juga terus mengalami upaya-upaya perubahan. Upaya perubahan tersebut terjadi dimasa pemberlakuan UUDS1950 dan masa setelah Pemilu 1955 dimana anggota konstituante bersidang kembali untuk merumuskan UUD, tetapi sidang konstituante ini tidak berjalan lancar, ketika anggota-anggota konstituante harus mengambil keputusan mengenai dasar negara, maka segera mereka terpecah menjadi tiga kelompok besar : yaitu mereka yang menghendaki Pancasila sebagai dasar negara, mereka yang menghendaki Islam sebagai dasar negara, dan mereka yang menghendaki sosialisme sebagai dasar negara. Perdebatan selama dua setengah tahun selama pasca Pemilu 1955 tersebut tidak mengalami titik terang yang memadai, yang berimplikasi kepada ketidakberhasilan konstituante melaksanakan tugas yang berimplikasi kepada terlantarnya proses perumusan konsepsi ketatanegaraan Indonesia. Jelas kondisi tersebut sangat membahayakan bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Dalam keadaan itulah pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno, setelah mendapat dukungan pihak militer, mengumumkan “dekrit kembali ke UUD 1945”. Amat menarik untuk dicatat sejarah adalah bahwa dekrit – yang paling sedikit dalam pandangan Barat adalah tidak demokratis – ternyata mendapat dukungan yang amat luas dari rakyat Indonesia. Keberpihakan rakyat terhadap kebijakan Dekrit Presiden disebabkan oleh karena semua pihak telah kehilangan tenggang rasa (tepa selira) mereka. Dan oleh karena itu bertentangan dengan orientasi nilai yang terarah kepada keserasian, mufakat, dan sebagainya. Ia mengancam seluruh masa depan. Mereka (baca : Rakyat Indonesia) merasa lega, ketika konstituante di bubarkan. Namun mereka merasa lebih lega, ketika diumumkan bahwa Indonesia akan kembali ke UUD 1945. kegembiraan rakyat terutama di dasarkan kepada kenyataan bahwa UUD 1945 (dan Pancasila) bagi mereka mempunyai makna simbolis yang dalam yang merepresentasikan “semangat revolusioner 1945 yang murni”. Kembali kepada UUD 1945 berarti kembali kepada yang murni dan asli.

Pada tanggal 17 Agustus 1965, Presiden Soekarno menyampaikan pidato tahunannya. Pidato yang dikenal dengan Manifesto Politik, atau lebih dikenal dengan MANIPOL tersebut berisi tentang upaya mengingatkan rakyat kepada lahirnya Pancasila. Soekarno kembali berbicara tentang Gotong Royong sebagai kristalisasi dari kelima sila Pancasila. Dan atas prinsip gotong royong inilah secara kontekstual Soekarno memperkenalkan haluan dasar dari kebijaksanaan pemeritahnya, yang kemudian dikenal dengan USDEK, yaitu singkatan dari Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia. MANIPOL – USDEK kemudian dinyatakan (baca : diintepretasikan oleh Soekarno) sebagai pelaksanaan Pancasila. Pancasila yang diterapkan ke dalam praktek, menurut Soekarno adalah Gotong Royong antara tiga kekuatan terbesar di Indonesia yaitu Nasionalis, Islam dan Komunis. Soekarno menamakannya sebagai gotong royong antara kekuatan-kekuatan NASAKOM, yaitu singkatan dari Nasionalis, Agama dan Komunis. Jiwa Pancasila adalah jiwa Nasakom. Oleh karena itu seorang Pancasilais haruslah menjadi seorang Nasakomis. Itu berarti bahwa Nasakom tidaklah sekedar kerjasama antara tiga kekuatan terpisah, tetapi merupakan sintese dari tiga ideologi menjadi satu jiwa, jiwa Nasakom.

Eksperimentasi politik Soekarno tersebut telah membawa Indonesia kepada suatu sistem politik yang otoriter, situasi ekonomi yang mendekati kehancuran, kebijaksanaan politik Internasional yang penuh dengan petualangan, meruncingkan konflik-konflik ideologis dan primordial dan sebagainya. Keadaan ini akhirnya memuncak pada upaya “kudeta” Komunis pada tanggal 30 September 1965 yang terkenal dengan sebutan G. 30 S./PKI. Eksperimentasi politik dan petualangan Soekarno berakhir dengan kulminasi peristiwa G. 30.S/PKI. Ia dijatuhkan oleh seorang perwira Angkatan Darat. Panji-Panji revolusi dirubuhkan dan pembangunan ekonomi digalakkan dengan simbol-simbol “kembali kepada jiwa dan makna asli dari pancasila dan melaksanakan UUD 1945 secara konsekwen”. Koreksi dilaksanakan dengan cara kembali ke masa lampau, kepada yang asli. Penyimpangan dan penentangan mengenai kebijakan negara dikatakan ekstrem (baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri).

Untuk memahami yang “asli” pemerintah Soeharto menunjuk 5 (lima) orang sesepuh pendiri bangsa sekaligus perumus Pancasila yaitu, Moh Hatta, Ahmad Soenardjo, Alex AA Maramis, Sunaryo dan Abdul Gafur Pronggodigdo untuk memberikan dasar bagi pemahaman Pancasila secara benar. Maka pada tahun 1978 MPR mengesahkan ketetapan Nomor II/MPR/1978 mengenai pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila – Eka Prasetya Panca Karsa yang terkenal dengan P-4 yang pembentukannya bukan merupakan tafsir Pancasila sebagai dasar negara dan juga tidak dimaksudkan menafsirkan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, batang tubuh dan penjelasannya. P-4 hanya sebagai pedoman dan penuntun kehidupan bermasyarakat, berbangssa dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia. Atas dasar makna tersebut, pada tahun 1978 Presiden Soeharto membuat kebijakan tentang perlunya penataran dengan tujuan untuk menyebarluaskan P-4 seluas mungkin, khususnya dikalangan pegawai negeri dan pemimpin-pemimpin masyarakat. Penataran P-4 yang menurut pemerintah bukanlah indokrinasi, melainkan suatu gerakan untuk memahami kembali, menyelami lebih dalam, menghayati dan mengamalkan gagasan bangsa Indonesia tentang tujuan dan cita-citanya. Namun demikian perkembangan penataran P-4 ini, lambat laun berubah menjadi suatu sarana untuk melegitimasikan hegemoni negara terhadap masyarakat, sehingga justru masyarakat menjadi terkungkung dan terpenjara dengan sebuah proses pembenaran sepihak yang dibuat oleh negara atas nama Pancasila. Penataran P-4 menjadi hanya sekedar sloganisme dangkal yang bersumber pada pemahaman budaya berfikir bangsa Indonesia tentang sejarahnya yang sempit. Artinya pengkajian penataran P-4 hanya diformulasikan dengan pendekatan melulu-teoritis yang pada akhirnya cenderung menjerumuskan kita pada problematik teoritis pula, tanpa menyentuh problematik nyata yang mendesak yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang sedang membangun. Pendekatan teoritis terhadap Pancasila akhirnya berimplikasi pada suatu usaha yang melelahkan dan sia-sia, karena menghadapi keruwetan teoritis yang tak akan pernah mampu kita uraikan. Masalah-masalah yang nyata malah jadi terlantar, Pancasila akhirnya membeku dan buntu dalam bentuk formal, sehingga tidak mampu memberikan ilham serta daya dorong untuk bertindak. Karena “pemaksaan” yang dilakukan oleh negara mengenai penataran P-4 tersebut, lambat laun justru menyadarkan masyarakat bahwa konsep yang sebenarnya efektif dan baik akhirnya juga diintepretasikan negatif oleh publik karena petualangan penguasa Orde Baru untuk menguasai dan meminimalisir sedikit mungkin peluang masyarakat melakukan proses tawar (bargaining) kepada negara. Toleransi yang menjadi “tema politik” Pancasila baik kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diintepretasikan sesuai dengan selera dan kepentingan negara, padahal menurut Muhammad Natsir : “Toleransi adalah ruang atmosfer dimana konfrontasi antara ide-ide dan pemikiran-pemikiran dimungkinkan. Toleransi tanpa konfrontasi bukanlah toleransi, ia hanya berarti mengelakkan masalah, yang kita perlukan sebenarnya adalah konfrontasi di dalam atmosfer toleransi, dimana perbenturan antara ide-ide dan pemikiran akhirnya akan membawa kita kepada kebenaran. Tidak ada yang bebas dari diskusi yang kritis dan perbandingan”.

Seperti juga Soekarno, Soeharto-pun merujuk tesis yang sama, yakni perilaku negara (baca : penguasa) berkorelasi dengan kebijakan yang dikeluarkannya. Kebijakan Soekarno mengenai sosialisasi Pancasila sebagai dasar negara yang diintepretasikan secara personalisasi, pada akhirnya mendorong masyarakat “apriori” terhadap Pancasila, begitu pula halnya dengan Soeharto, kebijakan sosialisasi Pancasila dalam bentuk pentaran P-4, yang secara substansial memiliki konsep yang konstruktif bagi pemahaman masyarakaat, ketika ia di intepretasikan secara personal untuk melanggengkan kekuasaan, masyarakat juga akhirnya memiliki pemikiran yang sama-apriori terhadap pancasila. Dengan kata lain kedua pemimpin bangsa kita tergelincir oleh kekuasaannya sendiri disebabkan salah satu faktornya adalah menjustifikasi Eksistensi Pancasila berdasarkan kepentingan kekuasaan belaka. Padahal Pancasila adalah suatu tesis ilmiah yang menurut Prof. Dr. Ruslan Abdul Gani merupakan : “Sebuah konsep kompromi politik atau payung politik kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengakomodasikan kepentingan kelompok-kelompok di dalam masyarakat”. Pancasila akhirnya menjadi “korban” manipulasi kekuasaan terhadap nilai sebuah konsep konsensus. Dalam bahasa yang lain jika logikanya dibalik adalah bahwa penguasa sebenarnya menyadari konsepsi Pancasila memiliki nilai strategis secara politik, ekonomi, budaya, hukum dan integrasi, namun persoalannya konsepsi strategis tersebut hanya diperuntukkan untuk kepentingan “pasar” kekuasaan, karena Pancasila memiliki nilai jual tinggi untuk “diatas namakan” dalam mendongkrak legitimasi kekuasaan.

Perspektif sejarah diatas sebenarnya telah mengajak kita untuk mengambil proses ikhtiar yang positif. Sejarah adalah guru kehidupan. Dari sejarah kita bisa mengambil proses pembelajaran yang matang bagi pendewasaan berfikir kita, artinya dalam konteks ini kita harus berani mengambil sikap bahwa persoalan Pancasila adalah sebuah persoalan tafsir-intepretasi keliru yang dilakukan penguasa. Intepretasi yang sengaja dilakukan untuk melegitimasikan absolutisme struktur kekuasaan. Dan sebagai masyarakat ilmiah, kita seharusnya tidak terjebak kepada kesimpulan-kesimpulan salah mengenai Pancasila. Ibarat pepatah : “Besi mesti ditempa selagi Panas”, masyarakat ilmiah (baca : Perguruan Tinggi) justru harus memiliki kewajiban moral-intelektual membentuk kembali paradigma masyarakat mengenai Pancasila secara obyektif. Untuk membentuk paradidgma tersebut, maka Perguruan Tinggi harus senantiasa menganalisisnya melalui suatu pendekatan yang obyektif. Hal tersebut sesuai dengan amanah rakyat pada Sidang Istimewa 1998 lalu, yang telah menyepakati bahwa Pancasila bukan lagi sebagai idelogi tunggal, ia sudah menjadi ideologi terbuka yang sudah seharusnya sejajar dengan ideologi-ideologi besar lainnya di dunia. Dan perguruan Tinggi adalah tempat yang diamanahkan negara untuk selalu senantiasa menganalisis dan menjawab masalah-masalah yang menyangkut ideologi negara untuk diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan segala implikasinya.

Secara pribadi saya terkejut ketika ada beberapa Perguruan Tinggi telah mengautarki mata kuliah ini dari kurikulum pendidikan dan pengajaran. Sampai tulisan ini dibuat saya pribadi belum menemukan suatu argumentasi logis mengapa mata kuliah ini di diredusir substansinya. Namun demikian sebagai sebuah analisis saya mencoba memahami keputusan tersebut dalam perspektif lain, yang tidak semata-mata hanya dari perspektif saya pribadi, tetapi mungkin terdapat berbagai sudut pandang lain yang tidak saya ketahui yang memiliki prioritas dan bobot intelektualisasi-akademis yang lebih strategis.

Dalam konteks yang lain Intepretasi saya mengenai keputusan tersebut merupakan hanya salah satu imbas dari dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 184/ U/ 2001 tanggal 23 November 2001 tentang Pedoman Pengawasan Pengendalian dan Pembinaan Program Diploma, Sarjana dan Pasca Sarjana, yang mendorong sekaligus membuka kesempatan bagi setiap Perguruan Tinggi swasta di Indonesia untuk lebih bersikap otonom. Empirisasi keluarnya keputusan tersebut dilatar belakangi oleh karena selama ini PTS merasa “terbelenggu” dengan berbagai aturan yang membatasi ruang gerak PTS. Dengan kata lain PTS selama ini eksistensinya merasa terdiskriminasi oleh perlakuan pemerintah yang diberikan kepada PTN secara birokratis dan administratif – termasuk didalamnya mengenai subsidi anggaran pendidikan. Disamping itu intepretasi-justifikasi keluarnya Surat Keputusan yang membuka kran deregulasi bidang pendidikan itu merupakan pertimbangan matang pemerintah dalam menghadapi gelombang keterbukaan dan era kesejagatan (globalisasi).

Yang menarik dari pasca diberlakukannya surat keputusan Mendiknas itu adalah adanya sejumlah catatan-catatan tegas dalam upaya merespons sekaligus mengaktualisasikan peran Perguruan Tinggi Swasta kepada masyarakat agar Perguruan Tinggi tidak terjebak pada “liberalisasi” pendidikan yang serta merta menjadi hak atau bagian dari otoritas kampus. Catatan-catatan tegas tersebut meliputi : pertama, aturan tetap ada, jadi tidak sebebas-bebasnya. Kedua, untuk menjadi perguruan tinggi bermutu, seluruh civitas akademika (mahasiswa, dosen dan lembaga) harus bekerja keras untuk mewujudkannya. Ketiga, seluruh komponen di perguruan tinggi harus bertumpu kepada kompetensi (kesesuaian), kultur akademik (kejujuran akademik) dan kemampuan (skill). Keempat, dunia perguruan tinggi harus selalu siap menghadapi perubahan (Naba Aji Seputro, 2003).

Dari empat catatan yang pernah dikemukakan oleh Ir. Naba Aji Seputro tersebut diatas, maka relevanlah jika membangun paradigma pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi harus dikaji dengan perspektif yang lebih akademis.

Paradigma Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi

Perguruan Tinggi adalah suatu komunitas ilmiah. Suatu komunitas yang memiliki karakteristik akademik. Disinilah tempat dimana produk intelektual dilahirkan, dikembangkan dan diimplementasikan. Dengan kata lain perguruan tinggi merupakan laboratorium bagi masyarakat, yang memberikan kontribusi bagi terciptanya proses pemberdayaan berfikir sesuai dengan khasanah ilmu dan kapasitas yang dimiliki untuk dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Esensi peran dan fungsi perguruan tinggi tersebut tertuang kedalam pola orientasi yang menjadi bagian dari kegiatan akademik atau yang biasa dikenal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian). Berbicara tentang pendidikan, maka perguruan tinggi bukan hanya menciptakan suatu mekanisme kegiatan belajar-mengajar secara formal saja. Tetapi ia juga harus mampu menumbuh-kembangkan nilai di dalam pendidikan. Nilai yang dimaksud itu adalah bahwa di dalam pendidikan – terdapat budaya dan etika yang harus dipegang. Karena pendidikan hanya diperuntukkan bagi kemaslahatan umat manusia. Dalam konteks itulah maka pendidikan (khususnya di perguruan tinggi) harus setidaknya mengambil ikhtiar dari hakekat ilmu, yaitu dikaji secara ilmiah dan dianalisa secara kontekstual agar bermanfaat bagi individu, masyarakat bangsa dan negara.

Sebagai komunitas ilmiah, Perguruan Tinggi harus mampu membangun responsibilitas yang bersifat konseptual dan solutif tentang berbagai hal yang berkaitan dengan situasi-kondisi yang berkembang ditengah masyarakat. Dengan demikian perguruan tinggi menjadi media/ sarana yang mampu mentransformasikan relevansitas perkembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai kapasitasnya sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman. Termasuk bagaimana merespons perkembangan zaman yang saat ini sudah berdimensi global.

Berkaitan dengan itu maka sesuai dengan amanat UUD 1945, Tap MPR No. II/MPR/1993 dinyatakan bahwa : Pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, mandiri sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.

Penyelenggaraan Pendidikan nasional harus mampu meningkatkan, memperluas dan memantapkan usaha penghayatan dan pengamalan Pancasila serta membudayakan nilai-nilai Pancasila agar diamalkan dalam kehidupan sehari-hari di segenap masyarakat. Lebih jauh ketetapan MPR No. XVIII/ MPR/ 1998 hasil Sidang Istimewa MPR 1998 menegaskan bahwa Pancasila sudah tidak menjadi satu-satunya azas, Pancasila telah menjadi sebuah ideologi terbuka yang dikaji dan dikembangkan berdasarkan kultur dan kepribadian bangsa. Ketetapan MPR menyebutkan bahwa kurikulum dan isi pendidikan yang memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan terus ditingkatkan dan dikembangkan disemua jalur, jenis dan jenjang pendidikan nasional. Itu berarti Pendidikan pancasila di Perguruan Tinggi harus terus menerus ditingkatkan ketepatan materi instruksionalnya, dikembangkan kecocokan metodologi pengajarannya, di-efisien dan di-efektifkan manajemen lingkungan belajarnya. Dengan kata lain perguruan tinggi memiliki peran dan tugas untuk mengkaji dan memberikan pengetahuan kepada semua mahasiswa untuk benar-benar mampu memahami Pancasila secara ilmiah dan obyektif.

Disamping itu, kalau ditilik kembali secara yuridis formal, perkuliahan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, juga tertuang dalam Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional. Pasal 39 dalam undang-undang tersebut menegaskan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan, wajib memuat pendidikan Pancasila, pendidikan Kewarganegaraan dan pendidikan Agama. Demikian juga di dalam Peraturan Pemerintah Nomor. 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, pasal 13 (ayat 2) ditetapkan bahwa kurikulum yang berlaku secara nasional diatur oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Secara lebih rinci perkuliahan Pancasila diatur dalam surat keputusan Dirjen Dikti RI No. 467/DIKTI/KEP/1999 yang merupakan penyempurnaan dari keputusan Dirjen DIKTI No. 356/DIKTI/KEP/1995. Dalam Surat Keputusan Dirjen DIKTI No. 467/DIKTI/KEP/ 1999 tersebut dijelaskan pada pasal 1 bahwa mata kuliah pendidikan Pancasila yang mencakup filsafat Pancasila merupakan salah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dari kelompok mata kuliah umum dalam suatu susunan kurikulum inti perguruan tinggi. Pasal 2 menjelaskan bahwa mata kuliah pendidikan Pancasila adalah mata kuliah wajib untuk diambil oleh setiap mahasiswa pada perguruan tinggi untuk program Diploma dan program Sarjana. Sementara pasal 3 menjelaskan bahwa pendidikan Pancasila dirancang untuk memberikan pengertian kepada mahasiswa tentang Pancasila sebagai filsafat/ tata nilai bangsa, sebagai dasar negara dan ideologi nasional dengan segala implikasinya.

Hal tersebut juga berlaku pada mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai satu kesatuan dari mata kuliah pendidikan Pancasila dan pendidikan Agama, yang mengandung visi keilmuan dan hakekat yang sama secara substansial dengan mata kuliah Pancasila. Karena sasaran yang hendak dicapai dalam mata kuliah ini adalah memberikan pengetahuan dan pengertian yang mendalam kepada mahasiswa sebagai tulang punggung negara, sebagai tonggak/ agen pembaharu di dalam msyarakat, tentang hubungan antara warga negara dengan negara, yang di dalamnya memuat unsur pendidikan politik, strategi politik nasional, pendidikan bela negara (baca : Nasionalisme) dan aspek-aspek yang dijadikan pedoman bagi mahasiswa dalam melihat perspektif ketatanegaraan bangsa Indonesia (baik supra struktur maupun infra strukturnya), sehingga mahasiswa diharapkan mampu menganalisa dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa dan negaranya secara berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita dan tujuan nasional seperti yang digariskan dalam pembukaan UUD 1945.

Dari paradigma pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kedua mata kuliah itu memiliki nilai fundamental bagi sistem pendidikan nasional secara komprehensif. Namun demikian apapun dan dalam bentuk apapun sebuah konsep ideal, ia harus berevolusi dan berkorelasi dengan iklim dan situasi yang berkembang – termasuk di dalamnya adalah mengenai intepretasi, sehingga terlihat adanya kausalitas antara idealitas dengan realitas. Dalam konteks yang demikian itu, seperti yang sudah dijelaskan di awal tulisan ini, pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan dalam pelaksanaannya memang pernah mengalami homogenitas intepretasi dan manipulasi politik sesuai dengan selera dan kepentingan penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung dibalik legitimasi ideologi negara Pancasila. Dengan kata lain dalam kedudukan seperti itu, Pancasila tidak lagi dikatakan sebagai dasar filsafat serta pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia, melainkan direduksi, dibatasi dan dimanipulasi demi kepentingan penguasa pada saat itu. Sekarang-pun ketika iklim demokratisasi dan demokrasi telah terbuka – yang ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto, sebagian masyarakat mengulangi sejarah yang sama dengan mengintepretasikan Pancasila secara subyektif. Berbicara tentang Pancasila, maka identik dengan Orde Baru – Golkar dan Soeharto. Begitu halnya dengan ketika kita membicarakan mata kuliah Kewiraan (baca : Kewarganegaraan), dibenak sebagian masyarakat yang melekat adalah gambaran rezim militer dengan segala konsekwensi perilaku di masa lalunya yang menakutkan dan membuat trauma masyarakat.

Melihat stigma berfikir masyarakat yang seperti itu seharusnya Perguruan Tinggi bertanggung jawab untuk mencoba meluruskan sekaligus mendudukkan Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan dalam level yang lebih ilmiah dan obyektif. Bukan malah mengikuti arus persepsi salah sebagian masyarakat dengan meredusir atau bahkan menegasikan nilai substansial Pancasila dan Kewarganegaraan di mata publik, khususnya civitas akademika.

Catatan Penutup

Sebagai catatan akhir dari tulisan ini, sekaligus mengambil proses ikhtiar untuk dikembangkan dan didiskusikan lebih lanjut, maka ada satu hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa Perguruan Tinggi memiliki orientasi ideal yang harus terus di pupuk dan dikembangkan yaitu membentuk kader yang dibutuhkan oleh negara dan masyarakat bagi tercapainya tujuan umum bangsa Indonesia yang hendak mencapai terciptanya suatu masyarakat yang berdiri atas satu corak kepribadian, yaitu kepribadian Indonesia, sebagai jaminan untuk membangun kultur dan penjaga nilai ideologi bangsa. Tujuan tersebut berarti mendidik masyarakat (civitas akademika) yang memiliki keseimbangan intelektual yang nasionalis (rasa memiliki terhadap tanah air), moralis dan spiritual. Oleh karenanya momentum 100 tahun kebangkitan nasional saat ini adalah sangat relevan bagi kaum akademisi dan masyarakat yang concern terhadap nilai sejarah dan edukasi ideologis bangsa untuk menakar, menganalisis, membedah sekaligus melakukan petualangan ilmiah melalui pengembaraan intelektualisasi dalam rangka menemukan kembali arah yang tepat bagi upaya melestarikan pancasila sebagai ideologi sekaligus kultur bangsa kita.
DAFTAR BACAAN
Andi Trinanda, Mendefinisikan Kembali Paradigma Demokrasi Masa Transisi di Indonesia : Memaknai Nilai Reformasi Secara Obyektif, Majalah Cakrawala BSI, Vol 2 No. 1 September 2002.
C.S.T. Kancil, Pancasila dan UUD 1945 (Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta, 1998
Eka Danaputera, Pancasila (Identitas dan Modernitas) – Tinjauan Etis dan Budaya, PT. BPK Gunung Agung Mulia, Jakarta 1997
Kaelan, MS, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 1999
Letjen TNI Jhony Lumintang DKK, Pendidikan Kewarganegaraan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001
Naba Aji Notoseputro, Paradigma Sistem Perguruan Tinggi di Indonesia, Bina Prestasi, Edisi 15, Bina Sarana Informatika, 2002

Sartono Kartodirdjo, Ideologi dan Teknologi, Pabelan Jayakarta, Jakarta, 1999

Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, penerbit DBR, 1964

Selasa, 29 April 2008

UJIAN NASIONAL : AMBISI MELIHAT HASIL-BUKAN PROSES

Syahdan mulai 22 April 2008 untuk kesekian kalinya pemerintah menyelenggarakan Ujian Nasional. Untuk kesekian kalinya pula pemerintah setiap tahun menaikan great standard kelulusan bagi siswa, dan setiap komunitas pendidik dan masyarakat yang concern terhadap pendidikan melakukan evaluasi, cetak biru tentang Ujian Nasional yang menegasikan otonomisasi sekolah itu - sampai hari ini tetap saja belum memberikan implikasi positif tentang kecenderungan kualitatif kompetensi siswa-siswi kita. Mengapa ?

Sejatinya jika ditelaah dalam perspektif dan anasir kognitif, kebijakan pemerintah adalah inheren dengan cita-cita kita semua, yaitu memiliki tingkat kesetaraan secara kualitatif dalam konteks sumber daya manusia dalam episentrum regional bahkan internasional. kita sama-sama marfum bahwa ketertinggalan kita dengan bangsa-bangsa lain adalah karena salah satu faktor mendasarnya yaitu kualitas sumber daya manusia kita yang “lebih rendah” dari negara lain. dan berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia maka adalah logis jika kita berbicara tentang bagaimana kualitas pendidikan kita. jadi dalam perspektif ini, adalah naif apabila sebagai masyarakat yang concern terhadap pendidikan, kita memiliki paradigma sempit tentang justifikasi kualitas pendidikan dengan mengkorelasi nilai akademik formal an sich. padahal pendidikan adalah sebuah proses membentuk karakter dan sikap manusia yang di dalamnya mengandung berbagai medium nilai dan kontekstualisasi makna interaksi dan proses kematangan bersosialisasi, sehingga pendidikan menjamin paradigma yang obyektif tentang berbagai perkembangan dalam kehidupan dimasyarakat.

Ketika pemerintah melakukan hegemoni terhadap mutu pendidikan kita dengan meng-autarki peran sekolah sebagai pihak yang memiliki primary key terhadap kualitas peserta didiknya, maka bisa kita tebak : ujian nasional berlangsung dengan realitas keterpaksaan sekolah, sebab pemerintah sekaligus melakukan interelatif antara nilai kelulusan dengan kualitas mutu sekolah. Akibatnya ketika berlangsung Ujian-beberapa sekolah terpaksa pula banyak melakukan “kecurangan”. dari perspektif ini saja seharusnya pemerintah bisa melihat sekaligus menakar kedalaman makna pendidikan itu sendiri bagi masyarakat dan bagi sekolah sebagai pihak yang menyelenggarakan pendidikan. proposisinya adalah mendorong kualitas dengan nilai formal secara akademik memang diperlukan untuk melihat tingkat comparatif advantage bagi peserta didik, namun sejatinya yang jauh lebih penting yang justru seharusnya mendapat prioritas agar comparatif advantage tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara akademis, pemerintah seharusnya terlebih dulu mendorong dan meningkatkan proses bagi peningkatan kesetaraan mutu pendidikan di Indonesia secara komprehensif (tidak terkecuali pada sekolah-sekolah yang memiliki akses terbatas secara demografis dan geografis). Proses tersebut misalnya meliputi kebijakan-kebijakan pemerintah tentang ketersediaan infrastruktur dan suprastruktur sekolah. jika proses tersebut berjalan secara elementer, maka implikasinya bukan saja pemerintah akan mendapatkan standarisasi tentang mutu pendidikan sehingga mendapatkan comparatif advantage dengan bangsa lain, namun yang lebih penting dari itu adalah pemerintah akan mendapatkan pula competitif advantage bagi output pendidikan kita dengan bangsa lain.
Membangun kualitas pendidikan kita adalah merupakan proses politik sekaligus proses sosial yang menempatkan berbagai kepentingan (baca : pemerintah pusat dan daerah, komunitas praktisi pendidikan, masyarakat dan elemen-elemen lainnya) yang terintegrasi dan terinterdependensi agar tercipta education life cycle yang akan mendorong hasil (output) berdasarkan proses sesuai dengan kebutuhan dan kompetensi peserta didik. dan pemerintah barangkali abai bahwa nilai tidak semata-mata bertalian kelindan dengan kognisi, konasi dan afeksi sumber daya manusia itu sendiri. Dengan kata lain, proposisi yang dilakukan dan menjadi target pemerintah saat ini adalah menempatkan paradigma tekhnokratisme pendidikan diatas nilai-nilai fundamental yaitu humanisme pendidikan itu sendiri, dan hal tersebut jelas mencederai semangat dan pengabdian pendidik selama ini yang menempatkan pendidikan secara kontekstual sebagai suatu proses memanusiakan manusia diatas kemampuan tekhnokratis yang cenderung tekstual.

(Andi Trinanda - Ketua Pokja di Care Education Community)

Kamis, 24 April 2008

KEJUJURAN AKADEMIK


Dimanapun dan sampai kapanpun, yang namanya kejujuran adalah sesuatu yang mutlak yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Dengan kejujuran niscaya seseorang akan dapat mengisi hidup dan kehidupannya dengan baik. Kejujuran adalah apa yang dilakukan oleh seseorang sesuai dengan seberapa besar orang tersebut memahami dan memaknai otentitas sesuatu dari aktivitas kehidupan yang dilakukannya. Itulah ukuran tentang seberapa besar nilai kualitas hidup seseorang. Bangsa ini menjadi terdegradasi kualitas moral kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakatnya pun salah satu sebab yang signifikan berasal dari masalah kejujuran tersebut.

Kejujuran dengan kata lain menjadi salah satu tolok ukur dalam setiap aktivitas kehidupan, tidak terkecuali dalam lingkungan dunia pendidikan-pun, masalah kejujuran menjadi salah satu indikator keberhasilan dalam proses kegiatan belajar-mengajar yang dilakukan. Alih-alih ingin memperoleh hasil yang maksimal dan positif, namun jika dilakukan secara tidak jujur maka implikasinya tetap saja tidak akan baik. Walaupun dikatakan lembaga pendidikan dikatakan berhasil, namun sejatinya keberhasilan tersebut adalah keberhasilan yang semu, Sebab proses menuju keberhasilan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tidak jujur.

Diberbagai tingkatan dalam dunia pendidikan, juga sering kita alami praktek-praktek ketidakjujuran tersebut. Salah satu bentuk ketidakjujuran yang terdapat di lingkungan dunia pendidikan, khususnya di lembaga pendidikan tinggi kerap dilakukan oleh dosen maupun mahasiswa. Misalnya melakukan plagiasi atau menyontek. Bahkan masalah ketidak jujuran tersebut juga kerap pula menghinggapi lembaga pendidikan, misalnya berupa penegasian dan membuat simplifikasi-absurd standarisasi kompetensi dan kualifikasi kurikulum.

Kita harus menyadari bahwa persoalan kejujuran akademik, sampai kapanpun tetap akan selalu ada. Sebab kejujuran akademik adalah masalah kejujuran hati nurani. Biar bagaimanapun kebijakan yang digulirkan lembaga pendidikan dengan tujuan mengeliminir setiap ruang ketidakjujuran, namun tetap saja sebenarnya yang bisa mengontrol kejujuran akademik tersebut adalah diri pribadi pelaku dalam dunia pendidikan itu sendiri. Sekali lagi keberhasilan karir seseorang dalam dunia pendidikan, jika ia melandaskan diri dari aktivitas ketidakjujuran dalam memperoleh hasil akademis, maka sejatinya ia berdiri pada hasil yang semu. Tidak akan bisa dinikmati secara hakiki. Sampai kapanpun kepalsuan atas apa yang dilakukan, akan senantiasa terus teringat selama hidup. Itu artinya siapapun orangnya, jika ia melakukan ketidakjujuran akademik, ia akan selalu mengingat peristiwa itu, yang pada akhirnya membuat ketidaknyamanan dalam memori hidupnya sendiri.

Kejujuran Akademik Dalam Perspektif Tri Dharma Perguruan Tinggi

Mahasiswa yang berhasil melalui cara-cara yang tidak jujur dengan cara menyontek karya orang atau plagiasi hasil karya akademiknya, akan senantiasa dirasakan dalam bentuk ketidakcakapan (incompetency) dalam dunia kerja atau dalam praktek-praktek lainnya dalam kehidupannya kelak. Dengan kata lain bisa jadi ia berhasil dalam nilai, namun tidak akan mendapat tempat dalam kapasitas hidupnya dimata orang lain, lebih-lebih dalam dunia kerja. Sebab nilai yang diperoleh adalah palsu.

Bagaimana dengan dosen yang melakukan ketidakjujuran akademik ? Jika kita menelaah peran dosen sesuai dengan pola aplikasi dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, kita bisa melihatnya dalam praktek-praktek sebagai berikut :

Dalam dunia pengajaran misalnya, dosen yang melakukan kejujuran akademik adalah dosen yang senantiasa melakukan kegiatan pengajarannya sesuai dengan latar belakang keilmuan dan kompetensi atau keahlian yang dimilikinya, ia menguasai materi kuliah dan memberikan materi kuliah sesuai konteks kurikulum yang dibebankan oleh lembaga kepada dosen yang bersangkutan. Mengusai materi kuliah juga tidak cukup, ia juga otentik terhadap bahan ajarnya, sehingga materi yang disampaikannya juga relevan dengan content dan kualifikasi mata kuliah yang diajarkan. Dosen yang melakukan ketidakjujuran secara akademik, dapat dilihat dari perspektif ini, yaitu kerap tidak menguasai materi mata kuliah, tidak cakap memberikan apresiasi perkuliahan kepada mahasiswa karena tidak memiliki otentitas sikap, sifat, dan referensi memadai terhadap bahan ajarnya yang berimplikasi kepada tidak kredibelnya dosen dimata mahasiswa. Dosen yang tidak melakukan kejujuran akademik juga dapat dilihat dari ketidak sesuaian dan ketidakmaksimalan seorang dosen mengelola waktu beban akademik yang diberikan dalam muatan mata kuliah yang diajarkannya kepada mahasiswa yang berimplikasi kepada tidak maksimalnya proses transformasi keilmuan yang didapatkan mahasiswa.

Kegiatan penelitian sebagai salah satu aspek Tri Dharma Perguruan Tinggi juga dapat kita lihat dari aktivitas yang dilakukan oleh dosen. Bentuk-bentuk penelitian yang dilakukan oleh dosen amatlah beragam. Dan salah satu kegiatan penelitian yang dilakukan oleh dosen adalah menghasilkan kontribusi berupa karya-karya ilmiah dan hasil studi. Baik berupa hasil objek aplikatif yang dilakukan oleh dosen di masyarakat, maupun berupa karya-karya akademis semisal buku dan tulisan-tulisan ilmiah. Faktor ini menjadi penting mengingat salah satu indikator jenjang kepangkatan akademik, dan kredibilitasnya seorang dosen adalah ketika ia berhasil memberikan berbagai kontribusi berupa hasil karya akademik secara ilmiah dan diakui oleh komunitas ilmiah.

Dosen yang melakukan kejujujuran akademik adalah dosen yang senantiasa melakukan proses kegiatan penelitian tersebut secara otentik. Kaidah, prosedur, metodologi dan kode etik ilmiah dalam kegiatan penelitian kerap senantiasa dijunjung tinggi tanpa menegasikan unsur-unsur korelasi dan interelasi keaslian dan komparasinya dengan karya ilmiah orang lain. Sebaliknya dosen yang tidak melakukan kejujuran akademiknya dapat dilihat dari perspektif ini misalnya dengan menegasikan kaidah, prosedur, metodologi dan kode etik ilmiah dalam kegiatan penelitian. Sengaja atau tidak sengaja dengan melakukan kegiatan seperti itu, akhirnya menyebabkan dispute-nya sebuah karya ilmiah. Contoh paling dangkal dalam kasus ini adalah misalnya dosen yang begitu gampang mudah mengutip pendapat tertulis yang pernah di kemukakan orang lain, tanpa memperhatikan tata cara pengutipan (langsung dan tidak langsung) atau menggunakan catatan kaki (bca : footnote) baik secara redaksional maupun subtansial, bahkan kerap hal tersebut dilakukan secara sengaja, sehingga seolah-olah redaksi dan pemikiran akademisnya yang dinyatakan secara tekstual. Jadi amatlah ironis, ketika seorang dosen kesal terhadap mahasiswanya yang melakukan plagiasi, namun dosen itu sendiri melakukan plagiasi. Bahkan terminologi yang paling relevan untuk mendefinisikan dosen yang seperti ini adalah sebagai pelacur intelektual.

Dengan demikian jika kita ingin menjunjung idealisme dalam lingkungan pendidikan, maka sejatinya junjunglah kejujuran akademis, minimal dalam kerangka pengabdian kepada Tri Dharma Perguruan Tinggi. Persoalannya memang bukan pada masalah bisa atau tidak bisa kita sebagai dosen melakukan itu, tapi pada masalahnya mau atau tidak mau. Itu saja. Dan satu hal lagi sampai kapanpun, jika kita melakukan ketidakjujuran atau kebohongan akademik, kita kembalikan saja kepada hati nurani masing-masing. Tanggung jawab dan integritas diri ada pada diri masing-masing. Namun yang terpenting dalam sebuah komunitas ilmiah seperti lembaga pendidikan adalah seyogianya tetap ikhtiar dan memiliki political will dalam memperjuangkan misi kejujuran akademik ini diberbagai spektrum aktivitas kegiatan pendidikan.(andi trinanda - Care Education Community)

Selasa, 15 April 2008

REALITAS OPINI PUBLIK TENTANG WAKIL RAKYAT KITA

Masih ingat tentang kasus anggota DPR Yahya Zaini yang menghebohkan dengan perbuatan amoralnya dengan Maria Eva ?- tentu juga masih hangat di mata publik kasus yang baru-baru ini terjadi yaitu terbongkarnya dugaan kasus suap dan “perempuan misterius” Al Amin Nasution yang diciduk KPK. Belum lagi kasus aliran dana BI yang belum tuntas ke kantong anggota DPR, kasus bagi-bagi duit dana non budgeter oleh mantan menteri kelautan dan perikanan Rokhim Dahuri ke kantong-kantong pejabat termasuk angggota DPR, kasus tertangkapnya anggota DPR oleh Polisi di salah satu diskotik di Jakarta Barat yang lagi kedapatan mabuk dan pakai narkoba ( yang kini kasusnya menguap entah kemana) dan tentu masih banyak lagi realitas yang terjadi yang menyangkut perilaku anggota DPR kita.

Proposisi dan respectasi saya saat ini tentang eksistensi dan aktualisasi anggota perwakilan rakyat kita memang sangat degradatif. Persoalan orang lain menilai apakah saya sebagai publik – sebagai rakyat tidaklah obyektif, mengeneralisasi keadaan atau masalah – bagi saya hal tersebut sudah nggak penting. Walaupun saya masih percaya ada orang bener di DPR tapi keprihatinan kita semua saat ini adalah opini publik yang terbangun tentang realitas sepak terjang anggota parlemen kita yang bukan cuma doyan mengaksentuasi retorika (namun dangkal menangkap dan menganalisis kondisi dilematika publik dan masalah-masalah publik - yang justru kental malah kepentingan parpol dan strategi pencapaian kekuasaan jangka pendek semata), Ternyata anggota DPR juga banyak maunya, banyak nuntut hak-haknya (masih ingat tentang kasus minta mesin cuci dan laptop), padahal semua fasilitas yang diberikan sebelumnya sudah relatif lengkap. Nuntutnya banyak tapi sangat kedodoran dalam kinerjanya. Banyak maunya juga ternyata banyak ulahnya, ditambah doyan perempuan, doyan duit nggak halal sampe doyan narkoba juga. well .... inilah realitas subyektif anggota DPR kita. Saya memang mengutip pernyataan dari salah satu anggota DPR itu sendiri (Permadi) yang menyatakan bahwa masalah Yahya Zaini, Al Amin Nasution hanya sekedar “apes”nya beliau. Padahal praktek-praktek keduanya banyak sekali dilakukan oleh anggota DPR yang lain, bahkan yang lebih parah lagi, untuk masalah perempuan, tidak tanggung-tanggung hal itu dilakukan bukan cuma pada saat waktu senggang di luar gedung DPR, tapi juga di lakukan di gedung DPR. Permadi bilang Office Boy dan Cleaning Service sudah sangat terbiasa dengan kondisi demikian. Sudahlah...bagi kita sebagai rakyat, memang persoalan demoralisasi bisa terjadi di mana saja, bahkan Departemen Agama dan Departemen Hukum & HAM yang seharusnya menjadi cermin dan contoh moral bagi eksistensi sebuah lembaga negara, menurut BPK adalah justru salah satu Departemen dengan tingkat korupsi paling tinggi di Indonesia.
Menyangkut masalah perilaku anggota DPR kita yang katanya lembaga terhormat itu, sudah seharusnya kita sebagai rakyat jangan lagi memberikan cek kosong kepada mereka. termasuk semua pihak dalam konteks ini Parpol yang merepresentasi konstituen melalui anggotanya di parlemen, juga harus bertanggung jawab-bagaimana uji kelayakan dan kepatutatanya sebagai wakil rakyat, bagaimana otentitas perjalanan hidupnya sebelum sampai gedung DPR dan seterusnya. Bagaimana pula dengan Badan kehormatan yang dimiliki DPR ? siapa yang mengontrol kinerjanya.... ? Rakyat memang terlalu naif ketika melihat banyak pejabat di "fit & propert test" (uji kelayakan dan kepatutan) oleh DPR. Seolah-olah DPR sangat "megaloman" dengan fragmentasi yang menghadirkan suatu peta dikotomis tentang budaya chouvinisme intelektual di tengah iklim negara yang demokratis (namun sebenarnya sempit paradigma humanisnya). Substansinya memang sangat-sangat konstruktif namun absurd pada tataran implementasi pemahaman subyektif anggota DPR itu sendiri (kita bisa menyaksikan bagaimana cara anggota DPR bertanya, berargumen, membangun analisis, mengkonstruksi dan mengelola persepsi, paradigma dan tingkah laku- sehingga seolah-olah ia adalah orang yang paling tahu, paling otentik dan paling cakap). Rakyat jadi tertawa menyaksikannya - dan bagi saya pribadi mudah-mudahan budaya chouvinisme intelektual tergerus oleh obyektifitas dan kredibilisasi eksistensi-walaupun itu memerlukan proses. bukankah para pakar dan banyak pengamat juga sudah memberikan pernyataan dan pemahaman kepada kita, bahwa sejatinya memang di DPR itu ada 3 kategori atau golongan. Pertama, golongan idealis, yakni kelompok manusia yang memang memegang teguh prinsip-prinsip kelembagaan dan fungsi keterwakilannya di mata publik dengan kompetensi dan kapasitas intelektual yang memadai. Kedua, adalah golongan opportunis, kelompok yang memang memiliki kepentingan, termasuk kepentingan ekonomi, kepentingan politik bahkan kepentingan kasus-kasus yang beimplikasi hukum kepadanya (masu menjadi anggota DPR adalah salah satu jalan elementer yang paling mudah yang akan menyelamatkan dirinya dari masalah-masalah dengan publik-termasuk masalah hukum). kelompok ini adalah kelompok yang memang memanfaatkan peluangnya sebagai wakil rakyat untuk menggali lebih banyak lagi keuntungan pribadi dan golongannya dan sejatinya golongan ini adalah golongan yang jauh dari memikirkan rakyat. Ketiga, adalah kelompok "koboy" yang oleh Gus Dur disebut sebagai play group, kelompok yang lagi seneng-senengnya vokal dan melatih diri untuk menjadi eksis di mata publik, namun kebanyakan atau cenderung dilakukan dengan menabrak rambu-rambu etika dan aturan main ditambah sangat sensitif jika dikritik atau disinggung mengenai kinerjanya. kelompok ini adalah kelompok yang baru melek politik, namun seolah-olah pengalamannya sudah mendunia soal politik.
Nah .. berbagai kasus yang terjadi yang sama-sama kita saksikan saat ini adalah mungkin menjadi marfum bagi kita tentang siapa golongan yang ada di DPR itu. walaupun pada ghalibnya tindakan mereka tidak akan pernah menjadi marfum bagi kita sebagai rakyat. Mudah-mudahan seiring dengan sejarah yang bergulir dan proses pendewasaan kehidupan berbangsa dan bernegara kita, pihak-pihak dengan golongan yang kedua dan ketiga yang disebutkan diatas akan dengan sendirinya ter-autarki dari konteks komunalisme dan demokratisasi di Indonesia.Wallahualam bi sawab

Kamis, 10 April 2008

SEKS BEBAS DAN DEKADENSI MORAL DI KALANGAN REMAJA KITA

Beberapa waktu lalu kita telah dikejutkan oleh hasil suatu penelitian bahwa ternyata hampr sebagian besar remaja kita telah melakukan hubungan seks bebas diluar nikah. Luar biasa...!! walaupun tidak banyak kalangan membahas tentang validasi data hasil penelitian tersebut, namun barangkali cukup bagi kita untuk menyadari bahwa inilah fenomena anak-anak muda Indonesia. Bagaimana kita meyikapi fenomena ini..? Apakah kita semakin naif menganggap bahwa masalah ini adalah masalah yang sudah “biasa” dan biasa-biasa saja dalam lingkup pergaulan anak-anak muda kita ? Wallahualam... tanyakan sendiri kepada diri teman-teman. Sementara kampus, keluarga, orang tua dan lingkungan pendidikan kita, bahkan agama sebagai nilai-nilai fundamental kehidupan kita, ibarat rumput yang bergoyang, tertiup angin ketidakberdayaan dalam menuntun arah anak-anak muda kita sekarang ini. Inikah yang disebut sebagai dekadensi moral itu ? sebuah zaman yang menafikan nilai, dan bagaimana seharusnya anak-anak muda kita, yang masih belum terkontaminasi pergaulan bebas itu, atau bagi anak-anak muda kita yang sudah terjerembab ke dalam pergaulan bebas itu, menyikapi dan menjadikan fenomena ini sebagai suatu cemeti kehidupan.

Fakta Seks Bebas Itu !

Aktivitas seks yang dilakukan oleh anak-anak muda kita memang dilihat dari bentuk kategori perilakunya. Para pakar mendefinisikan hubungan seks adalah hubungan intim yang dilakukan oleh dua insan yang di dorong oleh keinginan seksualitas (birahi). Pakar seksologi dan psikologi menggolongkannya kedalam tiga bagian yakni, kissing, peeting, dan macking. Kissing berarti berciuman, peeting berarti berpelukan dan macking berarti sudah bertemunya dua kelamin. Ketiga penggolongan perilaku sekssual tersebutlah yang disebut dengan hubungan seks itu. Dan ternyata memang faktanya anak-anak muda kita pernah melakukan kategori hubungan seks tersebut dalam berbagai skala dan intensitas. Bahkan untuk kategori golongan tertentu yakni kissing dan peeting, anak-anak muda kita “sudah biasa” melakukannya. Padahal dua kategori tadi adalah jalan elementer untuk mengarah kepada hubungan badan (macking). Inilah fakta obyektif itu. Dalam berbagai kasus pun diberbagai media-kita bahkan sering menyaksikan remaja-remaja kita terbiasa menikmati gambar-gambar syur, porno dan yang identik dengan itu dalam berbagai media seperti VCD,HP dan majalah. Bahkan tidak jarang adegan dan gambar yang ditampilka-pun adalah orang-orang yang barangkali dikenalnya. Sementara berbagai sarana dan langkah-langkah preventif dari berbagai pihak, untuk meminimalisir fenomena tersebut sampai hari ini terasa tidak cukup efektif memperbaiki perubahan dinamika perilaku mereka.

Rasionalisasi tentang “Hubungan Seks”sebagai solusi

Fakta hubungan seks itu memang nikmat, fakta juga bahwa seks merupakan anugerah kenikmatan yang terindah dan luar biasa yang diberikan Tuhan kepada hambanya. Hubungan seks ibarat candu yang tak akan pernah lekang bagi siapapun untuk terus dan terus melakukannya. Itulah logika manusiawi yang tak akan pernah bisa dibendung oleh siapapun dalam bentuk apapun untuk mengimplementasikan tingkat keintimannya kepada lawan jenis. Namun hubungan seks tetap harus terarah, benar dan harus pada tempat dan tuntunannya. Pernyataan terakhir tersebut barangkali sudah banyak disampaikan oleh para pakar, baik oleh pemuka agama, guru, orang tua, dan para ahli lainnya dalam berbagai bentuknya seperti ceramah, seminar, diskusi tentang pendidikan seks dan sebagainya. Namun sepertinya trend pergaulan anak-anak muda ya tetap saja seperti itu. Pacaran tanpa seks, ibarat sayur tanpa garam.

Oleh karenanya, walaupun agak pesimis, barangkali kita dapat memberikan nilai rasionalisasi bagi anak-anak muda kita tentang hubungan seks itu. Aspek rasionalisasi itu meliputi pertama, aspek kognitif. Hubungan seks haruslah dipahami sebagai sebuah hasil keputusan pemikiran yang benar-benar ditimbang secara masak-masak. Apabila temen-temen remaja kita merasa yakin perlu melakukannya, maka lakukannya dengan jaminan aktivitas tersebut benar-benar safe. Namun konsekwensi jika remaja kita mau mencium atau dicium oleh pacar atau lawan jenisnya secara seksual, maka sebenarnya seseorang itu sudah membuka borgolnya sendiri tentang arti sebuah kehormatan. Sebab sudah pasti ketika seseorang terbuka untuk dicium secara seksual, maka dengan sendirinya ia akan dengan cepat membuka dirinya untuk aktvitas seksual yang lebih dalam lagi. Jadi Nonsens apabila seseorang bisa menjaga organ seksualnya apabila ia sudah secara terbuka dan mau untuk dicium atau dicumbu secara seksual. Jadi hati-hatilah dalam mengambil keputusan. Kedua. Afektif. Ingatlah hubungan seks itu adalah hubungan suci. Begitu maha cerdasnya Allah SWT membuat proses terjadinya manusia melalui hubungan yang suci tersebut. Oleh karena itu, apabila remaja-remaja kita melakukan hubungan seks diluar nikah, maka bayangkanlah wajah kedua orang tua kita itu pada saat anda melakukannya. Bayangkan pula adik-adik perempuan atau laki-laki kita di rumah, bayangkanlah guru-guru kita yang tak kenal lelah selalu membimbing kita kearah yang benar, bayangkanlah anda menatap Alqur,an atau kitab suci lainnya disebelah anda ketika anda melakukannya. Bayangkanlah setiap gerakan-gerakan erotis dalam aktivitas hubungan seksual anda, itu pasti dicatat oleh malaikat disebelah anda. Ia mencatat menilai setiap detail dan jengkal bahkan nafas anda yang terengah-engah itu. Persis sama ketika juri Indonesia Idol menilai para kontestan Indonesia idol. Padahal jika itu anda lakukan setelah anda menikah, setiap gerakan dan desah nafas anda adalah ibadah. Itulah pilihan rasional. Temen-temen remaja mau nggak menikah. Buang pandangan konvensional, bahwa menikah muda bahkan masih sekolah adalah menghambat masa depan dan karir serta kehidupan kita kelak. Justru sebaliknya apa yang temen-temen lakukan sekarang justru tidak ada jaminan bahwa kedepan temen-temen semua akan menjadi baik. Iya kan. Jadi kalo mau sekolah ya sekolah aja. Kalo mau sekolah sambil melakukan hubungan seksual, ya harus milih. Mending nikah dulu terus kalo mau nerusin sekolah, nggak usah kuatir, hari gini pendidikan kita sudah semakin modern dan sudah banyak pendidikan kita yang mengabaikan status sudah menikah atau belum bahkan ada home scholling.

Remaja kita memang tidak sepenuhnya salah, mereka ibarat orang-orang yang kelaparan. Mereka menginginkan santapan lezat. Sementara santapan itu tidak pernah cukup mengeyangkan mereka. Orang tua sudah super sibuk. Enggak kaya nggak miskin tetap kalo ngobrol soal dunia anak muda mereka pakai ukurannya sendiri. Para pakar, guru memberi santapan memang banyak, bahkan terlalu banyak, namun makanan dan lauk pauknya terasa nggak enak, karena salah mengolahnya. Bahkan terkadang kita para remaja dijejali makanan yang tak sesuai dengan porsi mulut kita, akibatnya makanan itu kita muntahkan lagi. Nah makanan yang paling membuat mereka menemukan jati dirinya adalah televisi dan komunikasi serta teknologi informasi seperti Internet yang memberikan alternatif santapan lezat. Tayangan pendidikan yang isinya bukan pelajaran tapi pacaran, tayangan religi yang isinya mistis, tayangan konflik keluarga yang isinya mimpi dan sebagainya. Akhirnya remaja-remaja kita hidup dalam keterawangan dan dunia yang mereka lihat sebagai agama baru bagi mereka. Ya Televisi dan komunikasi itu sebagai agama baru mereka. Itulah yang pada akhirnya menjadikan moral mereka bergeser dari mengacu kepada nilai-nilai agama, menjadi televisi dan budaya pergaulan sebagai agama baru mereka.dan upaya yang dilakukan oleh pemerintah SBY dengan memblok situs-situs porno sebagai media yang menstimulasi demoralisasi bangsa itu adalah hanyalah oase di gurun keprihatinan kita terhadap generasi muda kita.



Selasa, 08 April 2008

MEMBANGUN PARADIGMA PERAN DOSEN DALAM DUNIA PENDIDIKAN

Pendidikan di era kekinian memang sudah seharusnya menunt otentitas disegala bidang dengan mengedepankan paradigma manajemen pendidikan yang modern dan profesional. Oleh karenanya lembaga-lembaga pendidikan terutama pendidikan tinggi diharapkan mampu mewujudkan peranannya secara efektif dengan keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar, pengembangan staf, kurikulum, tujuan dan harapan, iklim akademis, penilaian diri, komunikasi, dan keterlibatan masyarakat sebagai bagian dari mekanisme kontrol terhadap eksistensi pendidikan itu sendiri. Sebab tantangan lembaga pendidikan di era global sekarang ini memang sangat berat. Bukan cuma dituntut untuk bertanggung jawab memproduksi sumber daya manusia dengan kompetensi teknis, namun juga lembaga pendidikan, terutama pendidikan tinggi dituntut untuk melahirkan sumber daya manusia yang memang memiliki paradigma pendidikan nilai sebagai tatanan normatif untuk menjadikan agar profesi yang akan digeluti oleh sumber daya manusia sebagai output lembaga pendidikan tinggi tersebut dibayangi oleh nilai-nilai etis dan moral sebagai standard etika profesi mereka di kemudian hari. Itulah tantangan realistis dan mendesak yang harus dilakukan oleh lembaga pendidikan terutama pendidikan tinggi dalam menelaah dan melakukan orientasi terhadap sistem pendidikannya. Dan salah satu pilar terdepan untuk mengarahkan sasaran sistem pendidikan yang dibangun oleh lembaga pendidikan tersebut adalah peran tenaga pengajar yang secara langsung membentuk karakter kepribadian dan kompetensi mahasiswa. Oleh karenanya sudah saatnya lembaga pendidikan memiliki tingkat selektifitas yang tinggi terhadap kualitas tenaga pengajar, untuk menjaga agar realibility sistem pendidikan terjaga dengan baik. Oleh karenanya lembaga pendidikan harus mampu menemukan dan menjaga sosok performance tenaga pengajar yang ditandai dengan keunggulan dalam nasionalisme dan jiwa mendidik yang tinggi, memiliki keimanan dan ketakwaan, penguasaan iptek, etos kerja dan disiplin sebagai tenaga pengajar dengan mengedepankan kualitas belajar dan kualitas evaluasi belajar, profesionalisme, kerjasama dan belajar dengan berbagai disiplin, serta memiliki wawasan masa depan yang tentu dibarengi dengan perspektif adanya kepastian karir dan kesejahteraan. Itu semua dilakukan agar lembaga pendidikan diyakni dan dipercaya oleh masyarakat mempunyai peranan yang amat strategis untuk mempersiapkan generasi muda yang memiliki keberdayaan dan kecerdasan emosional yang tinggi dan menguasai megaskills yang mantap. Untuk itu maka setiap waktu dan setiap saat secara dinamis lembaga pendidikan dalam berbagai jenis dan jenjang secara demokratis dan partisipatif berdasarkan kontribusi peran tenaga pengajar senantiasa memerlukan pencerahan dan pemberdayaan dalam berbagai aspeknya.

Pemberdayaan dan pencerahan terhadap kualitas mutu pendidikan di lembaga pendidikan, tentu harus dimulai dengan adanya suatu stigma berfikir sebagai landasan logis bagi tenaga pengajar untuk dapat memberikan kontribusinya kepada lembaga pendidikan. Paradigma tenaga pengajar (dosen) itu harus dimulai dengan melakukan orientasi pendidikan, yaitu : pertama, dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat. Kedua, dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, Ketiga, merubah citra hubungan dosen – mahasiswa yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, Keempat merubah orientasi dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, Kelima merubah orientasi dari pola konvensional menuju pola pendekatan teknologi informasi dan budaya. Dan keenam, dari penampilan tenaga pengajar (dosen) yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja (partnershif kepada institusi/ bukan subordinatif dengan institusi pendidikan),

Dengan paradigma tenaga pengajar tersebut diatas diharapkan nantinya lembaga pendidikan dapat menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan yang bersifat kompetitif yang berimplikasi kepada munculnya comparatif advantage terhadap suatu eksistensi lembaga pendidikan di tengah-tengah masyarakat.

Sebagai konsekwensinya, maka lembaga atau institusi pendidikan haruslah menyediakan dan menyelenggarakan suatu mekanisme pengelolaan sumber daya dosen yang lebih selektif. Mekanisme pengelolaan sumber daya dosen (tenaga pengajar) tersebut dapat dilihat dalam konteks pertama, bagaimana sistem perekrutan (recruitment) tenaga pengajar. Kedua. bagaimana membentuk pola persepsi antara kualitas kognitif tenaga pengajar dengan kemampuan beradaptasi pengajar pada kultur dan sistem akademis yang diterapkan lembaga. Sebab banyak kasus terjadi, institusi pendidikan memiliki sumber daya dosen yang baik, namun dosen tersebut tidak cukup baik untuk “tunduk” pada sistem dan aturan yang sudah di tetapkan secara baku oleh institusi pendidikan. Hal tersebut kebanyakan di justifikasi bahwa seorang dosen (tenaga pengajar) memiliki independesinya dalam memberikan proses pendidikan dan pengajarannya kepada mahasiswa. Oleh karenanya maka di harapkan dalam proses pengelolaan sumber daya dosen dalam suatu institusi pendidikan, kesepahaman persepsi tentang idealisme yang merujuk kepada budaya institusional haruslah senantiasa dipupuk dan terus dilestarikan oleh institusi pendidikan dalam medium komunikasi di segala kesempatan. Distorsi komunikasilah yang menyebabkan terjadinya prasangka dan asumsi yang keliru terhadap orientasi pengelolaan sumber daya mahasiswa. Ketiga, bagaimana mekanisme kontrol yang diterapkan oleh institusi pendidikan terhadap proses kegiatan belajar – mengajar yang dilaksanakan oleh para dosen. Untuk mengukur sejauhmana konsepsi pendidikan dan pengajaran berjalan efektif, maka eksistensi dosen dalam institusi pendidikan juga mesti di awasi untuk memberikan keyakninan tentang bagaimana kinerja dan produktivitas dosen tersebut Keempat, bagaimana penghargaan (reward) yang diberikan oleh institusi pendidikan terhadap para tanaga pengajar yang telah memberikan konstruksi positif bagi eksistensi institusi lembaga pendidikan itu sendiri.

PRESIDEN PIDATO... PEJABAT TIDUR... ?

Fenomena pejabat tidak memiliki sense of respect berupa tidak mendengarkan pidato Presiden terjadi lagi. Setelah pidato didepan para guru (PGRI), kemudian di Istana negara, terakhir baru-baru ini kembali terjadi. Kali ini di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghentikan pidatonya dalam pembekalan kepada peserta forum konsolidasi pimpinan daerah, bupati, wali kota, ketua DPRD kabupaten/kota di Gedung Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta, Selasa (8/4), karena mendapati peserta yang mendengarkan pidatonya tertidur. "Itu coba bangunkan yang tidur itu. Kalau tidur di luar saja!" ujarnya menunjuk pimpian daerah yang masih terlelap tidur. Kemudian SBY meneruskan lagi kejengkelannya dengan kalimat :"Pimpinan bagaimana dapat memimpin rakyat kalau tidur! Malu dengan rakyat yang memilih. Untuk mendengarkan pembicaraan untuk rakyat saja tidur! Jangan main-main dengan tangung jawab. Berdosa, bersalah dengan rakyat," ujarnya. Presiden akhirnya meminta kepada Ketua Lemhanas Muladi agar peserta konsolidasi yang tertidur tidak diluluskan karena masuk dalam kategori pemimpin yang tidak bisa mengendalikan diri. Menurut SBY "Lembaga yang bisa meluluskan pemimpin yang kepribadiannya jelek akan menjadi racun. Jangan diluluskan. Bukan karena tidak pandai, tetapi tidak bagus kepribadiannya," Namun Bos Lemhanas Muladi malah membela bahwa yang namanya ngantuk itu manusiawi dan yang ngantuk itu punya kencing manis… dan seterusnya bahkan beliau menyatakan peserta yang diminta SBY agar tidak diluluskan tersebut tetap akan diluluskan….

Secara kognitif, kata para pakar otak kiri kita mamang maksimal mampu secara konsisten menyerap informasi (pesan) paling lama sekitar 15 sampai 30 menit, lebih dari waktu itu bisanya otak kiri kita sudah cenderung tidak fokus,instabil, distorsif dan sebagainya. Hal tersebut sebenarnya didorong oleh gairah dan stimulasi lingkungan yang direspons oleh otak kanan. Jadi memang manusiawi jika pada komunitas yang sedang mendengarkan pesan, ada satu atau dua individu yang mengalami kondisi demikian. Misalnya ngobrol, tidak mendengarkan komunikator, asyik dengan dirinya sendiri, ngantuk dan sebagainya. Itu adalah sekali lagi karena reaksi lingkungan yang di stimulir oleh belahan otak kanan kita. Bahkan ngantuk juga katanya adalah manusiawi. Tapi bukankah yang namanya manusia itu adalah makhluk yang mampu mengontrol dan mengorganisasikan semua respon lingkungan, jika semua dari kita menjustifikasi kata manusiawi sebagai suatu reaksi dari tindakan apapun yang kita lakukan, maka salah-salah kita sebenarnya malah menjadi manusia yang tidak manusiawi, padahal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan benegara manusia kan punya prinsip komunalisme dan tatanan yang dibingkai oleh norma. Kalau semua orang menjustifikasi tindakannya dengan kata manusiawi, maka jangan-jangan mencuri pun manusiawi jika kita tidak punya uang dan sedang lapar, kebutuhan mengenai seks juga manusiawi karena semua manusia membutuhkan itu, dan apabila tidak tersalurkan, maka tempat-tempat maksiat pun bisa bertoleransi terhadap kata manusiawi kita. Saya kira pada ghalibnya kita harus menelaah istilah ”kata manusiawi” dalam perspektif yang lebih proporsional agar kita tidak terjebak pada suatu budaya komunikasi yang membenarkan suatu tindakan yang sejatinya tidak sesuai dengan nilai-nilai komunalitas. Istilah manusiawi haruslah merujuk pada aktivitas yang memiliki tingkat toleransi-kemanusiaan dalam aktivitas kehidupan manusia secara mondial.

Dalam konteks pejabat yang tidak mendengarkan/ tidur ketika Presiden berpidato.- dilihat dari sudut manapun juga tidak akan patut berada dalam nilai-nilai komunalisme manusiawi, terlebih-lebih menyangkut etika relationship dalam level tatanan kehidupan bertata negara. Teguran-teguran SBY seperti yang dilansir oleh media kepada pejabat yang tidak mendengarkan/ tidur itulah yang sejatinya menurut saya sangat manusiawi. SBY memang tidak memiliki porsi untuk memberikan sangsi karena pejabat publik di tingkat daerah adalah menjadi kewenangan rakyat didaerah untuk menentukan pemimpinya. Tapi sebagai presiden, SBY memiliki hak subordinatif kepada bawahannya dan terlebih-lebih SBY memiliki hak mengakselerasikan prinsip pembelajaran bagi image pejabat dimata publik, yaitu memberikan pemahaman kepada pejabat tersebut tentang dampak dari distorsifnya pemahaman komunalisme dalam prinsip relationship yang akan meredefinisi kembali public perception (persepsi publik), public confidence (kepercayaan publik), public support (respect dan dukungan publik) dan public cooperatif (kerjasama/ kemauan publik). Pejabat yang miskin pemahaman komunalisme tatanan dalam prinsip relationship itulah yang dipahami oleh SBY sebagai manusia yang tidak berkepribadian. Implikasi dari itu semua adalah persis apa yang dikatakan Ketua DPR Agung Laksono, bahwa konsekwensi menjadi pejabat publik adalah kognisi, afeksi dan konasinya akan senantiasa dinilai publik. Jadi mengekspose pejabat tersebut dan mempublikasikan peristiwa (tidak respect-nya kepada Presiden dengan berperilaku tidak etis) kepada publik adalah bagian dari konsekwensi yang harus diterimanya sebagai pejabat publik. Terakhir menurut saya adalah kita sangat beruntung memiliki Presiden yang memiliki tingkat komunikasi verbal secara terukur, sistematis dan memiliki sense of human dalam redaksi pilihan kata-katanya sehingga tokoh sekaliber Prof. Dr. Muladi SH, saja sampai menganggap hal tersebut adalah peristiwa biasa. Seandainya bukan SBY ...... atau seandainya kondisi tersebut terjadi di zaman Orde Baru......... bagaimana dengan pejabat itu ya... wallahualam

LIRIK SLANK DAN REAKSI DPR SAMA-SAMA TIDAK ISTIMEWA

Di tengah banyaknya persoalan bangsa dan negara, para wakil rakyat kita di Senayan sana rupanya sedang gerah. Bukan karena banyaknya masalah korupsi yang belum bisa ditangani atau rakyat di Sidoarjo yang makin sengsara, tapi karena lirik lagu band legendaris SLANK yang dinilai menghina mereka.

Lirik lagu Gosip Jalanan yang dianggap menghina itu adalah "DPR tukang buat UU dan korupsi". "Bunyi liriknya 'DPR tukang buat UU dan korupsi'. Itu akan ditindaklanjuti lewat Bamus. Ini grup komersial, bukan LSM. Kalau menjual memojokkan seseorang itu ada hukumnya. Seluruh bangsa di negara ini, kehormatannya ada di gedung ini. Ini rumah rakyat," kata Wakil Ketua Badan Kehomatan (BK) DPR Gayus Lumbuun menerangkan alasan rencana gugatan tersebut.
Pantas atau pentingkah DPR menggugat? Bagi sebagian anggota Dewan mungkin saja penting, tapi apakah itu penting buat rakyat yang diwakilinya? Penting atau tidak, yang pasti rencana gugatan ini mendapat reaksi dari masyarakat. Mungkin ada yang mendukung, mungkin ada juga mencemooh. Yang mendukung mungkin karena kehormatannya ikut terusik, yang mencemooh mungkin menganggap DPR kurang kerjaan. (Kompas, Selasa 8 April 2008).

Menilik apa yang dilakukan oleh SLANK maupun apa yang menjadi reaksi kalangan wakil rakyat (Baca : DPR) di Senayan tentang lirik lagu “Gosip Jalanan” seharusnya membuat kita biasa-biasa saja… tidak usah terlalu dalamlah menganalisis sebuah lirik yang menurut saya secara redaktif biasa-biasa dan dangkal-dangkal saja. Yang menjadi lirik tersebut adalah istimewa kan justru pada reaksinya. Bukankah sekarang ini adalah zamannya Negara bebas-negara demokrasi ? maka apa yang dilakukan SLANK sebenarnya adalah sesuatu yang menjadi hak mereka dalam mengekspresikan darah seninya secara actual-dan realitas actual apapun kan sebenarnya menjadi bagian dari strategi siapapun dalam menarik perhatian public-termasuk konteks politik sebagai suatu tema ekspresi yang di ambil oleh SLANK. dan seharusnya SLANK juga jangan terlalu GR (gede rasa) bahwa di era sekarang ini masyarakat sejatinya juga sudah biasa dan tidak terlalu mengistimewakan sebuah pesan lirik (sebab budaya komunikasi verbal kita sudah mampu mengeliminir ketabuan komunikasi yang permisif menjadi lebih asertif). Lain halnya barangkali jika lirik tersebut berada di zaman orde baru-semisal lirik-lirik Iwan Fals, Doel Sumbang, kelompok Kantata Takwa, SWAMI dan sebagainya lirik mereka menjadi istimewa karena keberanian mengekspresikan hasil realitas social kedalam lagu

Dan bagi kalangan DPR yang kebakaran jenggot karena lirik “Gosip Jalanan” dan lirik-lirik lainnya dalam lagu SLANK-adalah sebenarnya sebuah keniscayaan tentang tidak kritisnya kalangan DPR. Justru dengan reaksi yang diberikan maka sejatinya SLANK dalam teori marketing telah berhasil membuat PDB (Positioning, Defferentiation & Branding) bagi kemasan album yang baru diluncurkan tersebut sehingga menarik publik (konsumen) dan para SLANKERS untuk membeli. Padahal sebenarnya DPR haruslah marfum bahwa apa yang dilakukan SLANK dengan mengeksprsikan lirik lagu di "Gosip Jalanan" dan lagu-lagu lainnya di album Slank yang baru ini adalah karena secara empiris itulah yang di akui dan dialami publik bahwa selama ini memang DPR miskin (tidak mampu/tidak mau) karena image budaya di DPR tentang materi undang-undang (masalah) yang "kering/basah" selama ini dalam merancang UU (sebagian besar undang-undang yang dibuat adalah hasil rancangan pemerintah), yang produktif hanya sebagai lembaga kontrol saja, dan masalah korupsi... yahh pubik juga sudah sama-sama tahu... dan lagi bung Gayus Lumbun tidak usahlah terlalu mendramatisasi dan meromantisasi keadaaan "bahwa kehormatan seluruh bangsa bukan terletak di gedung DPR- yang benar adalah kehormatan seluruh bangsa terletak pada perilaku dan akhlak individunya". Bukankah lebih produktif jika DPR justru mengejar PR yang tertunda dan memperbaiki Raport yang merah dengan kerja kongkrit sesuai amanah rakyat, ketimbang melakukan reaksi atas hasil sebuah opini (apalagi hanya dari sebuah lirik lagu) yang apapun sebuah reaksi pasti akan berujung pro dan kontra. Bukankah mencurahkan energi dari implikasi reaksi tersebut jauh melelahkan ketimbang substansi pesan yang disampaikan. Jadi sebenarnya dalam perspektif saya pribadi lirik SLANK maupun reaksi anggota DPR keduanya sama-sama tidak istimewa buat saya. dan satu hal lagi ... sebenarnya tanpa krtik melalui lirik pun sebenarnya suara kaka, gebukan drum bimbim, dengkingan gitar abdi dan Ridho serta cabikan bas Ivanka sudah sangat cocok dan pas buat telinga saya.

Minggu, 06 April 2008

DILEMA PENGAJARAN : ANALISIS PROBLEM DALAM LINGKUNGAN AKADEMIS

Dunia pengajaran adalah dunia yang kompleks. Tuntutan merubah sekaligus merekonstruksi paradigma kualitas sumber daya manusia memang berangkat dari sejauhmana proses mengkristalisasi segenap perangkat pemikiran melalui proses belajar yang sistematis dan kontinyu-sambil mengurai sejauhmna relevansi bahan ajar yang diberikan dosen mampu dijawantahkan dalam realitas kehidupan sehari-hari. Namun seiring dengan banyak dan beragamnya faktor yang mempengaruhi fenomena dunia pengajaran., ada baiknya kita menelaah proses interaksi antara mahasiswa dan dosen dikelas sebagai salah satu faktor yang barangkali cukup dominan mendorong terstimulasinya perangkat pemikiran mahasiswa. Alih-alih kompetensi, proses pendewasaan berfikir dan kemampuan merekonstruksi wacana dan gagasan akademis tentang persoalan dalam kehidupan sehari-hari memang beraawal dari kondusifitas komunitas di lingkungan tersebut.
Tulisan ini hanya mengangkat sekelumit problem mendasar dan menjadi dilema dalam dunia pengajaran yang implikasinya dapat dirasakan pada output dan kemampuan sumber daya mahasiswa itu sendiri. Saya tidak ingin menjustifikasi faktor dilema pengajaraan timbul hanya karena “hegemoni akademis” semata - seperti yang pernah disampaikan oleh Prof. Dr. Sri Edi Swasono. Beliau menyatakan bahwa hegemoni akademis-menyebabkan terjadinya proses pendangkalan kreativitas berfikir mahasiswa yang berdampak pada tingkat wawasan berfikir mahasiswa tersebut.
Tulisan ini mencoba menangkap dilema pengajaran tersebut dengan melihat lebih dekat situasi pengajaran di kelas yang penulis rasakan. Yang barangkali jika diurai secara spesifik ada beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu karakteristik kelas, karakteristik mahasiswa secara personal, karakteristik dosen dan iklim pengajaran. Satu hal yang paling mendasar dilema pada saat pengajaran adalah munculnya “ketidakpedulian akademis” yang menghinggapi kultur berfikir dalam dunia pendidikan. Sampai hari ini kerap terjadi gejala “kegagapan” mahasiswa dalam mencerna materi kuliah untuk membaca konteks relevan lebih besar dalam kehidupan nyata di luar ruang kelas, serta sikap terfokus melulu pada kepentingan dan tujuannya sendiri. Secara teoritis menurut William Labov (1972) ketidakpedulian akademis (academic ignorance) merujuk pada “keterbatasan belajar dan menalar akibat setting sosial tertentu”. Dalam The Perils of Academic Ignorance (Chronicle of Higher Education, 2005), LJ Davis mengatakan, ketidakpedulian akademis terjadi ketika seseorang “terus-menerus mengabaikan cara berpikir dan minat pada cakupan keseluruhan suatu bidang akibat keterbatasan pengetahuan”. Substansinya adalah mahasiswa kerap terbelenggu oleh situasi rutinitas akademis
Gejala ketidakpedulian akademis krusial dicermati sebab persis kontradiktif dengan wacana-wacana besar pembaruan pendidikan, di mana praktik pengajaran formal salah satu aspeknya. Wacana “pendidikan dan perubahan sosial” atau “pendidikan sebagai humanisasi” sering terpancang lebar pada langit diskusi pembaruan pendidikan, tetapi jauh dari bumi pengejawantahannya sehari-hari.
Sikap Mahasiswa = Kultur Akademik
Proses perkuliahan dikelas terkadang cenderung terhenti pada teori-teori sebagaimana diuraikan buku teks. Upaya menjabarkan teori untuk mencermati fenomena relevan sehari-hari hanya mengundang muka-muka lesu di dalam kelas.konsepsi ini dikenal dengan “text book thinking”. Dilema pengajaran dalam konteks ini muncul karena keterbatasan akses informasi yang menjadi kendala mahasiswa mengaitkan teori dengan sikap kritis atas fenomena keseharian. Faktor lainnya adalah menyangkut faktor tingkat “kemapanan” yang membuat mahasiswa malas berpikir rumit apalagi jika tidak langsung terkait kepentingan mereka. (baca : kebanyakan berlaku pada mahasiswa-mahasiswa yang kuliah di malam hari, sehabis mereka bekerja). Dalam konteks yang lain faktor ini juga ditengarai oleh timbulnya kecenderungan fokus yang melulu pada substansi perkuliahan yang berorientasi pada kelulusan kuliah. Sebab kelulusan kuliah masih menjadi barometer utama dan dipandang sebagai symbolic capital untuk mobilitas sosial secara akademis. Padahal sejatinya. Kompetensi dan pemahaman mahasiswa terhadap suatu bidang masalah sesuai dengan konteks materi kuliah yang diwacanakan berdasarkan konstruktivitas berfikir mahasiswa adalah nilai hakiki dalam perspektif output akademis. Menariknya sampai hari ini pengalaman penulis mengajar di perguruan tinggi, mahasiswa lebih tertarik untuk merespons positif paradigma text book thinking tersebut ketimbang melakukan telaah relevansi terhadap bahan ajar atau materi kuliah. Kondisi demikianlah yang pada akhirnya menjadi kultur akademis yang melembaga di tengah komunitas dunia pendidikan kita. (wallhualam).
Gaya mengajar
Dilema pengajaran-dalam praktik pengajaran di kelas, banyak dosen kesulitan membangun komunikasi interaktif yang memancing kepedulian ilmiah mahasiswa. Motivasi dosen dan syaratnya beban kerja termasuk didalamnya adalah korelasi positif antara reward & punishment ditengarai sebagai penyebab timbulnya dilema tersebut yang berimplikasi kepada rentannya kualitas hasil pengajaran. Disamping karakteristik kompetensi seperti gaya mengajar (teaching style) juga amat menentukan. Dilema pengajaran ini sangat erat kaitannya dengan efektifitas proses pembelajaran itu sendiri. Sebab prinsip efektivitas pembelajaran adalah kesesuaian gaya mengajar dosen dengan gaya belajar mahasiswa Namun demikian sebagai dosen kita juga harus menyadari bahwa tujuan pengajaran di kelas bukan sekadar efektivitasnya. Sebagai praktik pendidikan, pengajaran mengemban misi selain mereproduksi pengetahuan. Pengajaran harus menumbuhkan kepedulian ilmiah. Gaya mengajar dosen diharapkan mengakomodasi misi tersebut. Oleh karenannya dalam konteks ini lembaga atau institusi pendidikan juga harus lebih selektif tentang kualifikasi dosen yang mengajar. Bukan cuma tingkat pendidikan formal saja yang menjadi skala ukuran. Namun pengalaman belajar dan pengalaman mengorganisasikan pemikirannya ( baca : dapat dilihat dalam pengalaman berorganisasi) juga menjadi pertimbangan obyektif dalam merekrut tenaga pengajar. Sebab secara teoritis gaya mengajar dosen amat dipengaruhi oleh pengalaman belajarnya. Evans (2004). Singkatnya, sebenarnya kunci mengatasi problem dalam dilema pengajaran yang berimplikasi kepada tingkat kepedulian akademis mahasiswa harus dimulai dengan pembaruan gaya mengajar dosen. Namun, upaya memperbarui gaya mengajar dosen sulit tercapai jika para dosen yang mengajar dosen-dosen itu bergaya ortodoks dan hanya berorientasi pada efektivitas pembelajaran saja (suasana kelas yang tenang, mahasiswa yang hanya pasif dan menuruti kemauan dosen, tidak ada bargaining akademis antara dosen dan mahasiswa dan sebagainya).

Sekali lagi mudah-mudahan upaya menggagas dilema pengajaran di lingkungan akademis ini akan menggugah paradigma kita untuk melakukan proses revitalisasi dan pembaharuan dalam dunia pengajaran yang menuntut segi-segi otentitas dan kultur yang dinamis sesuai dengan keinginan dan perubahan zaman (tidak stagnan).

TERNYATA BERAT MENJADI DOSEN... ?!

Profesi sebagai dosen senantiasa dituntut untuk berkembang seiring berkembangnya pula zaman. Dulu peran dosen hanya menekankan pada pembentukan wawasan serta pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan, namun kini seiring berubahnya paradigma dan kompleksitas problem dalam dunia pendidikan kita, peran dosen senantiasa juga bergeser yakni disamping menjadi seorang transformator keilmuan secara akademis juga sekaligus sebagai fasilitator pembelajaran yang merupakan tuntutan di era kekinian..
Perubahan ini tidak berarti tugas dan tanggung jawab dosen menjadi lebih ringan, karena sampai kapanpun dosen tetap memiliki tanggung jawab dalam pembentukan pengetahuan, keterampilan dan sikap-nilai dari proses pembelajaran yang berlangsung, serta bertanggung jawab untuk berpartisipasi secara nyata dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan secara utuh. Konsekuensi logisnya, dosen mesti memahami karakteristik dan isi bahan ajar, menguasai konsep mengenal metodologi ilmu yang diajarkannya dan memahami konteks bidang studi tersebut, korelasi dan interelasinya dengan konsepsi pendidikan link and match.Selain itu, dosen dalam konteks kekinian sekarang ini juga perlu dituntut untuk mengenal lebih dalam karakteristik mahasiswanya yang cenderung semakin kritis namun juga pragmatis serta cenderung memiliki technokratisme-materialisme berfikir. Oleh karena itu, dosen sebaiknya juga perlu melakukan pendekatan yang lebih persuasif dan personal untuk mendorong agar sifat-sifat tersebut menjadi lebih konstruktif bagi kehidupan mahasiswa kelak, khsusunya dalam dunia kerja. Dengan kata lain paling tidak dosen juga harus memiliki wacana bahkan main set pedagogis serta diharapkan lebih kreatif menjadi motivator dan mampu secara kreatif mengembangkan berbagai model pembelajaran yang menstimulasi semangat berfikir mahasiswa.Dalam kerangka tersebut diatas maka institusi pendidikan sebagai medium pengejawantahan profesi dosen, senantiasa harus selalu progress, otentik dan aktual agar meningkatkan kualitas dan kompetensi dari para dosen, dengan terus-menerus merevitalisasi diri sesuai dengan tuntutan kualifikasi standard bagi seorang dosen. Disamping peran institusi pendidikan dalam mengakomodasi kepentingan tuntutan kualifikasi dosen yang korelasinya sangat signifikan terhadap mutu atau kualitas dan iklim kegiatan belajar mengajar, sebenarnya dosen itu sendiri secara psikologis juga perlu menyadari tentang makna profesinya. Dosen mesti mencintai profesinya. Kecintaan akan profesi merupakan pintu masuk bagi dosen untuk menjadi profesional dan berkualitas. Seperti seorang laki-laki yang mencintai gadis pujaannya, ia rela melakukan apa saja demi gadis yang dicintainya. Jika dosen mencintai profesinya, mencintai anak-anak didiknya, apa pun hambatan dan kesulitan yang dihadapi—apalagi hanya gaji yang rendah atau honor yang minim—tidak akan sanggup mematahkan semangat dosen untuk berkarya demi memanusiakan manusia-manusia muda. Dan, untuk dapat mencintai profesinya, dosen harus menengok kembali ke belakang, mengapa ia menjadi dosen. Memurnikan kembali motivasi awal menjadi dosen. Menghapus keterpaksaan masa lalu dan menukarnya dengan kejernihan visi dan misi baru. Bahwa dengan memilih menjadi dosen, ada tanggung jawab moral dan sekaligus tanggung jawab sosial yang jauh lebih besar daripada sekadar keterpaksaan diri, yang mesti diemban oleh dosen. Dan, harus diakui, ini juga bukan perkara mudah. Butuh proses yang sangat panjang.

SELF PROMOTION DI TEMPAT KERJA IMPLIKASINYA BAGI EKSISTENSI KARYAWAN

Prolog

Self Promotion secara umum dikatakan sebagai suatu usaha mengembangkan personality seseorang agar diketahui seberapa besar nilai eksistensi pribadi dirinya dalam suatu komunitas. Tujuan dari self promotion tiada lain dan tidak bukan adalah pengakuan dari komunitas itu sendiri tentang kontribusi dan produktifitas seseorang itu di organisasi (baca : ditempat kerja). Secara teoritis self promotion adalah merupakan bagian dari suatu hakikat nilai kebutuhan hidup seseorang. Menurut Maslow setiap orang memiliki hirarki (tingkatan) dalam upaya mencapai suatu taraf hidup yang diinginkan. Tingkatan tersebut berjenjang dari pemenuhan kebutuhan pokok, kebutuhan rekreasi (hiburan), kebutuhan mengenai pengakuan dan kebutuhan tentang aktualisasi diri. Hirarki tersebut pada prinsipnya berdiri diatas faktor-faktor nilai kepribadian orang itu sendiri yang diukur dari berbagai segi, misalnya saja dari segi ekonomi, segi sosial budaya, bahkan dapat dilihat dari segi politik. Tinggal persoalannya dimana proposisi mengenai self promotion tersebut seseorang tempatkan. Dengan kata lain tidak ada salahnya apabila dalam lingkup komunitas kerja terkadang orang perlu mempromosikan dirinya sendiri agar paling tidak komunitas lingkungan kerja “mengakui” produktivitas dan kinerja yang pernah dan telah dilakukannya. Proposisi yang dimaksud adalah apakah cara mempublikasikan diri tersebut sesuai dengan kaidah dan budaya komunikasi. Dalam konteks ini budaya komunikasi dapat dilihat dari sejauhmana komunikasi intra dan antar personal dalam lingkup komunikasi formal tersebut dibangun oleh organisasi kepada masing-masing individu, baik secara vertikal maupun horizontal.

Self Promotion dalam Konteks Komunikasi Intra dan Antar Personal

Self promotion dalam konteks komunikasi intra personal dilakukan untuk mendorong timbulnya motivasi dalam diri. Hal ini penting dilakukan mengingat setiap orang pasti memiliki orientasi dalam bekerja sekecil apapun orientasi tersebut. Orientasi tersebut akan memberikan nilai bagi kualitas produktivitas dan kinerja seseorang. Self Promotion dalam konteks komunikasi intra personal inilah yang akan melahirkan semangat keberpihakan dalam diri atau rasa memiliki (sense of belonging) ketika organisasi dimana tempat ia bekerja telah memberikan harapan bagi dirinya dalam bentuk dan dalam konteks apapun. Istilah “right or wrong is my organizer” adalah cermin telah lahirnya embrio kesetiaan kepada organisasi, dan tentu hal tersebut didapatkan ketika setiap individu mau atau sudah secara terbuka melakukan self Promotion dalam dirinya. Self Promotion dalam konteks komunikasi intra personal tersebut juga akan memberikan semacam proses pendewasaan berfikir terhadap suatu gejala fenomena dalam proses interaksi yang dibangun organisasi. Self Promotion dalam konteks komunikasi intra personal inilah yang menyebabkan orang semakin matang dan dewasa dalam lingkup suasana dan iklim kerja karena learning process yang panjang dengan mengambil ikhtiar dari pengalaman yang dirasakannya. Self Promotion dalam konteks komunikasi antar personal juga perlu dilakukan. Hal ini penting untuk memberikan semacam komparasi obyektif tentang kompetensi dan skill yang dimiliki oleh setiap individu. Secara umum dapat disimpulkan bahwa ketika seseorang melalukan self promotion dengan pendekatan komunikasi antar personal, maka sejatinya akan melahirkan konsep “keterbatasan” dalam diri, yakni bahwa kita memang memerlukan parameter terhadap kemampuan pribadi kita, dan kemampuan pribadi tersebut tidak dimonopoli oleh pribadi orang tersebut. Sebab semakin kita mampu melakukan komparasi terhadap perilaku dan kemampuan orang lain, maka kita akan merasakan pula sejauhmana diri pribadi kita memiliki keterbatasan. Dengan demikian self promotion memang perlu dilakukan mengingat pengakuan seseorang dalam eksistensinya di lingkup komunitas kerja, perlu apresiasi oleh orang lain, dan upaya untuk memberikan gambaran mengenai apresisi orang lain terhadap diri kita itu memberikan value apabila secara pribadi kita mampu mensosialisasikan apa yang sudah pernah kita lakukan dan perbuat secara konstruktif dan positif bagi diri kita, terlebih-lebih memberikan kontribusi bagi organisasi dimana kita mengabdi. Namun demikian self promotion dalam konteks komunikasi antar personal ini, perlu dilakukan dengan suatu pendekatan yang obyektif dan kecakapan berkomunikasi yang baik. Pendekatan yang obyektif dimaksudkan bahwa self promotion memang perlu di sosialisasikan untuk diketahui orang lain sesuai dengan apa yang pernah seseorang perbuat sebagai bentuk kontribusinya kepada orang lain. Hal ini penting mengingat tingkat sensitivitas dari implementasi self promotion ini terkadang memberikan kesempatan kepada kita justru untuk mencederai semangat komunalitas dalam lingkup komunitas kerja. Sebagai contoh, terkadang kita mempopulerkan sesuatu pekerjaan kepada orang lain, terlebih-lebih kepada pimpinan, namun sejatinya pekerjaan yang kita informasikan dan sosialisasikan tersebut adalah bukan pekerjaan kita. Atau self promotion dalam konteks ini bisa saja dimanipulasi dan dicederai oleh perilaku buruk kita sebagai imbas terbukanya tingkat persaingan dalam bekerja. Kecenderungan dari destruksi self promotion ini adalah terkadang seseorang bisa menganggap dirinya bisa menyenangkan orang lain terlebih-lebih pimpinan dengan informasi yang kita berikan, dengan harapan kita nantinya jadi ”populer” dimata pimpinan. Namun cara-cara yang dilakukan tidak dilakukan dengan cara-cara yang elegan. Misalnya dengan menjelek-jelekkan orang lain secara personal maupun menakar kontribusi dan kemampuan orang lain, yang sejatinya hal tersebut sekali lagi justru dapat mencederai semangat kebersamaan. Self promotion dalam konteks komunikasi antar personal juga perlu dilakukan dengan tingkat kecakapan berkomunikasi yang baik. Kecakapan berkomunikasi disini bukan dilihat dari pandainya seseorang bertutur secara sistematis, kemampuan orasi dan bersosialisasi yang baik dan sebagainya. Walaupun kesemua hal tersebut penting, namun yang lebih penting dari kecakapan berkomunikasi tersebut adalah etika menyampaikan suatu pandangan atau pendapat pribadi dihadapan komunitas organisasi, baik kepada bawahan, teman satu level atau kepada kepada pimpinan. Etika yang dimaksud adalah komunikasi yang dibangun haruslah melewati budaya (kultur) organisasi dimana seseorang tersebut berada. Sebab Kultur organisasilah yang akan meredefinisi perilaku seseorang terhadap publiknya sendiri. Secara kongkrit misalnya terkadang maksud seseorang baik, yakni untuk mensosialisasikan dan menginformasikan apa yang telah dilakukannya sebagai sebuah pengakuan bagi nilai eksistensinya, namun terkadang pula niat baik tersebut diintepretasikan tidak secara proporsional, yakni bisa saja seseorang justru malah disebut sebagai arogan (baca : sombong). Oleh karena itu maka untuk mempromosikan diri seseorang harus memahami betul bagaimana pola dan budaya komunikasi dalam organisasi.

Budaya Organisasi Implikasinya terhadap Kecenderungan Munculnya Self Promotion

Berbicara tentang budaya organisasi, maka ada satu hal yang barangkali perlu menjadi suatu gambaran, agar setidaknya kita sebagai individu dalam lingkup anggota komunitas organisasi tidak menjustifikasi budaya yang dikembangkan dan menjadi laten dalam suatu organisasi itu baik atau buruk. Sebab yang namanya budaya organisasi inheren dengan latar belakang pengelolaan organisasi itu sendiri. Ada banyak faktor yang mempengaruhi suatu budaya menjadi bagian dari perilaku organisasi, salah satunya pertama, bagaimana pengelolaan organisasi dilihat dari aspek manajerial, kedua, bagaimana pola komunikasi yang dibangun oleh organisasi, ketiga¸sejauhmana partisipasi yang disediakan oleh organisasi.

Untuk menjawab faktor yang pertama, yakni yang menyangkut pengelolaan organisasi yang dilihat dari aspek manajerial, maka yang harus dicermati adalah sejauhmana organisasi memberikan deskripsi tentang mekanisme dan sistem pengelolaannya yang jika kita intepretasikan lebih detil hal tersebut dapat dilihat dari soal aturan main (rule of the game), soal job discription, dan soal-soal yang berhubungan dengan decisiĆ³n making. Dalam konteks yang demikian itu, jika proses manajerial dilakukan secara obyektif dalam artian terbuka ruang bagi semua pihak untuk mengimplementasikan peran dan posisinya dalam suatu organisasi, maka self promotion-tanpa dilakukan-pun sebenarnya publik organisasi sudah merasakan produktifitas dan kontribusi masing-masing individu. Sebab tiap individu sudah terpetakan dalam pola pembagian posisi dan tugas serta masuk kedalam suatu rangkaian rentang kendali secara manajerial. Jadi apabila organisasi sudah mampu menciptakan budaya “mengedepankan aturan main”, maka sejatinya self promotion sama sekali tidak dibutuhkan. Karena sekali lagi eksistensi seseorang dalam budaya organisasi seperti itu sudah diakui dan secara implisit hal tersebut memang sudah tertuang menjadi salah satu reward organisasi kepada individu (karyawan). Lain soal apabila baik secara infrastruktur maupun suprastruktur organisasi telah memiliki piranti atau elemen manajemen tersebut, namun secara aplikatif tidak diimplementasikan kepada individu karena beberapa sebab, misalnya faktor personality pemimpin, faktor konflik kepentingan dan lain-lain, maka self promotion menjadi suatu pilihan agar organisasi terutama pimpinan mau tidak mau melihat dan menjadi tahu bahwa setiap individu memiliki andil dalam memberikan kontribusinya buat organisasi.

Faktor yang kedua adalah budaya komunikasi. Budaya komunikasi dalam konteks komunikasi organisasi harus lihat dari berbagai sisi. Sisi pertama adalah komunikasi antara atasan kepada bawahan. Sisi kedua antara karyawan yang satu dengan karyawan yang lain. Sisi ketiga adalah antara karyawan kepada atasan. Masing-masing komunikasi tersebut mempunyai polanya masing-masing. Hal inilah yang dinamakan bahwa dalam komunikasi organisasi itu akan lahir yang namanya hubungan industrial dan hubungan subordinatif. Hubungan industrial adalah hubungan yang meletakkan individu atau karyawan sebagai assetnya organisasi, karena ia asset maka ia harus dipelihara dan dikembangkan. Oleh karenanya maka prestasi dan produktifitas kinerja karyawan menjadi salah satu ukuran penting bagi eksistensi individu atau karyawan tersebut dalam suatu organisasi. Hubungan subordinatif adalah hubungan pemberian perintah antara atasan kepada bawahan. Hubungan ini harus disadari menggingat individu atau karyawan bukan cuma dilihat dalam konteks pembagian tugasnya saja. Namun juga dilihat dari rentang posisi yang diberikan organisasi kepada individu atau karyawan. Oleh karenanya maka kesetiaan dan kepatuhan karyawan menjadi salah satu ukuran penting dalam melihat eksistensi individu atau karyawan. Self promotion dalam budaya komunikasi organisasi ini harus dikembangkan dan dipelihara secara obyektif. Apabila organisasi-termasuk pimpinan menciptakan budaya komunikasi yang proporsional, partisipatif dan bertendensi pada upaya penciptaan hubungan yang harmonis, maka sebenarnya karyawan tidak perlu melakukan self promotion. Self promotion menjadi pentig dilakukan apabila ada salah satu dari budaya komunikasi yang dilakukan organisasi, tidak dilakukan secara fair, adil dan obyektif, akibatnya individu atau karyawan dirasa perlu melakukan suatu komunikasi yang bertujuan untuk memberikan pengakuan bahwa tiap individu atau karyawan punya andil dalam membesarkan organisasi. Tanpa kontribusi individu atau karyawan, maka peran manajer tidak akan ada apa-apanya. Tanpa peran manajer, maka seorang Direktur atau pimpinan tidak ada apa-apanya.

Faktor yang ketiga adalah partisipasi. Partisipasi adalah suatu kesempatan yang diberikan oleh organisasi kepada individu atau karyawan untuk mengembangkan kemampuan atau kompetensinya kepada organisasi. Secara kongkrit organisasi akan memberikan keleluasaan kepada individu atau karyawan untuk melakukan inisiatif, kreatifitas dan kemampuan mengambil keputusan sebagai suatu learning proses kaderisasinya menjadi pemimpin, atau paling tidak mengaplikasikan proses aktualisasi dirinya dalam organisasi. Jika organisasi melakukan hal yang demikian itu, maka sebenarnya self promotion dengan sendirinya akan dilakukan oleh individu atau karyawan, karena karyawan akan menyadari bahwa proses observasi dan penilaian organisasi terhadap dirinya sangat ditentukan oleh parameter kreatifitas, pengejewantahan ide dan gagasan dan kemampuan kognitifnya dalam mengemban proses kegiatan organisasi. Jika organisasi tidak menciptakan pola partisipasi, maka salah satu implikasi yang akan muncul kemudian adalah timbulnya konflik antar kepentingan, masing-masing individu akan berupaya “populer” dimata pimpinan namun kesemuanya tidak dalam suatu kerangka iklim yang kondusif dan tidak dibarengi oleh produktifitas dan kinerja individu atau karyawan secara obyektif.


Epilog

Berdasarkan deskripsi tersebut diatas, maka jelas bahwa sebenarnya self promotion adalah bagian yang tidak terpisahkan dari yang namanya kebutuhan hidup manusia secara umum. Pengakuan orang lain terhadap apa yang seseorang lakukan di tengah komunitas organisasi penting untuk membangun semangat komunalitas dan peningkatan kualitas sumber daya individu itu sendiri secara kualitatif. Tinggal persoalannya adalah apakah kemauan individu atau karyawan dalam melakukan self promotion terhadap organisasi dibarengi dengan semangat organisasi terutama pimpinan organisasi dalam menciptakan iklim atau kondisi yang kondusif bagi individu atau karyawan. Tiga faktor diatas adalah salah satu dari indikator keberhasilan organisasi dalam memanfaatkan momentum semangat individu dalam melakukan self promotion untuk kepentingan organisasi dalam jangka panjang. Khususnya dalam hal yang menyangkut kaderisasi kepemimpinan dan menciptakan TOL (totalitas, orientasi dan loyalitas) karyawan.