Selasa, 29 April 2008

UJIAN NASIONAL : AMBISI MELIHAT HASIL-BUKAN PROSES

Syahdan mulai 22 April 2008 untuk kesekian kalinya pemerintah menyelenggarakan Ujian Nasional. Untuk kesekian kalinya pula pemerintah setiap tahun menaikan great standard kelulusan bagi siswa, dan setiap komunitas pendidik dan masyarakat yang concern terhadap pendidikan melakukan evaluasi, cetak biru tentang Ujian Nasional yang menegasikan otonomisasi sekolah itu - sampai hari ini tetap saja belum memberikan implikasi positif tentang kecenderungan kualitatif kompetensi siswa-siswi kita. Mengapa ?

Sejatinya jika ditelaah dalam perspektif dan anasir kognitif, kebijakan pemerintah adalah inheren dengan cita-cita kita semua, yaitu memiliki tingkat kesetaraan secara kualitatif dalam konteks sumber daya manusia dalam episentrum regional bahkan internasional. kita sama-sama marfum bahwa ketertinggalan kita dengan bangsa-bangsa lain adalah karena salah satu faktor mendasarnya yaitu kualitas sumber daya manusia kita yang “lebih rendah” dari negara lain. dan berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia maka adalah logis jika kita berbicara tentang bagaimana kualitas pendidikan kita. jadi dalam perspektif ini, adalah naif apabila sebagai masyarakat yang concern terhadap pendidikan, kita memiliki paradigma sempit tentang justifikasi kualitas pendidikan dengan mengkorelasi nilai akademik formal an sich. padahal pendidikan adalah sebuah proses membentuk karakter dan sikap manusia yang di dalamnya mengandung berbagai medium nilai dan kontekstualisasi makna interaksi dan proses kematangan bersosialisasi, sehingga pendidikan menjamin paradigma yang obyektif tentang berbagai perkembangan dalam kehidupan dimasyarakat.

Ketika pemerintah melakukan hegemoni terhadap mutu pendidikan kita dengan meng-autarki peran sekolah sebagai pihak yang memiliki primary key terhadap kualitas peserta didiknya, maka bisa kita tebak : ujian nasional berlangsung dengan realitas keterpaksaan sekolah, sebab pemerintah sekaligus melakukan interelatif antara nilai kelulusan dengan kualitas mutu sekolah. Akibatnya ketika berlangsung Ujian-beberapa sekolah terpaksa pula banyak melakukan “kecurangan”. dari perspektif ini saja seharusnya pemerintah bisa melihat sekaligus menakar kedalaman makna pendidikan itu sendiri bagi masyarakat dan bagi sekolah sebagai pihak yang menyelenggarakan pendidikan. proposisinya adalah mendorong kualitas dengan nilai formal secara akademik memang diperlukan untuk melihat tingkat comparatif advantage bagi peserta didik, namun sejatinya yang jauh lebih penting yang justru seharusnya mendapat prioritas agar comparatif advantage tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara akademis, pemerintah seharusnya terlebih dulu mendorong dan meningkatkan proses bagi peningkatan kesetaraan mutu pendidikan di Indonesia secara komprehensif (tidak terkecuali pada sekolah-sekolah yang memiliki akses terbatas secara demografis dan geografis). Proses tersebut misalnya meliputi kebijakan-kebijakan pemerintah tentang ketersediaan infrastruktur dan suprastruktur sekolah. jika proses tersebut berjalan secara elementer, maka implikasinya bukan saja pemerintah akan mendapatkan standarisasi tentang mutu pendidikan sehingga mendapatkan comparatif advantage dengan bangsa lain, namun yang lebih penting dari itu adalah pemerintah akan mendapatkan pula competitif advantage bagi output pendidikan kita dengan bangsa lain.
Membangun kualitas pendidikan kita adalah merupakan proses politik sekaligus proses sosial yang menempatkan berbagai kepentingan (baca : pemerintah pusat dan daerah, komunitas praktisi pendidikan, masyarakat dan elemen-elemen lainnya) yang terintegrasi dan terinterdependensi agar tercipta education life cycle yang akan mendorong hasil (output) berdasarkan proses sesuai dengan kebutuhan dan kompetensi peserta didik. dan pemerintah barangkali abai bahwa nilai tidak semata-mata bertalian kelindan dengan kognisi, konasi dan afeksi sumber daya manusia itu sendiri. Dengan kata lain, proposisi yang dilakukan dan menjadi target pemerintah saat ini adalah menempatkan paradigma tekhnokratisme pendidikan diatas nilai-nilai fundamental yaitu humanisme pendidikan itu sendiri, dan hal tersebut jelas mencederai semangat dan pengabdian pendidik selama ini yang menempatkan pendidikan secara kontekstual sebagai suatu proses memanusiakan manusia diatas kemampuan tekhnokratis yang cenderung tekstual.

(Andi Trinanda - Ketua Pokja di Care Education Community)

Kamis, 24 April 2008

KEJUJURAN AKADEMIK


Dimanapun dan sampai kapanpun, yang namanya kejujuran adalah sesuatu yang mutlak yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Dengan kejujuran niscaya seseorang akan dapat mengisi hidup dan kehidupannya dengan baik. Kejujuran adalah apa yang dilakukan oleh seseorang sesuai dengan seberapa besar orang tersebut memahami dan memaknai otentitas sesuatu dari aktivitas kehidupan yang dilakukannya. Itulah ukuran tentang seberapa besar nilai kualitas hidup seseorang. Bangsa ini menjadi terdegradasi kualitas moral kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakatnya pun salah satu sebab yang signifikan berasal dari masalah kejujuran tersebut.

Kejujuran dengan kata lain menjadi salah satu tolok ukur dalam setiap aktivitas kehidupan, tidak terkecuali dalam lingkungan dunia pendidikan-pun, masalah kejujuran menjadi salah satu indikator keberhasilan dalam proses kegiatan belajar-mengajar yang dilakukan. Alih-alih ingin memperoleh hasil yang maksimal dan positif, namun jika dilakukan secara tidak jujur maka implikasinya tetap saja tidak akan baik. Walaupun dikatakan lembaga pendidikan dikatakan berhasil, namun sejatinya keberhasilan tersebut adalah keberhasilan yang semu, Sebab proses menuju keberhasilan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tidak jujur.

Diberbagai tingkatan dalam dunia pendidikan, juga sering kita alami praktek-praktek ketidakjujuran tersebut. Salah satu bentuk ketidakjujuran yang terdapat di lingkungan dunia pendidikan, khususnya di lembaga pendidikan tinggi kerap dilakukan oleh dosen maupun mahasiswa. Misalnya melakukan plagiasi atau menyontek. Bahkan masalah ketidak jujuran tersebut juga kerap pula menghinggapi lembaga pendidikan, misalnya berupa penegasian dan membuat simplifikasi-absurd standarisasi kompetensi dan kualifikasi kurikulum.

Kita harus menyadari bahwa persoalan kejujuran akademik, sampai kapanpun tetap akan selalu ada. Sebab kejujuran akademik adalah masalah kejujuran hati nurani. Biar bagaimanapun kebijakan yang digulirkan lembaga pendidikan dengan tujuan mengeliminir setiap ruang ketidakjujuran, namun tetap saja sebenarnya yang bisa mengontrol kejujuran akademik tersebut adalah diri pribadi pelaku dalam dunia pendidikan itu sendiri. Sekali lagi keberhasilan karir seseorang dalam dunia pendidikan, jika ia melandaskan diri dari aktivitas ketidakjujuran dalam memperoleh hasil akademis, maka sejatinya ia berdiri pada hasil yang semu. Tidak akan bisa dinikmati secara hakiki. Sampai kapanpun kepalsuan atas apa yang dilakukan, akan senantiasa terus teringat selama hidup. Itu artinya siapapun orangnya, jika ia melakukan ketidakjujuran akademik, ia akan selalu mengingat peristiwa itu, yang pada akhirnya membuat ketidaknyamanan dalam memori hidupnya sendiri.

Kejujuran Akademik Dalam Perspektif Tri Dharma Perguruan Tinggi

Mahasiswa yang berhasil melalui cara-cara yang tidak jujur dengan cara menyontek karya orang atau plagiasi hasil karya akademiknya, akan senantiasa dirasakan dalam bentuk ketidakcakapan (incompetency) dalam dunia kerja atau dalam praktek-praktek lainnya dalam kehidupannya kelak. Dengan kata lain bisa jadi ia berhasil dalam nilai, namun tidak akan mendapat tempat dalam kapasitas hidupnya dimata orang lain, lebih-lebih dalam dunia kerja. Sebab nilai yang diperoleh adalah palsu.

Bagaimana dengan dosen yang melakukan ketidakjujuran akademik ? Jika kita menelaah peran dosen sesuai dengan pola aplikasi dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, kita bisa melihatnya dalam praktek-praktek sebagai berikut :

Dalam dunia pengajaran misalnya, dosen yang melakukan kejujuran akademik adalah dosen yang senantiasa melakukan kegiatan pengajarannya sesuai dengan latar belakang keilmuan dan kompetensi atau keahlian yang dimilikinya, ia menguasai materi kuliah dan memberikan materi kuliah sesuai konteks kurikulum yang dibebankan oleh lembaga kepada dosen yang bersangkutan. Mengusai materi kuliah juga tidak cukup, ia juga otentik terhadap bahan ajarnya, sehingga materi yang disampaikannya juga relevan dengan content dan kualifikasi mata kuliah yang diajarkan. Dosen yang melakukan ketidakjujuran secara akademik, dapat dilihat dari perspektif ini, yaitu kerap tidak menguasai materi mata kuliah, tidak cakap memberikan apresiasi perkuliahan kepada mahasiswa karena tidak memiliki otentitas sikap, sifat, dan referensi memadai terhadap bahan ajarnya yang berimplikasi kepada tidak kredibelnya dosen dimata mahasiswa. Dosen yang tidak melakukan kejujuran akademik juga dapat dilihat dari ketidak sesuaian dan ketidakmaksimalan seorang dosen mengelola waktu beban akademik yang diberikan dalam muatan mata kuliah yang diajarkannya kepada mahasiswa yang berimplikasi kepada tidak maksimalnya proses transformasi keilmuan yang didapatkan mahasiswa.

Kegiatan penelitian sebagai salah satu aspek Tri Dharma Perguruan Tinggi juga dapat kita lihat dari aktivitas yang dilakukan oleh dosen. Bentuk-bentuk penelitian yang dilakukan oleh dosen amatlah beragam. Dan salah satu kegiatan penelitian yang dilakukan oleh dosen adalah menghasilkan kontribusi berupa karya-karya ilmiah dan hasil studi. Baik berupa hasil objek aplikatif yang dilakukan oleh dosen di masyarakat, maupun berupa karya-karya akademis semisal buku dan tulisan-tulisan ilmiah. Faktor ini menjadi penting mengingat salah satu indikator jenjang kepangkatan akademik, dan kredibilitasnya seorang dosen adalah ketika ia berhasil memberikan berbagai kontribusi berupa hasil karya akademik secara ilmiah dan diakui oleh komunitas ilmiah.

Dosen yang melakukan kejujujuran akademik adalah dosen yang senantiasa melakukan proses kegiatan penelitian tersebut secara otentik. Kaidah, prosedur, metodologi dan kode etik ilmiah dalam kegiatan penelitian kerap senantiasa dijunjung tinggi tanpa menegasikan unsur-unsur korelasi dan interelasi keaslian dan komparasinya dengan karya ilmiah orang lain. Sebaliknya dosen yang tidak melakukan kejujuran akademiknya dapat dilihat dari perspektif ini misalnya dengan menegasikan kaidah, prosedur, metodologi dan kode etik ilmiah dalam kegiatan penelitian. Sengaja atau tidak sengaja dengan melakukan kegiatan seperti itu, akhirnya menyebabkan dispute-nya sebuah karya ilmiah. Contoh paling dangkal dalam kasus ini adalah misalnya dosen yang begitu gampang mudah mengutip pendapat tertulis yang pernah di kemukakan orang lain, tanpa memperhatikan tata cara pengutipan (langsung dan tidak langsung) atau menggunakan catatan kaki (bca : footnote) baik secara redaksional maupun subtansial, bahkan kerap hal tersebut dilakukan secara sengaja, sehingga seolah-olah redaksi dan pemikiran akademisnya yang dinyatakan secara tekstual. Jadi amatlah ironis, ketika seorang dosen kesal terhadap mahasiswanya yang melakukan plagiasi, namun dosen itu sendiri melakukan plagiasi. Bahkan terminologi yang paling relevan untuk mendefinisikan dosen yang seperti ini adalah sebagai pelacur intelektual.

Dengan demikian jika kita ingin menjunjung idealisme dalam lingkungan pendidikan, maka sejatinya junjunglah kejujuran akademis, minimal dalam kerangka pengabdian kepada Tri Dharma Perguruan Tinggi. Persoalannya memang bukan pada masalah bisa atau tidak bisa kita sebagai dosen melakukan itu, tapi pada masalahnya mau atau tidak mau. Itu saja. Dan satu hal lagi sampai kapanpun, jika kita melakukan ketidakjujuran atau kebohongan akademik, kita kembalikan saja kepada hati nurani masing-masing. Tanggung jawab dan integritas diri ada pada diri masing-masing. Namun yang terpenting dalam sebuah komunitas ilmiah seperti lembaga pendidikan adalah seyogianya tetap ikhtiar dan memiliki political will dalam memperjuangkan misi kejujuran akademik ini diberbagai spektrum aktivitas kegiatan pendidikan.(andi trinanda - Care Education Community)

Selasa, 15 April 2008

REALITAS OPINI PUBLIK TENTANG WAKIL RAKYAT KITA

Masih ingat tentang kasus anggota DPR Yahya Zaini yang menghebohkan dengan perbuatan amoralnya dengan Maria Eva ?- tentu juga masih hangat di mata publik kasus yang baru-baru ini terjadi yaitu terbongkarnya dugaan kasus suap dan “perempuan misterius” Al Amin Nasution yang diciduk KPK. Belum lagi kasus aliran dana BI yang belum tuntas ke kantong anggota DPR, kasus bagi-bagi duit dana non budgeter oleh mantan menteri kelautan dan perikanan Rokhim Dahuri ke kantong-kantong pejabat termasuk angggota DPR, kasus tertangkapnya anggota DPR oleh Polisi di salah satu diskotik di Jakarta Barat yang lagi kedapatan mabuk dan pakai narkoba ( yang kini kasusnya menguap entah kemana) dan tentu masih banyak lagi realitas yang terjadi yang menyangkut perilaku anggota DPR kita.

Proposisi dan respectasi saya saat ini tentang eksistensi dan aktualisasi anggota perwakilan rakyat kita memang sangat degradatif. Persoalan orang lain menilai apakah saya sebagai publik – sebagai rakyat tidaklah obyektif, mengeneralisasi keadaan atau masalah – bagi saya hal tersebut sudah nggak penting. Walaupun saya masih percaya ada orang bener di DPR tapi keprihatinan kita semua saat ini adalah opini publik yang terbangun tentang realitas sepak terjang anggota parlemen kita yang bukan cuma doyan mengaksentuasi retorika (namun dangkal menangkap dan menganalisis kondisi dilematika publik dan masalah-masalah publik - yang justru kental malah kepentingan parpol dan strategi pencapaian kekuasaan jangka pendek semata), Ternyata anggota DPR juga banyak maunya, banyak nuntut hak-haknya (masih ingat tentang kasus minta mesin cuci dan laptop), padahal semua fasilitas yang diberikan sebelumnya sudah relatif lengkap. Nuntutnya banyak tapi sangat kedodoran dalam kinerjanya. Banyak maunya juga ternyata banyak ulahnya, ditambah doyan perempuan, doyan duit nggak halal sampe doyan narkoba juga. well .... inilah realitas subyektif anggota DPR kita. Saya memang mengutip pernyataan dari salah satu anggota DPR itu sendiri (Permadi) yang menyatakan bahwa masalah Yahya Zaini, Al Amin Nasution hanya sekedar “apes”nya beliau. Padahal praktek-praktek keduanya banyak sekali dilakukan oleh anggota DPR yang lain, bahkan yang lebih parah lagi, untuk masalah perempuan, tidak tanggung-tanggung hal itu dilakukan bukan cuma pada saat waktu senggang di luar gedung DPR, tapi juga di lakukan di gedung DPR. Permadi bilang Office Boy dan Cleaning Service sudah sangat terbiasa dengan kondisi demikian. Sudahlah...bagi kita sebagai rakyat, memang persoalan demoralisasi bisa terjadi di mana saja, bahkan Departemen Agama dan Departemen Hukum & HAM yang seharusnya menjadi cermin dan contoh moral bagi eksistensi sebuah lembaga negara, menurut BPK adalah justru salah satu Departemen dengan tingkat korupsi paling tinggi di Indonesia.
Menyangkut masalah perilaku anggota DPR kita yang katanya lembaga terhormat itu, sudah seharusnya kita sebagai rakyat jangan lagi memberikan cek kosong kepada mereka. termasuk semua pihak dalam konteks ini Parpol yang merepresentasi konstituen melalui anggotanya di parlemen, juga harus bertanggung jawab-bagaimana uji kelayakan dan kepatutatanya sebagai wakil rakyat, bagaimana otentitas perjalanan hidupnya sebelum sampai gedung DPR dan seterusnya. Bagaimana pula dengan Badan kehormatan yang dimiliki DPR ? siapa yang mengontrol kinerjanya.... ? Rakyat memang terlalu naif ketika melihat banyak pejabat di "fit & propert test" (uji kelayakan dan kepatutan) oleh DPR. Seolah-olah DPR sangat "megaloman" dengan fragmentasi yang menghadirkan suatu peta dikotomis tentang budaya chouvinisme intelektual di tengah iklim negara yang demokratis (namun sebenarnya sempit paradigma humanisnya). Substansinya memang sangat-sangat konstruktif namun absurd pada tataran implementasi pemahaman subyektif anggota DPR itu sendiri (kita bisa menyaksikan bagaimana cara anggota DPR bertanya, berargumen, membangun analisis, mengkonstruksi dan mengelola persepsi, paradigma dan tingkah laku- sehingga seolah-olah ia adalah orang yang paling tahu, paling otentik dan paling cakap). Rakyat jadi tertawa menyaksikannya - dan bagi saya pribadi mudah-mudahan budaya chouvinisme intelektual tergerus oleh obyektifitas dan kredibilisasi eksistensi-walaupun itu memerlukan proses. bukankah para pakar dan banyak pengamat juga sudah memberikan pernyataan dan pemahaman kepada kita, bahwa sejatinya memang di DPR itu ada 3 kategori atau golongan. Pertama, golongan idealis, yakni kelompok manusia yang memang memegang teguh prinsip-prinsip kelembagaan dan fungsi keterwakilannya di mata publik dengan kompetensi dan kapasitas intelektual yang memadai. Kedua, adalah golongan opportunis, kelompok yang memang memiliki kepentingan, termasuk kepentingan ekonomi, kepentingan politik bahkan kepentingan kasus-kasus yang beimplikasi hukum kepadanya (masu menjadi anggota DPR adalah salah satu jalan elementer yang paling mudah yang akan menyelamatkan dirinya dari masalah-masalah dengan publik-termasuk masalah hukum). kelompok ini adalah kelompok yang memang memanfaatkan peluangnya sebagai wakil rakyat untuk menggali lebih banyak lagi keuntungan pribadi dan golongannya dan sejatinya golongan ini adalah golongan yang jauh dari memikirkan rakyat. Ketiga, adalah kelompok "koboy" yang oleh Gus Dur disebut sebagai play group, kelompok yang lagi seneng-senengnya vokal dan melatih diri untuk menjadi eksis di mata publik, namun kebanyakan atau cenderung dilakukan dengan menabrak rambu-rambu etika dan aturan main ditambah sangat sensitif jika dikritik atau disinggung mengenai kinerjanya. kelompok ini adalah kelompok yang baru melek politik, namun seolah-olah pengalamannya sudah mendunia soal politik.
Nah .. berbagai kasus yang terjadi yang sama-sama kita saksikan saat ini adalah mungkin menjadi marfum bagi kita tentang siapa golongan yang ada di DPR itu. walaupun pada ghalibnya tindakan mereka tidak akan pernah menjadi marfum bagi kita sebagai rakyat. Mudah-mudahan seiring dengan sejarah yang bergulir dan proses pendewasaan kehidupan berbangsa dan bernegara kita, pihak-pihak dengan golongan yang kedua dan ketiga yang disebutkan diatas akan dengan sendirinya ter-autarki dari konteks komunalisme dan demokratisasi di Indonesia.Wallahualam bi sawab

Kamis, 10 April 2008

SEKS BEBAS DAN DEKADENSI MORAL DI KALANGAN REMAJA KITA

Beberapa waktu lalu kita telah dikejutkan oleh hasil suatu penelitian bahwa ternyata hampr sebagian besar remaja kita telah melakukan hubungan seks bebas diluar nikah. Luar biasa...!! walaupun tidak banyak kalangan membahas tentang validasi data hasil penelitian tersebut, namun barangkali cukup bagi kita untuk menyadari bahwa inilah fenomena anak-anak muda Indonesia. Bagaimana kita meyikapi fenomena ini..? Apakah kita semakin naif menganggap bahwa masalah ini adalah masalah yang sudah “biasa” dan biasa-biasa saja dalam lingkup pergaulan anak-anak muda kita ? Wallahualam... tanyakan sendiri kepada diri teman-teman. Sementara kampus, keluarga, orang tua dan lingkungan pendidikan kita, bahkan agama sebagai nilai-nilai fundamental kehidupan kita, ibarat rumput yang bergoyang, tertiup angin ketidakberdayaan dalam menuntun arah anak-anak muda kita sekarang ini. Inikah yang disebut sebagai dekadensi moral itu ? sebuah zaman yang menafikan nilai, dan bagaimana seharusnya anak-anak muda kita, yang masih belum terkontaminasi pergaulan bebas itu, atau bagi anak-anak muda kita yang sudah terjerembab ke dalam pergaulan bebas itu, menyikapi dan menjadikan fenomena ini sebagai suatu cemeti kehidupan.

Fakta Seks Bebas Itu !

Aktivitas seks yang dilakukan oleh anak-anak muda kita memang dilihat dari bentuk kategori perilakunya. Para pakar mendefinisikan hubungan seks adalah hubungan intim yang dilakukan oleh dua insan yang di dorong oleh keinginan seksualitas (birahi). Pakar seksologi dan psikologi menggolongkannya kedalam tiga bagian yakni, kissing, peeting, dan macking. Kissing berarti berciuman, peeting berarti berpelukan dan macking berarti sudah bertemunya dua kelamin. Ketiga penggolongan perilaku sekssual tersebutlah yang disebut dengan hubungan seks itu. Dan ternyata memang faktanya anak-anak muda kita pernah melakukan kategori hubungan seks tersebut dalam berbagai skala dan intensitas. Bahkan untuk kategori golongan tertentu yakni kissing dan peeting, anak-anak muda kita “sudah biasa” melakukannya. Padahal dua kategori tadi adalah jalan elementer untuk mengarah kepada hubungan badan (macking). Inilah fakta obyektif itu. Dalam berbagai kasus pun diberbagai media-kita bahkan sering menyaksikan remaja-remaja kita terbiasa menikmati gambar-gambar syur, porno dan yang identik dengan itu dalam berbagai media seperti VCD,HP dan majalah. Bahkan tidak jarang adegan dan gambar yang ditampilka-pun adalah orang-orang yang barangkali dikenalnya. Sementara berbagai sarana dan langkah-langkah preventif dari berbagai pihak, untuk meminimalisir fenomena tersebut sampai hari ini terasa tidak cukup efektif memperbaiki perubahan dinamika perilaku mereka.

Rasionalisasi tentang “Hubungan Seks”sebagai solusi

Fakta hubungan seks itu memang nikmat, fakta juga bahwa seks merupakan anugerah kenikmatan yang terindah dan luar biasa yang diberikan Tuhan kepada hambanya. Hubungan seks ibarat candu yang tak akan pernah lekang bagi siapapun untuk terus dan terus melakukannya. Itulah logika manusiawi yang tak akan pernah bisa dibendung oleh siapapun dalam bentuk apapun untuk mengimplementasikan tingkat keintimannya kepada lawan jenis. Namun hubungan seks tetap harus terarah, benar dan harus pada tempat dan tuntunannya. Pernyataan terakhir tersebut barangkali sudah banyak disampaikan oleh para pakar, baik oleh pemuka agama, guru, orang tua, dan para ahli lainnya dalam berbagai bentuknya seperti ceramah, seminar, diskusi tentang pendidikan seks dan sebagainya. Namun sepertinya trend pergaulan anak-anak muda ya tetap saja seperti itu. Pacaran tanpa seks, ibarat sayur tanpa garam.

Oleh karenanya, walaupun agak pesimis, barangkali kita dapat memberikan nilai rasionalisasi bagi anak-anak muda kita tentang hubungan seks itu. Aspek rasionalisasi itu meliputi pertama, aspek kognitif. Hubungan seks haruslah dipahami sebagai sebuah hasil keputusan pemikiran yang benar-benar ditimbang secara masak-masak. Apabila temen-temen remaja kita merasa yakin perlu melakukannya, maka lakukannya dengan jaminan aktivitas tersebut benar-benar safe. Namun konsekwensi jika remaja kita mau mencium atau dicium oleh pacar atau lawan jenisnya secara seksual, maka sebenarnya seseorang itu sudah membuka borgolnya sendiri tentang arti sebuah kehormatan. Sebab sudah pasti ketika seseorang terbuka untuk dicium secara seksual, maka dengan sendirinya ia akan dengan cepat membuka dirinya untuk aktvitas seksual yang lebih dalam lagi. Jadi Nonsens apabila seseorang bisa menjaga organ seksualnya apabila ia sudah secara terbuka dan mau untuk dicium atau dicumbu secara seksual. Jadi hati-hatilah dalam mengambil keputusan. Kedua. Afektif. Ingatlah hubungan seks itu adalah hubungan suci. Begitu maha cerdasnya Allah SWT membuat proses terjadinya manusia melalui hubungan yang suci tersebut. Oleh karena itu, apabila remaja-remaja kita melakukan hubungan seks diluar nikah, maka bayangkanlah wajah kedua orang tua kita itu pada saat anda melakukannya. Bayangkan pula adik-adik perempuan atau laki-laki kita di rumah, bayangkanlah guru-guru kita yang tak kenal lelah selalu membimbing kita kearah yang benar, bayangkanlah anda menatap Alqur,an atau kitab suci lainnya disebelah anda ketika anda melakukannya. Bayangkanlah setiap gerakan-gerakan erotis dalam aktivitas hubungan seksual anda, itu pasti dicatat oleh malaikat disebelah anda. Ia mencatat menilai setiap detail dan jengkal bahkan nafas anda yang terengah-engah itu. Persis sama ketika juri Indonesia Idol menilai para kontestan Indonesia idol. Padahal jika itu anda lakukan setelah anda menikah, setiap gerakan dan desah nafas anda adalah ibadah. Itulah pilihan rasional. Temen-temen remaja mau nggak menikah. Buang pandangan konvensional, bahwa menikah muda bahkan masih sekolah adalah menghambat masa depan dan karir serta kehidupan kita kelak. Justru sebaliknya apa yang temen-temen lakukan sekarang justru tidak ada jaminan bahwa kedepan temen-temen semua akan menjadi baik. Iya kan. Jadi kalo mau sekolah ya sekolah aja. Kalo mau sekolah sambil melakukan hubungan seksual, ya harus milih. Mending nikah dulu terus kalo mau nerusin sekolah, nggak usah kuatir, hari gini pendidikan kita sudah semakin modern dan sudah banyak pendidikan kita yang mengabaikan status sudah menikah atau belum bahkan ada home scholling.

Remaja kita memang tidak sepenuhnya salah, mereka ibarat orang-orang yang kelaparan. Mereka menginginkan santapan lezat. Sementara santapan itu tidak pernah cukup mengeyangkan mereka. Orang tua sudah super sibuk. Enggak kaya nggak miskin tetap kalo ngobrol soal dunia anak muda mereka pakai ukurannya sendiri. Para pakar, guru memberi santapan memang banyak, bahkan terlalu banyak, namun makanan dan lauk pauknya terasa nggak enak, karena salah mengolahnya. Bahkan terkadang kita para remaja dijejali makanan yang tak sesuai dengan porsi mulut kita, akibatnya makanan itu kita muntahkan lagi. Nah makanan yang paling membuat mereka menemukan jati dirinya adalah televisi dan komunikasi serta teknologi informasi seperti Internet yang memberikan alternatif santapan lezat. Tayangan pendidikan yang isinya bukan pelajaran tapi pacaran, tayangan religi yang isinya mistis, tayangan konflik keluarga yang isinya mimpi dan sebagainya. Akhirnya remaja-remaja kita hidup dalam keterawangan dan dunia yang mereka lihat sebagai agama baru bagi mereka. Ya Televisi dan komunikasi itu sebagai agama baru mereka. Itulah yang pada akhirnya menjadikan moral mereka bergeser dari mengacu kepada nilai-nilai agama, menjadi televisi dan budaya pergaulan sebagai agama baru mereka.dan upaya yang dilakukan oleh pemerintah SBY dengan memblok situs-situs porno sebagai media yang menstimulasi demoralisasi bangsa itu adalah hanyalah oase di gurun keprihatinan kita terhadap generasi muda kita.



Selasa, 08 April 2008

MEMBANGUN PARADIGMA PERAN DOSEN DALAM DUNIA PENDIDIKAN

Pendidikan di era kekinian memang sudah seharusnya menunt otentitas disegala bidang dengan mengedepankan paradigma manajemen pendidikan yang modern dan profesional. Oleh karenanya lembaga-lembaga pendidikan terutama pendidikan tinggi diharapkan mampu mewujudkan peranannya secara efektif dengan keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar, pengembangan staf, kurikulum, tujuan dan harapan, iklim akademis, penilaian diri, komunikasi, dan keterlibatan masyarakat sebagai bagian dari mekanisme kontrol terhadap eksistensi pendidikan itu sendiri. Sebab tantangan lembaga pendidikan di era global sekarang ini memang sangat berat. Bukan cuma dituntut untuk bertanggung jawab memproduksi sumber daya manusia dengan kompetensi teknis, namun juga lembaga pendidikan, terutama pendidikan tinggi dituntut untuk melahirkan sumber daya manusia yang memang memiliki paradigma pendidikan nilai sebagai tatanan normatif untuk menjadikan agar profesi yang akan digeluti oleh sumber daya manusia sebagai output lembaga pendidikan tinggi tersebut dibayangi oleh nilai-nilai etis dan moral sebagai standard etika profesi mereka di kemudian hari. Itulah tantangan realistis dan mendesak yang harus dilakukan oleh lembaga pendidikan terutama pendidikan tinggi dalam menelaah dan melakukan orientasi terhadap sistem pendidikannya. Dan salah satu pilar terdepan untuk mengarahkan sasaran sistem pendidikan yang dibangun oleh lembaga pendidikan tersebut adalah peran tenaga pengajar yang secara langsung membentuk karakter kepribadian dan kompetensi mahasiswa. Oleh karenanya sudah saatnya lembaga pendidikan memiliki tingkat selektifitas yang tinggi terhadap kualitas tenaga pengajar, untuk menjaga agar realibility sistem pendidikan terjaga dengan baik. Oleh karenanya lembaga pendidikan harus mampu menemukan dan menjaga sosok performance tenaga pengajar yang ditandai dengan keunggulan dalam nasionalisme dan jiwa mendidik yang tinggi, memiliki keimanan dan ketakwaan, penguasaan iptek, etos kerja dan disiplin sebagai tenaga pengajar dengan mengedepankan kualitas belajar dan kualitas evaluasi belajar, profesionalisme, kerjasama dan belajar dengan berbagai disiplin, serta memiliki wawasan masa depan yang tentu dibarengi dengan perspektif adanya kepastian karir dan kesejahteraan. Itu semua dilakukan agar lembaga pendidikan diyakni dan dipercaya oleh masyarakat mempunyai peranan yang amat strategis untuk mempersiapkan generasi muda yang memiliki keberdayaan dan kecerdasan emosional yang tinggi dan menguasai megaskills yang mantap. Untuk itu maka setiap waktu dan setiap saat secara dinamis lembaga pendidikan dalam berbagai jenis dan jenjang secara demokratis dan partisipatif berdasarkan kontribusi peran tenaga pengajar senantiasa memerlukan pencerahan dan pemberdayaan dalam berbagai aspeknya.

Pemberdayaan dan pencerahan terhadap kualitas mutu pendidikan di lembaga pendidikan, tentu harus dimulai dengan adanya suatu stigma berfikir sebagai landasan logis bagi tenaga pengajar untuk dapat memberikan kontribusinya kepada lembaga pendidikan. Paradigma tenaga pengajar (dosen) itu harus dimulai dengan melakukan orientasi pendidikan, yaitu : pertama, dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat. Kedua, dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, Ketiga, merubah citra hubungan dosen – mahasiswa yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, Keempat merubah orientasi dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, Kelima merubah orientasi dari pola konvensional menuju pola pendekatan teknologi informasi dan budaya. Dan keenam, dari penampilan tenaga pengajar (dosen) yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja (partnershif kepada institusi/ bukan subordinatif dengan institusi pendidikan),

Dengan paradigma tenaga pengajar tersebut diatas diharapkan nantinya lembaga pendidikan dapat menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan yang bersifat kompetitif yang berimplikasi kepada munculnya comparatif advantage terhadap suatu eksistensi lembaga pendidikan di tengah-tengah masyarakat.

Sebagai konsekwensinya, maka lembaga atau institusi pendidikan haruslah menyediakan dan menyelenggarakan suatu mekanisme pengelolaan sumber daya dosen yang lebih selektif. Mekanisme pengelolaan sumber daya dosen (tenaga pengajar) tersebut dapat dilihat dalam konteks pertama, bagaimana sistem perekrutan (recruitment) tenaga pengajar. Kedua. bagaimana membentuk pola persepsi antara kualitas kognitif tenaga pengajar dengan kemampuan beradaptasi pengajar pada kultur dan sistem akademis yang diterapkan lembaga. Sebab banyak kasus terjadi, institusi pendidikan memiliki sumber daya dosen yang baik, namun dosen tersebut tidak cukup baik untuk “tunduk” pada sistem dan aturan yang sudah di tetapkan secara baku oleh institusi pendidikan. Hal tersebut kebanyakan di justifikasi bahwa seorang dosen (tenaga pengajar) memiliki independesinya dalam memberikan proses pendidikan dan pengajarannya kepada mahasiswa. Oleh karenanya maka di harapkan dalam proses pengelolaan sumber daya dosen dalam suatu institusi pendidikan, kesepahaman persepsi tentang idealisme yang merujuk kepada budaya institusional haruslah senantiasa dipupuk dan terus dilestarikan oleh institusi pendidikan dalam medium komunikasi di segala kesempatan. Distorsi komunikasilah yang menyebabkan terjadinya prasangka dan asumsi yang keliru terhadap orientasi pengelolaan sumber daya mahasiswa. Ketiga, bagaimana mekanisme kontrol yang diterapkan oleh institusi pendidikan terhadap proses kegiatan belajar – mengajar yang dilaksanakan oleh para dosen. Untuk mengukur sejauhmana konsepsi pendidikan dan pengajaran berjalan efektif, maka eksistensi dosen dalam institusi pendidikan juga mesti di awasi untuk memberikan keyakninan tentang bagaimana kinerja dan produktivitas dosen tersebut Keempat, bagaimana penghargaan (reward) yang diberikan oleh institusi pendidikan terhadap para tanaga pengajar yang telah memberikan konstruksi positif bagi eksistensi institusi lembaga pendidikan itu sendiri.

PRESIDEN PIDATO... PEJABAT TIDUR... ?

Fenomena pejabat tidak memiliki sense of respect berupa tidak mendengarkan pidato Presiden terjadi lagi. Setelah pidato didepan para guru (PGRI), kemudian di Istana negara, terakhir baru-baru ini kembali terjadi. Kali ini di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghentikan pidatonya dalam pembekalan kepada peserta forum konsolidasi pimpinan daerah, bupati, wali kota, ketua DPRD kabupaten/kota di Gedung Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta, Selasa (8/4), karena mendapati peserta yang mendengarkan pidatonya tertidur. "Itu coba bangunkan yang tidur itu. Kalau tidur di luar saja!" ujarnya menunjuk pimpian daerah yang masih terlelap tidur. Kemudian SBY meneruskan lagi kejengkelannya dengan kalimat :"Pimpinan bagaimana dapat memimpin rakyat kalau tidur! Malu dengan rakyat yang memilih. Untuk mendengarkan pembicaraan untuk rakyat saja tidur! Jangan main-main dengan tangung jawab. Berdosa, bersalah dengan rakyat," ujarnya. Presiden akhirnya meminta kepada Ketua Lemhanas Muladi agar peserta konsolidasi yang tertidur tidak diluluskan karena masuk dalam kategori pemimpin yang tidak bisa mengendalikan diri. Menurut SBY "Lembaga yang bisa meluluskan pemimpin yang kepribadiannya jelek akan menjadi racun. Jangan diluluskan. Bukan karena tidak pandai, tetapi tidak bagus kepribadiannya," Namun Bos Lemhanas Muladi malah membela bahwa yang namanya ngantuk itu manusiawi dan yang ngantuk itu punya kencing manis… dan seterusnya bahkan beliau menyatakan peserta yang diminta SBY agar tidak diluluskan tersebut tetap akan diluluskan….

Secara kognitif, kata para pakar otak kiri kita mamang maksimal mampu secara konsisten menyerap informasi (pesan) paling lama sekitar 15 sampai 30 menit, lebih dari waktu itu bisanya otak kiri kita sudah cenderung tidak fokus,instabil, distorsif dan sebagainya. Hal tersebut sebenarnya didorong oleh gairah dan stimulasi lingkungan yang direspons oleh otak kanan. Jadi memang manusiawi jika pada komunitas yang sedang mendengarkan pesan, ada satu atau dua individu yang mengalami kondisi demikian. Misalnya ngobrol, tidak mendengarkan komunikator, asyik dengan dirinya sendiri, ngantuk dan sebagainya. Itu adalah sekali lagi karena reaksi lingkungan yang di stimulir oleh belahan otak kanan kita. Bahkan ngantuk juga katanya adalah manusiawi. Tapi bukankah yang namanya manusia itu adalah makhluk yang mampu mengontrol dan mengorganisasikan semua respon lingkungan, jika semua dari kita menjustifikasi kata manusiawi sebagai suatu reaksi dari tindakan apapun yang kita lakukan, maka salah-salah kita sebenarnya malah menjadi manusia yang tidak manusiawi, padahal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan benegara manusia kan punya prinsip komunalisme dan tatanan yang dibingkai oleh norma. Kalau semua orang menjustifikasi tindakannya dengan kata manusiawi, maka jangan-jangan mencuri pun manusiawi jika kita tidak punya uang dan sedang lapar, kebutuhan mengenai seks juga manusiawi karena semua manusia membutuhkan itu, dan apabila tidak tersalurkan, maka tempat-tempat maksiat pun bisa bertoleransi terhadap kata manusiawi kita. Saya kira pada ghalibnya kita harus menelaah istilah ”kata manusiawi” dalam perspektif yang lebih proporsional agar kita tidak terjebak pada suatu budaya komunikasi yang membenarkan suatu tindakan yang sejatinya tidak sesuai dengan nilai-nilai komunalitas. Istilah manusiawi haruslah merujuk pada aktivitas yang memiliki tingkat toleransi-kemanusiaan dalam aktivitas kehidupan manusia secara mondial.

Dalam konteks pejabat yang tidak mendengarkan/ tidur ketika Presiden berpidato.- dilihat dari sudut manapun juga tidak akan patut berada dalam nilai-nilai komunalisme manusiawi, terlebih-lebih menyangkut etika relationship dalam level tatanan kehidupan bertata negara. Teguran-teguran SBY seperti yang dilansir oleh media kepada pejabat yang tidak mendengarkan/ tidur itulah yang sejatinya menurut saya sangat manusiawi. SBY memang tidak memiliki porsi untuk memberikan sangsi karena pejabat publik di tingkat daerah adalah menjadi kewenangan rakyat didaerah untuk menentukan pemimpinya. Tapi sebagai presiden, SBY memiliki hak subordinatif kepada bawahannya dan terlebih-lebih SBY memiliki hak mengakselerasikan prinsip pembelajaran bagi image pejabat dimata publik, yaitu memberikan pemahaman kepada pejabat tersebut tentang dampak dari distorsifnya pemahaman komunalisme dalam prinsip relationship yang akan meredefinisi kembali public perception (persepsi publik), public confidence (kepercayaan publik), public support (respect dan dukungan publik) dan public cooperatif (kerjasama/ kemauan publik). Pejabat yang miskin pemahaman komunalisme tatanan dalam prinsip relationship itulah yang dipahami oleh SBY sebagai manusia yang tidak berkepribadian. Implikasi dari itu semua adalah persis apa yang dikatakan Ketua DPR Agung Laksono, bahwa konsekwensi menjadi pejabat publik adalah kognisi, afeksi dan konasinya akan senantiasa dinilai publik. Jadi mengekspose pejabat tersebut dan mempublikasikan peristiwa (tidak respect-nya kepada Presiden dengan berperilaku tidak etis) kepada publik adalah bagian dari konsekwensi yang harus diterimanya sebagai pejabat publik. Terakhir menurut saya adalah kita sangat beruntung memiliki Presiden yang memiliki tingkat komunikasi verbal secara terukur, sistematis dan memiliki sense of human dalam redaksi pilihan kata-katanya sehingga tokoh sekaliber Prof. Dr. Muladi SH, saja sampai menganggap hal tersebut adalah peristiwa biasa. Seandainya bukan SBY ...... atau seandainya kondisi tersebut terjadi di zaman Orde Baru......... bagaimana dengan pejabat itu ya... wallahualam

LIRIK SLANK DAN REAKSI DPR SAMA-SAMA TIDAK ISTIMEWA

Di tengah banyaknya persoalan bangsa dan negara, para wakil rakyat kita di Senayan sana rupanya sedang gerah. Bukan karena banyaknya masalah korupsi yang belum bisa ditangani atau rakyat di Sidoarjo yang makin sengsara, tapi karena lirik lagu band legendaris SLANK yang dinilai menghina mereka.

Lirik lagu Gosip Jalanan yang dianggap menghina itu adalah "DPR tukang buat UU dan korupsi". "Bunyi liriknya 'DPR tukang buat UU dan korupsi'. Itu akan ditindaklanjuti lewat Bamus. Ini grup komersial, bukan LSM. Kalau menjual memojokkan seseorang itu ada hukumnya. Seluruh bangsa di negara ini, kehormatannya ada di gedung ini. Ini rumah rakyat," kata Wakil Ketua Badan Kehomatan (BK) DPR Gayus Lumbuun menerangkan alasan rencana gugatan tersebut.
Pantas atau pentingkah DPR menggugat? Bagi sebagian anggota Dewan mungkin saja penting, tapi apakah itu penting buat rakyat yang diwakilinya? Penting atau tidak, yang pasti rencana gugatan ini mendapat reaksi dari masyarakat. Mungkin ada yang mendukung, mungkin ada juga mencemooh. Yang mendukung mungkin karena kehormatannya ikut terusik, yang mencemooh mungkin menganggap DPR kurang kerjaan. (Kompas, Selasa 8 April 2008).

Menilik apa yang dilakukan oleh SLANK maupun apa yang menjadi reaksi kalangan wakil rakyat (Baca : DPR) di Senayan tentang lirik lagu “Gosip Jalanan” seharusnya membuat kita biasa-biasa saja… tidak usah terlalu dalamlah menganalisis sebuah lirik yang menurut saya secara redaktif biasa-biasa dan dangkal-dangkal saja. Yang menjadi lirik tersebut adalah istimewa kan justru pada reaksinya. Bukankah sekarang ini adalah zamannya Negara bebas-negara demokrasi ? maka apa yang dilakukan SLANK sebenarnya adalah sesuatu yang menjadi hak mereka dalam mengekspresikan darah seninya secara actual-dan realitas actual apapun kan sebenarnya menjadi bagian dari strategi siapapun dalam menarik perhatian public-termasuk konteks politik sebagai suatu tema ekspresi yang di ambil oleh SLANK. dan seharusnya SLANK juga jangan terlalu GR (gede rasa) bahwa di era sekarang ini masyarakat sejatinya juga sudah biasa dan tidak terlalu mengistimewakan sebuah pesan lirik (sebab budaya komunikasi verbal kita sudah mampu mengeliminir ketabuan komunikasi yang permisif menjadi lebih asertif). Lain halnya barangkali jika lirik tersebut berada di zaman orde baru-semisal lirik-lirik Iwan Fals, Doel Sumbang, kelompok Kantata Takwa, SWAMI dan sebagainya lirik mereka menjadi istimewa karena keberanian mengekspresikan hasil realitas social kedalam lagu

Dan bagi kalangan DPR yang kebakaran jenggot karena lirik “Gosip Jalanan” dan lirik-lirik lainnya dalam lagu SLANK-adalah sebenarnya sebuah keniscayaan tentang tidak kritisnya kalangan DPR. Justru dengan reaksi yang diberikan maka sejatinya SLANK dalam teori marketing telah berhasil membuat PDB (Positioning, Defferentiation & Branding) bagi kemasan album yang baru diluncurkan tersebut sehingga menarik publik (konsumen) dan para SLANKERS untuk membeli. Padahal sebenarnya DPR haruslah marfum bahwa apa yang dilakukan SLANK dengan mengeksprsikan lirik lagu di "Gosip Jalanan" dan lagu-lagu lainnya di album Slank yang baru ini adalah karena secara empiris itulah yang di akui dan dialami publik bahwa selama ini memang DPR miskin (tidak mampu/tidak mau) karena image budaya di DPR tentang materi undang-undang (masalah) yang "kering/basah" selama ini dalam merancang UU (sebagian besar undang-undang yang dibuat adalah hasil rancangan pemerintah), yang produktif hanya sebagai lembaga kontrol saja, dan masalah korupsi... yahh pubik juga sudah sama-sama tahu... dan lagi bung Gayus Lumbun tidak usahlah terlalu mendramatisasi dan meromantisasi keadaaan "bahwa kehormatan seluruh bangsa bukan terletak di gedung DPR- yang benar adalah kehormatan seluruh bangsa terletak pada perilaku dan akhlak individunya". Bukankah lebih produktif jika DPR justru mengejar PR yang tertunda dan memperbaiki Raport yang merah dengan kerja kongkrit sesuai amanah rakyat, ketimbang melakukan reaksi atas hasil sebuah opini (apalagi hanya dari sebuah lirik lagu) yang apapun sebuah reaksi pasti akan berujung pro dan kontra. Bukankah mencurahkan energi dari implikasi reaksi tersebut jauh melelahkan ketimbang substansi pesan yang disampaikan. Jadi sebenarnya dalam perspektif saya pribadi lirik SLANK maupun reaksi anggota DPR keduanya sama-sama tidak istimewa buat saya. dan satu hal lagi ... sebenarnya tanpa krtik melalui lirik pun sebenarnya suara kaka, gebukan drum bimbim, dengkingan gitar abdi dan Ridho serta cabikan bas Ivanka sudah sangat cocok dan pas buat telinga saya.

Minggu, 06 April 2008

DILEMA PENGAJARAN : ANALISIS PROBLEM DALAM LINGKUNGAN AKADEMIS

Dunia pengajaran adalah dunia yang kompleks. Tuntutan merubah sekaligus merekonstruksi paradigma kualitas sumber daya manusia memang berangkat dari sejauhmana proses mengkristalisasi segenap perangkat pemikiran melalui proses belajar yang sistematis dan kontinyu-sambil mengurai sejauhmna relevansi bahan ajar yang diberikan dosen mampu dijawantahkan dalam realitas kehidupan sehari-hari. Namun seiring dengan banyak dan beragamnya faktor yang mempengaruhi fenomena dunia pengajaran., ada baiknya kita menelaah proses interaksi antara mahasiswa dan dosen dikelas sebagai salah satu faktor yang barangkali cukup dominan mendorong terstimulasinya perangkat pemikiran mahasiswa. Alih-alih kompetensi, proses pendewasaan berfikir dan kemampuan merekonstruksi wacana dan gagasan akademis tentang persoalan dalam kehidupan sehari-hari memang beraawal dari kondusifitas komunitas di lingkungan tersebut.
Tulisan ini hanya mengangkat sekelumit problem mendasar dan menjadi dilema dalam dunia pengajaran yang implikasinya dapat dirasakan pada output dan kemampuan sumber daya mahasiswa itu sendiri. Saya tidak ingin menjustifikasi faktor dilema pengajaraan timbul hanya karena “hegemoni akademis” semata - seperti yang pernah disampaikan oleh Prof. Dr. Sri Edi Swasono. Beliau menyatakan bahwa hegemoni akademis-menyebabkan terjadinya proses pendangkalan kreativitas berfikir mahasiswa yang berdampak pada tingkat wawasan berfikir mahasiswa tersebut.
Tulisan ini mencoba menangkap dilema pengajaran tersebut dengan melihat lebih dekat situasi pengajaran di kelas yang penulis rasakan. Yang barangkali jika diurai secara spesifik ada beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu karakteristik kelas, karakteristik mahasiswa secara personal, karakteristik dosen dan iklim pengajaran. Satu hal yang paling mendasar dilema pada saat pengajaran adalah munculnya “ketidakpedulian akademis” yang menghinggapi kultur berfikir dalam dunia pendidikan. Sampai hari ini kerap terjadi gejala “kegagapan” mahasiswa dalam mencerna materi kuliah untuk membaca konteks relevan lebih besar dalam kehidupan nyata di luar ruang kelas, serta sikap terfokus melulu pada kepentingan dan tujuannya sendiri. Secara teoritis menurut William Labov (1972) ketidakpedulian akademis (academic ignorance) merujuk pada “keterbatasan belajar dan menalar akibat setting sosial tertentu”. Dalam The Perils of Academic Ignorance (Chronicle of Higher Education, 2005), LJ Davis mengatakan, ketidakpedulian akademis terjadi ketika seseorang “terus-menerus mengabaikan cara berpikir dan minat pada cakupan keseluruhan suatu bidang akibat keterbatasan pengetahuan”. Substansinya adalah mahasiswa kerap terbelenggu oleh situasi rutinitas akademis
Gejala ketidakpedulian akademis krusial dicermati sebab persis kontradiktif dengan wacana-wacana besar pembaruan pendidikan, di mana praktik pengajaran formal salah satu aspeknya. Wacana “pendidikan dan perubahan sosial” atau “pendidikan sebagai humanisasi” sering terpancang lebar pada langit diskusi pembaruan pendidikan, tetapi jauh dari bumi pengejawantahannya sehari-hari.
Sikap Mahasiswa = Kultur Akademik
Proses perkuliahan dikelas terkadang cenderung terhenti pada teori-teori sebagaimana diuraikan buku teks. Upaya menjabarkan teori untuk mencermati fenomena relevan sehari-hari hanya mengundang muka-muka lesu di dalam kelas.konsepsi ini dikenal dengan “text book thinking”. Dilema pengajaran dalam konteks ini muncul karena keterbatasan akses informasi yang menjadi kendala mahasiswa mengaitkan teori dengan sikap kritis atas fenomena keseharian. Faktor lainnya adalah menyangkut faktor tingkat “kemapanan” yang membuat mahasiswa malas berpikir rumit apalagi jika tidak langsung terkait kepentingan mereka. (baca : kebanyakan berlaku pada mahasiswa-mahasiswa yang kuliah di malam hari, sehabis mereka bekerja). Dalam konteks yang lain faktor ini juga ditengarai oleh timbulnya kecenderungan fokus yang melulu pada substansi perkuliahan yang berorientasi pada kelulusan kuliah. Sebab kelulusan kuliah masih menjadi barometer utama dan dipandang sebagai symbolic capital untuk mobilitas sosial secara akademis. Padahal sejatinya. Kompetensi dan pemahaman mahasiswa terhadap suatu bidang masalah sesuai dengan konteks materi kuliah yang diwacanakan berdasarkan konstruktivitas berfikir mahasiswa adalah nilai hakiki dalam perspektif output akademis. Menariknya sampai hari ini pengalaman penulis mengajar di perguruan tinggi, mahasiswa lebih tertarik untuk merespons positif paradigma text book thinking tersebut ketimbang melakukan telaah relevansi terhadap bahan ajar atau materi kuliah. Kondisi demikianlah yang pada akhirnya menjadi kultur akademis yang melembaga di tengah komunitas dunia pendidikan kita. (wallhualam).
Gaya mengajar
Dilema pengajaran-dalam praktik pengajaran di kelas, banyak dosen kesulitan membangun komunikasi interaktif yang memancing kepedulian ilmiah mahasiswa. Motivasi dosen dan syaratnya beban kerja termasuk didalamnya adalah korelasi positif antara reward & punishment ditengarai sebagai penyebab timbulnya dilema tersebut yang berimplikasi kepada rentannya kualitas hasil pengajaran. Disamping karakteristik kompetensi seperti gaya mengajar (teaching style) juga amat menentukan. Dilema pengajaran ini sangat erat kaitannya dengan efektifitas proses pembelajaran itu sendiri. Sebab prinsip efektivitas pembelajaran adalah kesesuaian gaya mengajar dosen dengan gaya belajar mahasiswa Namun demikian sebagai dosen kita juga harus menyadari bahwa tujuan pengajaran di kelas bukan sekadar efektivitasnya. Sebagai praktik pendidikan, pengajaran mengemban misi selain mereproduksi pengetahuan. Pengajaran harus menumbuhkan kepedulian ilmiah. Gaya mengajar dosen diharapkan mengakomodasi misi tersebut. Oleh karenannya dalam konteks ini lembaga atau institusi pendidikan juga harus lebih selektif tentang kualifikasi dosen yang mengajar. Bukan cuma tingkat pendidikan formal saja yang menjadi skala ukuran. Namun pengalaman belajar dan pengalaman mengorganisasikan pemikirannya ( baca : dapat dilihat dalam pengalaman berorganisasi) juga menjadi pertimbangan obyektif dalam merekrut tenaga pengajar. Sebab secara teoritis gaya mengajar dosen amat dipengaruhi oleh pengalaman belajarnya. Evans (2004). Singkatnya, sebenarnya kunci mengatasi problem dalam dilema pengajaran yang berimplikasi kepada tingkat kepedulian akademis mahasiswa harus dimulai dengan pembaruan gaya mengajar dosen. Namun, upaya memperbarui gaya mengajar dosen sulit tercapai jika para dosen yang mengajar dosen-dosen itu bergaya ortodoks dan hanya berorientasi pada efektivitas pembelajaran saja (suasana kelas yang tenang, mahasiswa yang hanya pasif dan menuruti kemauan dosen, tidak ada bargaining akademis antara dosen dan mahasiswa dan sebagainya).

Sekali lagi mudah-mudahan upaya menggagas dilema pengajaran di lingkungan akademis ini akan menggugah paradigma kita untuk melakukan proses revitalisasi dan pembaharuan dalam dunia pengajaran yang menuntut segi-segi otentitas dan kultur yang dinamis sesuai dengan keinginan dan perubahan zaman (tidak stagnan).

TERNYATA BERAT MENJADI DOSEN... ?!

Profesi sebagai dosen senantiasa dituntut untuk berkembang seiring berkembangnya pula zaman. Dulu peran dosen hanya menekankan pada pembentukan wawasan serta pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan, namun kini seiring berubahnya paradigma dan kompleksitas problem dalam dunia pendidikan kita, peran dosen senantiasa juga bergeser yakni disamping menjadi seorang transformator keilmuan secara akademis juga sekaligus sebagai fasilitator pembelajaran yang merupakan tuntutan di era kekinian..
Perubahan ini tidak berarti tugas dan tanggung jawab dosen menjadi lebih ringan, karena sampai kapanpun dosen tetap memiliki tanggung jawab dalam pembentukan pengetahuan, keterampilan dan sikap-nilai dari proses pembelajaran yang berlangsung, serta bertanggung jawab untuk berpartisipasi secara nyata dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan secara utuh. Konsekuensi logisnya, dosen mesti memahami karakteristik dan isi bahan ajar, menguasai konsep mengenal metodologi ilmu yang diajarkannya dan memahami konteks bidang studi tersebut, korelasi dan interelasinya dengan konsepsi pendidikan link and match.Selain itu, dosen dalam konteks kekinian sekarang ini juga perlu dituntut untuk mengenal lebih dalam karakteristik mahasiswanya yang cenderung semakin kritis namun juga pragmatis serta cenderung memiliki technokratisme-materialisme berfikir. Oleh karena itu, dosen sebaiknya juga perlu melakukan pendekatan yang lebih persuasif dan personal untuk mendorong agar sifat-sifat tersebut menjadi lebih konstruktif bagi kehidupan mahasiswa kelak, khsusunya dalam dunia kerja. Dengan kata lain paling tidak dosen juga harus memiliki wacana bahkan main set pedagogis serta diharapkan lebih kreatif menjadi motivator dan mampu secara kreatif mengembangkan berbagai model pembelajaran yang menstimulasi semangat berfikir mahasiswa.Dalam kerangka tersebut diatas maka institusi pendidikan sebagai medium pengejawantahan profesi dosen, senantiasa harus selalu progress, otentik dan aktual agar meningkatkan kualitas dan kompetensi dari para dosen, dengan terus-menerus merevitalisasi diri sesuai dengan tuntutan kualifikasi standard bagi seorang dosen. Disamping peran institusi pendidikan dalam mengakomodasi kepentingan tuntutan kualifikasi dosen yang korelasinya sangat signifikan terhadap mutu atau kualitas dan iklim kegiatan belajar mengajar, sebenarnya dosen itu sendiri secara psikologis juga perlu menyadari tentang makna profesinya. Dosen mesti mencintai profesinya. Kecintaan akan profesi merupakan pintu masuk bagi dosen untuk menjadi profesional dan berkualitas. Seperti seorang laki-laki yang mencintai gadis pujaannya, ia rela melakukan apa saja demi gadis yang dicintainya. Jika dosen mencintai profesinya, mencintai anak-anak didiknya, apa pun hambatan dan kesulitan yang dihadapi—apalagi hanya gaji yang rendah atau honor yang minim—tidak akan sanggup mematahkan semangat dosen untuk berkarya demi memanusiakan manusia-manusia muda. Dan, untuk dapat mencintai profesinya, dosen harus menengok kembali ke belakang, mengapa ia menjadi dosen. Memurnikan kembali motivasi awal menjadi dosen. Menghapus keterpaksaan masa lalu dan menukarnya dengan kejernihan visi dan misi baru. Bahwa dengan memilih menjadi dosen, ada tanggung jawab moral dan sekaligus tanggung jawab sosial yang jauh lebih besar daripada sekadar keterpaksaan diri, yang mesti diemban oleh dosen. Dan, harus diakui, ini juga bukan perkara mudah. Butuh proses yang sangat panjang.

SELF PROMOTION DI TEMPAT KERJA IMPLIKASINYA BAGI EKSISTENSI KARYAWAN

Prolog

Self Promotion secara umum dikatakan sebagai suatu usaha mengembangkan personality seseorang agar diketahui seberapa besar nilai eksistensi pribadi dirinya dalam suatu komunitas. Tujuan dari self promotion tiada lain dan tidak bukan adalah pengakuan dari komunitas itu sendiri tentang kontribusi dan produktifitas seseorang itu di organisasi (baca : ditempat kerja). Secara teoritis self promotion adalah merupakan bagian dari suatu hakikat nilai kebutuhan hidup seseorang. Menurut Maslow setiap orang memiliki hirarki (tingkatan) dalam upaya mencapai suatu taraf hidup yang diinginkan. Tingkatan tersebut berjenjang dari pemenuhan kebutuhan pokok, kebutuhan rekreasi (hiburan), kebutuhan mengenai pengakuan dan kebutuhan tentang aktualisasi diri. Hirarki tersebut pada prinsipnya berdiri diatas faktor-faktor nilai kepribadian orang itu sendiri yang diukur dari berbagai segi, misalnya saja dari segi ekonomi, segi sosial budaya, bahkan dapat dilihat dari segi politik. Tinggal persoalannya dimana proposisi mengenai self promotion tersebut seseorang tempatkan. Dengan kata lain tidak ada salahnya apabila dalam lingkup komunitas kerja terkadang orang perlu mempromosikan dirinya sendiri agar paling tidak komunitas lingkungan kerja “mengakui” produktivitas dan kinerja yang pernah dan telah dilakukannya. Proposisi yang dimaksud adalah apakah cara mempublikasikan diri tersebut sesuai dengan kaidah dan budaya komunikasi. Dalam konteks ini budaya komunikasi dapat dilihat dari sejauhmana komunikasi intra dan antar personal dalam lingkup komunikasi formal tersebut dibangun oleh organisasi kepada masing-masing individu, baik secara vertikal maupun horizontal.

Self Promotion dalam Konteks Komunikasi Intra dan Antar Personal

Self promotion dalam konteks komunikasi intra personal dilakukan untuk mendorong timbulnya motivasi dalam diri. Hal ini penting dilakukan mengingat setiap orang pasti memiliki orientasi dalam bekerja sekecil apapun orientasi tersebut. Orientasi tersebut akan memberikan nilai bagi kualitas produktivitas dan kinerja seseorang. Self Promotion dalam konteks komunikasi intra personal inilah yang akan melahirkan semangat keberpihakan dalam diri atau rasa memiliki (sense of belonging) ketika organisasi dimana tempat ia bekerja telah memberikan harapan bagi dirinya dalam bentuk dan dalam konteks apapun. Istilah “right or wrong is my organizer” adalah cermin telah lahirnya embrio kesetiaan kepada organisasi, dan tentu hal tersebut didapatkan ketika setiap individu mau atau sudah secara terbuka melakukan self Promotion dalam dirinya. Self Promotion dalam konteks komunikasi intra personal tersebut juga akan memberikan semacam proses pendewasaan berfikir terhadap suatu gejala fenomena dalam proses interaksi yang dibangun organisasi. Self Promotion dalam konteks komunikasi intra personal inilah yang menyebabkan orang semakin matang dan dewasa dalam lingkup suasana dan iklim kerja karena learning process yang panjang dengan mengambil ikhtiar dari pengalaman yang dirasakannya. Self Promotion dalam konteks komunikasi antar personal juga perlu dilakukan. Hal ini penting untuk memberikan semacam komparasi obyektif tentang kompetensi dan skill yang dimiliki oleh setiap individu. Secara umum dapat disimpulkan bahwa ketika seseorang melalukan self promotion dengan pendekatan komunikasi antar personal, maka sejatinya akan melahirkan konsep “keterbatasan” dalam diri, yakni bahwa kita memang memerlukan parameter terhadap kemampuan pribadi kita, dan kemampuan pribadi tersebut tidak dimonopoli oleh pribadi orang tersebut. Sebab semakin kita mampu melakukan komparasi terhadap perilaku dan kemampuan orang lain, maka kita akan merasakan pula sejauhmana diri pribadi kita memiliki keterbatasan. Dengan demikian self promotion memang perlu dilakukan mengingat pengakuan seseorang dalam eksistensinya di lingkup komunitas kerja, perlu apresiasi oleh orang lain, dan upaya untuk memberikan gambaran mengenai apresisi orang lain terhadap diri kita itu memberikan value apabila secara pribadi kita mampu mensosialisasikan apa yang sudah pernah kita lakukan dan perbuat secara konstruktif dan positif bagi diri kita, terlebih-lebih memberikan kontribusi bagi organisasi dimana kita mengabdi. Namun demikian self promotion dalam konteks komunikasi antar personal ini, perlu dilakukan dengan suatu pendekatan yang obyektif dan kecakapan berkomunikasi yang baik. Pendekatan yang obyektif dimaksudkan bahwa self promotion memang perlu di sosialisasikan untuk diketahui orang lain sesuai dengan apa yang pernah seseorang perbuat sebagai bentuk kontribusinya kepada orang lain. Hal ini penting mengingat tingkat sensitivitas dari implementasi self promotion ini terkadang memberikan kesempatan kepada kita justru untuk mencederai semangat komunalitas dalam lingkup komunitas kerja. Sebagai contoh, terkadang kita mempopulerkan sesuatu pekerjaan kepada orang lain, terlebih-lebih kepada pimpinan, namun sejatinya pekerjaan yang kita informasikan dan sosialisasikan tersebut adalah bukan pekerjaan kita. Atau self promotion dalam konteks ini bisa saja dimanipulasi dan dicederai oleh perilaku buruk kita sebagai imbas terbukanya tingkat persaingan dalam bekerja. Kecenderungan dari destruksi self promotion ini adalah terkadang seseorang bisa menganggap dirinya bisa menyenangkan orang lain terlebih-lebih pimpinan dengan informasi yang kita berikan, dengan harapan kita nantinya jadi ”populer” dimata pimpinan. Namun cara-cara yang dilakukan tidak dilakukan dengan cara-cara yang elegan. Misalnya dengan menjelek-jelekkan orang lain secara personal maupun menakar kontribusi dan kemampuan orang lain, yang sejatinya hal tersebut sekali lagi justru dapat mencederai semangat kebersamaan. Self promotion dalam konteks komunikasi antar personal juga perlu dilakukan dengan tingkat kecakapan berkomunikasi yang baik. Kecakapan berkomunikasi disini bukan dilihat dari pandainya seseorang bertutur secara sistematis, kemampuan orasi dan bersosialisasi yang baik dan sebagainya. Walaupun kesemua hal tersebut penting, namun yang lebih penting dari kecakapan berkomunikasi tersebut adalah etika menyampaikan suatu pandangan atau pendapat pribadi dihadapan komunitas organisasi, baik kepada bawahan, teman satu level atau kepada kepada pimpinan. Etika yang dimaksud adalah komunikasi yang dibangun haruslah melewati budaya (kultur) organisasi dimana seseorang tersebut berada. Sebab Kultur organisasilah yang akan meredefinisi perilaku seseorang terhadap publiknya sendiri. Secara kongkrit misalnya terkadang maksud seseorang baik, yakni untuk mensosialisasikan dan menginformasikan apa yang telah dilakukannya sebagai sebuah pengakuan bagi nilai eksistensinya, namun terkadang pula niat baik tersebut diintepretasikan tidak secara proporsional, yakni bisa saja seseorang justru malah disebut sebagai arogan (baca : sombong). Oleh karena itu maka untuk mempromosikan diri seseorang harus memahami betul bagaimana pola dan budaya komunikasi dalam organisasi.

Budaya Organisasi Implikasinya terhadap Kecenderungan Munculnya Self Promotion

Berbicara tentang budaya organisasi, maka ada satu hal yang barangkali perlu menjadi suatu gambaran, agar setidaknya kita sebagai individu dalam lingkup anggota komunitas organisasi tidak menjustifikasi budaya yang dikembangkan dan menjadi laten dalam suatu organisasi itu baik atau buruk. Sebab yang namanya budaya organisasi inheren dengan latar belakang pengelolaan organisasi itu sendiri. Ada banyak faktor yang mempengaruhi suatu budaya menjadi bagian dari perilaku organisasi, salah satunya pertama, bagaimana pengelolaan organisasi dilihat dari aspek manajerial, kedua, bagaimana pola komunikasi yang dibangun oleh organisasi, ketiga¸sejauhmana partisipasi yang disediakan oleh organisasi.

Untuk menjawab faktor yang pertama, yakni yang menyangkut pengelolaan organisasi yang dilihat dari aspek manajerial, maka yang harus dicermati adalah sejauhmana organisasi memberikan deskripsi tentang mekanisme dan sistem pengelolaannya yang jika kita intepretasikan lebih detil hal tersebut dapat dilihat dari soal aturan main (rule of the game), soal job discription, dan soal-soal yang berhubungan dengan decisión making. Dalam konteks yang demikian itu, jika proses manajerial dilakukan secara obyektif dalam artian terbuka ruang bagi semua pihak untuk mengimplementasikan peran dan posisinya dalam suatu organisasi, maka self promotion-tanpa dilakukan-pun sebenarnya publik organisasi sudah merasakan produktifitas dan kontribusi masing-masing individu. Sebab tiap individu sudah terpetakan dalam pola pembagian posisi dan tugas serta masuk kedalam suatu rangkaian rentang kendali secara manajerial. Jadi apabila organisasi sudah mampu menciptakan budaya “mengedepankan aturan main”, maka sejatinya self promotion sama sekali tidak dibutuhkan. Karena sekali lagi eksistensi seseorang dalam budaya organisasi seperti itu sudah diakui dan secara implisit hal tersebut memang sudah tertuang menjadi salah satu reward organisasi kepada individu (karyawan). Lain soal apabila baik secara infrastruktur maupun suprastruktur organisasi telah memiliki piranti atau elemen manajemen tersebut, namun secara aplikatif tidak diimplementasikan kepada individu karena beberapa sebab, misalnya faktor personality pemimpin, faktor konflik kepentingan dan lain-lain, maka self promotion menjadi suatu pilihan agar organisasi terutama pimpinan mau tidak mau melihat dan menjadi tahu bahwa setiap individu memiliki andil dalam memberikan kontribusinya buat organisasi.

Faktor yang kedua adalah budaya komunikasi. Budaya komunikasi dalam konteks komunikasi organisasi harus lihat dari berbagai sisi. Sisi pertama adalah komunikasi antara atasan kepada bawahan. Sisi kedua antara karyawan yang satu dengan karyawan yang lain. Sisi ketiga adalah antara karyawan kepada atasan. Masing-masing komunikasi tersebut mempunyai polanya masing-masing. Hal inilah yang dinamakan bahwa dalam komunikasi organisasi itu akan lahir yang namanya hubungan industrial dan hubungan subordinatif. Hubungan industrial adalah hubungan yang meletakkan individu atau karyawan sebagai assetnya organisasi, karena ia asset maka ia harus dipelihara dan dikembangkan. Oleh karenanya maka prestasi dan produktifitas kinerja karyawan menjadi salah satu ukuran penting bagi eksistensi individu atau karyawan tersebut dalam suatu organisasi. Hubungan subordinatif adalah hubungan pemberian perintah antara atasan kepada bawahan. Hubungan ini harus disadari menggingat individu atau karyawan bukan cuma dilihat dalam konteks pembagian tugasnya saja. Namun juga dilihat dari rentang posisi yang diberikan organisasi kepada individu atau karyawan. Oleh karenanya maka kesetiaan dan kepatuhan karyawan menjadi salah satu ukuran penting dalam melihat eksistensi individu atau karyawan. Self promotion dalam budaya komunikasi organisasi ini harus dikembangkan dan dipelihara secara obyektif. Apabila organisasi-termasuk pimpinan menciptakan budaya komunikasi yang proporsional, partisipatif dan bertendensi pada upaya penciptaan hubungan yang harmonis, maka sebenarnya karyawan tidak perlu melakukan self promotion. Self promotion menjadi pentig dilakukan apabila ada salah satu dari budaya komunikasi yang dilakukan organisasi, tidak dilakukan secara fair, adil dan obyektif, akibatnya individu atau karyawan dirasa perlu melakukan suatu komunikasi yang bertujuan untuk memberikan pengakuan bahwa tiap individu atau karyawan punya andil dalam membesarkan organisasi. Tanpa kontribusi individu atau karyawan, maka peran manajer tidak akan ada apa-apanya. Tanpa peran manajer, maka seorang Direktur atau pimpinan tidak ada apa-apanya.

Faktor yang ketiga adalah partisipasi. Partisipasi adalah suatu kesempatan yang diberikan oleh organisasi kepada individu atau karyawan untuk mengembangkan kemampuan atau kompetensinya kepada organisasi. Secara kongkrit organisasi akan memberikan keleluasaan kepada individu atau karyawan untuk melakukan inisiatif, kreatifitas dan kemampuan mengambil keputusan sebagai suatu learning proses kaderisasinya menjadi pemimpin, atau paling tidak mengaplikasikan proses aktualisasi dirinya dalam organisasi. Jika organisasi melakukan hal yang demikian itu, maka sebenarnya self promotion dengan sendirinya akan dilakukan oleh individu atau karyawan, karena karyawan akan menyadari bahwa proses observasi dan penilaian organisasi terhadap dirinya sangat ditentukan oleh parameter kreatifitas, pengejewantahan ide dan gagasan dan kemampuan kognitifnya dalam mengemban proses kegiatan organisasi. Jika organisasi tidak menciptakan pola partisipasi, maka salah satu implikasi yang akan muncul kemudian adalah timbulnya konflik antar kepentingan, masing-masing individu akan berupaya “populer” dimata pimpinan namun kesemuanya tidak dalam suatu kerangka iklim yang kondusif dan tidak dibarengi oleh produktifitas dan kinerja individu atau karyawan secara obyektif.


Epilog

Berdasarkan deskripsi tersebut diatas, maka jelas bahwa sebenarnya self promotion adalah bagian yang tidak terpisahkan dari yang namanya kebutuhan hidup manusia secara umum. Pengakuan orang lain terhadap apa yang seseorang lakukan di tengah komunitas organisasi penting untuk membangun semangat komunalitas dan peningkatan kualitas sumber daya individu itu sendiri secara kualitatif. Tinggal persoalannya adalah apakah kemauan individu atau karyawan dalam melakukan self promotion terhadap organisasi dibarengi dengan semangat organisasi terutama pimpinan organisasi dalam menciptakan iklim atau kondisi yang kondusif bagi individu atau karyawan. Tiga faktor diatas adalah salah satu dari indikator keberhasilan organisasi dalam memanfaatkan momentum semangat individu dalam melakukan self promotion untuk kepentingan organisasi dalam jangka panjang. Khususnya dalam hal yang menyangkut kaderisasi kepemimpinan dan menciptakan TOL (totalitas, orientasi dan loyalitas) karyawan.

PENTINGNYA TOL (TOTALITAS-ORIENTASI DAN LOYALITAS) DALAM BEKERJA

“Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit, tapi jangan jadi pemimpi yang lupa bangun dari tidurnya”. (Soekarno).

Pernyataan Bung karno tersebut hanyalah salah satu dari sekian banyak butiran semangat yang pernah disampaikan kepada bangsa ini yang telah sekian lama dijajah oleh bangsa asing. Pernyataan tersebut bukan hanya mengandung makna spirit, tapi juga makna kultural, yaitu kita diajak untuk terus melihat kedepan, melangkah kemasa depan, karena kitalah yang sebenarnya menentukan mau kemana kita depan. Namun melihat jauh kedepan juga bukan berarti kita berjalan terlalu tegak atau terlalu tunduk. Berjalan terlalu tegak hanyalah akan menghasilkan kesombongan (arogan), terlalu percaya diri (over confidence), merendahkan orang lain sehingga mengabaikan komunitas sebagai penopang jati diri. Berjalan terlalu tunduk juga hanya akan menghasilkan pesimisme dan ketidakberdayaan, terombang-ambing, rendah diri dan tidak percaya akan kemampuan diri sendiri. itulah sebenarnya esensi makna kata-kata yang diungkapan Bung Karno. Tidak banyak pemimpin yang mampu menggugah semangat dan kesadaran rakyatnya sampai ke titik nadir, sehingga rakyat walaupun miskin, tidak punya apa-apa namun tetap memiliki keniscayaan hidup dan masa depan. Dengan kata lain kita diajak untuk berpikir optimis namun realistis.

Merekam pernyataan Bung Karno tersebut kedalam aktivitas keseharian kita bekerja, bisa saja menjadi cermin bahwa aktivitas apapun tanpa dilandasi oleh semangat keniscayaan akan suatu harapan yang lebih baik maka ia akan terkungkung pada suatu budaya feodal yakni menerima apa adanya, mengikuti arus tanpa mampu menilai seberapa besar riak dan gelombang dan tidak memiliki semangat kompetitif dalam hidup. Oleh karenanya menggali keniscayaan akan suatu harapan dalam bekerja, maka seseorang paling tidak harus memiliki Totalitas, Orientasi dan Loyalitas (TOL). Tiga hal itulah yang menjadi pilar utama membangun keniscayaan harapan dalam bekerja sekaligus membangun semangat keberpihakan dan hubungan konstruktif dengan organisasi/ lembaga ditempat kita bekerja.

Totalitas identik dengan sungguh-sungguh, tidak main-main, tidak setengah-setengah, rela berkorban, berani mengambil resiko terhadap kontribusi yang diberikan dan hal-hal lain yang identik dengan itu. Seseorang yang berfikir total, menunjukkan kecenderungan bahwa orang tersebut telah melegitimasikan dirinya terhadap proses pemberdayaan diri secara eksistensial. Secara kongkrit barangkali dapat dikemukakan bahwa ketika orang tersebut sudah berada dalam suatu komunitas atau lingkungan tempat dimana ia bekerja, maka fokus utama dalam mencari keniscayaan hidup dalam bekerja adalah dengan menempatkan organisasi atau tempat dimana kita bekerja sebagai suatu tempat utama diatas segala-galanya setelah keluarga secara proporsional.

Orientasi identik dengan harapan diri dalam bekerja. Orang yang semangat dalam melakukan pekerjaan berarti ia telah memiliki orientasi dalam dirinya. Sekecil apapun harapan tersebut haruslah seseorang itu memiliki orientasi. Orientasi diri akan melahirkan suatu proses kematangan berfikir, meningkatkan pengetahuan dan kecakapan dan yang paling utama adalah mengembangkan proses pendewasaan bersikap dalam suatu budaya yang diciptakan oleh organisasi. Sebab tanpa orientasi seseorang hanya akan ditempatkan pada kelompok penggembira dan marjinal, yang mungkin tidak akan dilihat oleh organisasi sebagai suatu upaya untuk menunjukkan eksistensinya kepada organisasi. Orientasi diri bisa dilihat dari dua aspek. Pertama dilihat dari aspek eksplisit. Orientasi diri jika dilihat secara eksplisit dapat direfleksikan sebagai suatu keinginan personal dalam lingkup pengakuan statusnya secara struktural dalam suatu organisasi. Pengakuan status secara struktural ini menggambarkan bahwa seseorang memiliki harapan diri ketika memang dalam konteks berorganisasi atau bekerja, orang tersebut terpola pada suatu tatanan yang memiliki nilai secara klasifikatif. Artinya seseorang akan memiliki penghargaan terhadap dirinya ketika kemampuannya bekerja dikompensasikan pada nilai statusnya pada tatanan struktur organisasi atau ada jenjang karir yang jelas dan terbuka. Dengan demikian maka jelas orientasi diri dalam konteks ini akan melahirkan semangat kompetitif dalam bekerja. Orientasi diri dilihat secara implisit maksudnya adalah setiap orang yang bekerja dalam suatu organisasi, pasti memiliki harapan bahwa akan selalu ada proses peningkatan kemampuan diri, baik yang berhubungan dengan aspek skill maupun yang berhubungan dengan masalah-masalah atitude. Jika seseorang bekerja selama bertahun-tahun, namun secara kualitatif tidak ada yang tampak berubah dari kemampun dan sikap orang tersebut, maka sejatinya orang tersebut tidak memiliki atau belum memiliki orientasi dalam dirinya. Seorang dosen misalnya, walaupun ia sudah berpengalaman mengajar selama puluhan tahun, namun mata kuliah yang diajarkannya hanya mata kuliah itu-itu saja, maka sebenarnya dosen tersebut berpengalaman tidak lebih dari hanya satu semester saja. Begitu pula instruktur, walaupun ia telah bekerja selama beberapa tahun, namun kemampuan menguasai materi hanya ada pada salah satu bidang pemprograman atau hanya satu aplikasi saja, tanpa pernah mau mengembangkan pengetahuannya di bidang (program atau aplikasi) lain, maka sebenarnya sama saja dengan ia punya pengalaman bukan beberapa tahun tapi satu atau dua semester saja. Jadi dengan demikian yang namanya orientasi diri itu harus ada dalam setiap diri seorang karyawan, sebab dengan orientasi diri keniscayaan terhadap pengakuan eksistensi seseorang dalam suatu lingkup organisasi akan terlihat.

Berikutnya adalah loyalitas. Loyalitas dipahami sebagai bentuk kesetiaan dan keberpihakan seseorang ditempat ia beraktivitas. Kesetiaan mengandung pengertian bahwa seseorang telah merasakan bahwa disamping kita telah memberikan kontribusi, organisasi juga telah memberikan kompensasi. Hubungan kausalitatif inilah yang memberikan reward bagi kedua belah pihak. Reward dari organisasi kepada karyawan berupa legitimasi dari berbagai aspek-termasuk kompensasi, reward dari karyawan kepada organisasi adalah berupa loyalitas. Seseorang yang telah memiliki kesetiaan biasanya terefleksikan kedalam aktivitas sehari-hari dalam pekerjaan. Misalnya ia cenderung lebih aktif, lebih reaktif, dan memiliki filterisasi organisasi yang tinggi. Kecenderungan lebih aktif dapat dipahami biasanya orang tersebut memiliki daya inisiatif dan kreatifitas yang tinggi. Seseorang yang sudah loyal kepada organisasi, maka ia akan bekerja tanpa terlebih dahulu ada instruksi, ia lebih berinisiatif melakukan berbagai hal demi kepentingan organisasi. Seseorang yang memiliki kesetiaan juga biasanya lebih reaktif, banyak melakukan kritik, saran dan hal-hal lainnya yang bersifat menakar kedalaman substansi dari suatu program atau kebijakan organisasi. Jadi sebetulnya seseorang yang banyak melakukan kritik dan saran kepada organisasi, jangan dipahami sebagai orang yang tidak peduli dengan organisasi. Justru apa yang dilakukannya adalah sebagai bentuk kecintaannya (sense of belongingnya) terhadap organisasi tempat dimana ia bekerja. Lain soal memang jika kritik, masukan dan berbagai kontribusi yang lain dilakukan secara destruktif. Hal itu bukanlah menunjukkan keadaan dimana orang tersebut memiliki loyalitas terhadap organisasi di tempat ia bekerja, justru orang tersebut adalah merupakan kangker bagi organisasi. Organisasi harus tegas ketika menghadapi orang-orang seperti ini, jika perlu diamputasi (baca : dikeluarkan).

Tiga pilar utama dalam bekerja yang telah disebutkan diatas sekali lagi adalah merupakan deskripsi logis bagi suatu organisasi apabila ingin menakar kedalaman substansi kontribusi seseorang. Tanpa kita harus mengukur kontribusi seseorang, sebetulnya kita bisa melihat, apakah orang tersebut memiliki keniscayaan bekerja atau tidak. Keniscayaan bekerja adalah suatu kondisi dimana ketika seseorang bekerja, ia memiliki cara, metode, dan kesempatan untuk mengembangkan eksistensi dirinya demi suatu tujuan yang hendak dicapai. Tujuan tersebut apakah tujuan yang bersifat pribadi atau tujuan organisasi. Upaya mengembangkan eksistensi tersebut sekali dilakukan dengan mengedepankan proses pemahaman totalitas, orientasi dan loyalitas. Tiga pilar tadi sekali lagi menunjukkan bahwa tidak ada yang bisa menafikan bahwa setiap orang dalam suatu komunitas, terlebih-lebih komunitas kerja, ia akan bersinggungan dengan parameter berorganisasi (dalam konteks ini bekerja). Nilai-nilai tersebut meliputi, obsesi, harapan dan keberpihakannya terhadap organisasi. Oleh karenannya memahami “TOL” dalam konteks ini merupakan salah satu upaya melakukan proposisi obyektif bahwa sesuatu yang dilakukan oleh seseorang ditempat kerja, ketika ia bersinggungan dengan persoalan eksistensi dirinya, maka adalah wajar dan sah-sah saja bahkan harus seseorang itu memiliki semangat “TOL” tadi. Jika hal tersebut dilegitimasi organisasi secara terbuka dengan semangat egalitarianisme, maka konsepsi “jangan tanya apa yang organisasi berikan, tapi apa yang bisa kita berikan buat organisasi” akan menjadi kenyataan dikemudian hari.

MEMAHAMI KOMPEKSITAS MANAJEMEN PENDIDIKAN DI PERGURUAN TINGGI

Perguruan tinggi adalah institusi yang membidani kelahiran sumber daya intelektual yang diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kegiatan memproduksi, mengkonstruksi dan merevitalisasi paradigma sumber daya manusia itu, agar mereka memiliki perspektif kognisi, afeksi dan konasi yang baik di mata masyarakat sebagai bekal kehidupannya-tentu saja tidaklah mudah. Perguruan tinggi tidak saja harus dituntut segi-segi otentitasnya secara yuridis dan eksistensial agar legitimasinya di akui oleh pemerintah dan masyarakat sebagai sebuah institusi yang capable mengelola dan menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu. Namun pergurun tinggi juga harus mampu mengkonstruktivitaskan institusinya secara moral dan manajerial agar ia dapat survive dan mampu menyediakan semua proses intelektualisasi produk yang dihasilkannya kepada masyarakat secara sistematis, kontinue dan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat tentang harapan dan cita-citanya mendapatkan manfaat belajar di perguruan tinggi.


Peran tersebut diataslah yang pada akhirnya mendudukan perguruan tinggi sebagai menara gading. Suatu cita-cita yang senantiasa terus dikejar oleh masyarakat untuk menapaki eksistensi kehidupannya dalam komunitas kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegera. Dengan kata lain, perguruan tinggi sampai hari ini merupakan jalan elementer bagi masyarakat dalam upayanya menjadikannya kaum elit – kelompok masyarakat yang memberikan pengaruh, dan daya dorong kuat sekaligus juga sebagai pemimpin ditengah suatu komunitas masyarakat. Apapun komunitasnya–apakah komunitas politik, ekonomi, sosial, budaya, profesi dan sebagainya.

Lulusan perguruan tinggi diharapkan mampu menjalankan fungsinya sebagai agen pembaruan dalam masyarakat (agent of social change). Yakni Pemahaman dan pemikiran masyarakat yang terbuka dan cerdas dalam bidang apapun (politik, hukum, pendidikan, kesehatan, keagamaan) dan berbagai dimensi lain. Lulusan peguruan tinggi juga diharapkan membawa pencerahan dan memberikan pengaruh bagi peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat..

Harapan masyarakat yang begitu menggebu terhadap lulusan perguruan tinggi cukup beralasan. Karena kalau bukan lulusan perguruan tinggi siapa lagi yang memberikan pencerahan, pembaruan, dan peningkatan taraf hidup mereka. Namun keinginan masyarakat agar lulusan perguruan tinggi berkualitas dan mampu melakukan yang terbaik baginya, tenyata akahir-akhir ini tinggal harapan. Kenapa? Selama ini kualitas lulusan perguruan tinggi pada skala nasional maupun daerah cukup mengkhawatirkan. Jumlah lulusan yang memiliki kualitas yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademik kepada masyarakat cukup kecil. Inilah salah satu persoalan mendasar dalam praktek pengelolaan pendidikan di perguruan tinggi. Pada akhirnya tidak salah apabila masyarakat sering memiliki pandangan miring kepada lulusan perguruan tinggi. Masyarakat menemukan sebagian besar lulusan perguruan tinggi tidak mampu menjalankan misinya sebagai orang yang terdidik, memiliki ilmu pengetahuan dan memiliki nilai (values), yang menjadi identitas sebagai kaum terdidik. Rendahnya values baik berupa nilai agama dan etika, juga telah memperparah keberadaan lulusan perguruan tinggi di mata masyarakat.

Berbagai pandangan miring yang dialamatkan kepada lulusan perguruan tinggi tersebut, memang tidaklah perlu dinegasikan secara defensif oleh institusi perguruan tinggi. Sebab hal tersebut adalah realitas yang harus disikapi dengan arif oleh para pemimpin perguruan tinggi. Stakeholders Harus berfikir mengapa realitas ini terjadi. Oleh karena itu maka institusi perguruan tinggi perlu mencari berbagai faktor determinan yang menentukan mengapa lulusan perguruan tinggi sebagian besar sangat rendah kualitasnya. Bukankah, seseorang dikatakan lulusan perguruan tinggi apabila ia telah memenuhi standar akademik yang baik. Mengapa lulusan perguruan tinggi belum mencerminkan suatu standar akademik, padahal mereka sudah mengikuti proses belajar di perguruan tinggi. Mengapa mereka belum mampu menjalankan misinya sebagai agen pembaruan masyarakat?

Banyak faktor penyebab. Ada yang berpandangan inputnya tidak baik, dananya terbatas, dan bahkan ada pula yang berpendapat regulasi pemerintah tidak memihak kepada peningkatan mutu akademik lulusan perguruan tinggi. Faktor-faktor itu memang mempengaruhi output perguruan tinggi dalam memproduksi sumber daya manusianya, Namun, dari kesemua faktor yang ada, kecenderungan faktor determinan yang menunjukkan rendahnya kualitas lulusan perguruan tinggi kebanyakan justru terletak pada manajemen perguruan tinggi itu sendiri. Yaitu kemampuan mengelola perguruan tinggi secara integral dan menyeluruh dengan mengoptimalkan alokasi dan pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki perguruan tinggi.

Sebab fasilitas yang memadai tidaklah menjamin jika kemampuan menata dan mengoptimalkan sumberdaya termasuk sumberdaya manusia yang dimiliki, tidak menguasai keahlian tertentu yang menjadi kompetensinya dalam aktivitas kegiatan belajar dan mengajar (skill).
Dalam konteks yang demikian itulah maka manajemen perguruan tinggi tentu menjadi landasan dasar bagi penataan dan perbaikan yang ditujukan untuk menghasilkan lulusan perguruan tinggi berkualitas dengan kualifikasi akademik yang dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat. Ted Wall, guru besar manajemen pendidikan dari Mc Gill University, menyebutkan, manajemen perguruan tinggi harus dimulai dari adanya kesadaran (awareness) seluruh civitas akademika, terutama bagi pimpinan perguruan tinggi. Artinya, setiap kebijakan diambil semata-mata untuk meningkatkan mutu akademik.

Kesadaran pimpinan perguruan tinggi tersebut harus berangkat dari filosofis bahwa mengelola perguruan tinggi tidak saja berorientasi pada economic capital (profit oriented) saja, melainkan juga haruslah berorientasi pada sosio capital – yakni target pengelolaan yang berorientasi pada segi-segi konstruktivitas dan charactarer building manusia, atau dengan kata lain stakeholders haruslah memprioritaskan human capital sebagai sasaran output bagi eksistensi perguruan tinggi yang dikelolaanya. .

Problematika yang dihadapi dalam mengelola perguruan tinggi, yang dikemukakan diatas-yang merupakan salah satu penyebab atau faktor utama yang mempengaruhi kualitas lulusan perguruan tinggi, dapat saja dieleminir jika semua elemen baik stakeholders maupun seluruh civitas akademika memiliki komitmen, konsensus, dan completion berupa situasi yang mendukung untuk melakukan perubahan. Komitment akan melahirkan suatu kesadaran manajerial bahwa mengelola perguruan tinggi cenderung didasari oleh suatu konsep yakni pertama, activition, kedua verifikasi-investigasi dan ketiga, suksesi. Konsep manajerial ini penting untuk dikembangkan menjadi suatu komitment yuridis formal oleh institusi pendidikan tinggi agar ia memiliki standard baku dalam setiap proses langkah mengelola sebuah organisasi yang term-nya adalah produk intelektual.

Activation adalah komitment stakeholders dalam melakukan identifikasi, perencanaan dan konsep konstruksi komunikasi yang dibangun lembaga kepada seluruh civitas akademika. Identifikasi dalam konteks tersebut adalah semua embrio tentang trend kebutuhan masyarakat tentang konsep-konsep keilmuan yang secara akademis harus direspons kedalam suatu kurikulum yang up to date, identifikasi juga merujuk kepada sumber daya pengelola (misalnya dalam hal ini adalah standard dosen dan standard tenaga penyelia lainnya). Hasil identifikasi tersebut kemudian di rumuskan dalam suatu rencana kebijakan strategis perguruan tinggi untuk dapat menghasilkan suatu konsep pengelolaan civitas akademika (dosen, mahasiswa dan tenaga penyelia lainnya) secara konstruktif sesuai dengan kaidah normatif dan yuridis yang telah dibakukan kedalam konsepsi nilai dan statuta pengelolaan perguruan tinggi. Dosen memiliki kualifikasinya, mahasiswa memiliki formulasi efektif kegiatan belajar-mengajarnya, dan tenaga penyelia lainnya memilki harapan tentang carrer path-nya. Tahap terakhir dalam activation adalah bagaimana stakeholders membangun konstruktivitas komunikasi yang mutual-intens, mutual-empiris, mutual empatic, dan mutual-economic kepada segenap karyawan dan civitas akademikanya. Mutual-intens adalah konsep komunikasi yang dikembangkan secara terus menerus didasarkan pada kegiatan teknis-operasional kegiatan kelembagaan. Momentum membangun komunikasi melalui pertemuan rutin dan bersifat persuasif diharapkan akan melahirkan iklim yang kondusif antara stakeholders dengan civitas akademika. Mutual-empiris adalah konsep komunikasi yang dikembangkan oleh stakeholders kepada civitas akademika dengan mengedepankan konsep proses secara kausalitatif. Simbol-simbol keberhasilan, semangat dan motivasi serta kesuksesan yang pernah diraih merupakan jalan praktis bagi civitas akademika agar mereka memiliki orientasi dan memiliki sense of belonging terhadap lembaga. Mutual-empatic adalah konsep komunikasi yang mengedepankan aspek kepedulian lembaga terhadap civitas akademikanya. Konsep yang dikembangkan dengan pendekatan AIDA (Atensi, Interest, Desire dan Action) tersebut diharapkan dapat memberikan persepsi dari civitas akademika kepada lembaga tentang keberpihakan stakeholders pada kesejahteraan dan kepeduliannya kepada civitas akademika. Mutual –economic adalah konsep yang dikembangkan oleh lembaga dengan mendeskripsikan bahwa setiap aktivitas apapun, apabila ia melewati kultur dan iklim persaingan untuk mencapai suatu kehidupan yang baik, maka paradigma ekonomis agar lembaga ini tetap eksis perlu mendapat respons positif dari seluruh civitas akademika. Mutual-economis, bukam berarti hanya mengedepankan materi sebagai target oriented. Akan tetapi lebih kepada konsep bagaimana lembaga ini dapat mengatur dan mengelola potensi sumber daya yang dimilikinya untuk mencapai kehidupan dan eksistensi yang lebih baik.

Konsep kedua adalah verifikasi – investigasi, yaitu tahap manajerial dimana perguruan tinggi melakukan proses perencanaan yang matang, realistik dan strategis untuk memperoleh sumber daya pengelola (dosen dan karyawan). Standard kompetensi dosen haruslah sesuai dengan nilai instrinsik dosen tersebut yaitu kognisi, afeksi dan psikomotoriknya. Aspek kognisi terdiri dari knowledge (pengetahuannya), comprehension (kemampuan memahami), aplication (kemampuan penerapan), analisis (kemampuan menganalisis informasi), sinthetis (kemampuan menggabungkan beberapa informasi) dan evaluation (kemampuan mempertimbangan dan mengukur value atau nilai baik/ buruk untuk mengambil suatu keputusan. Aspek Afeksi didasarkan atas penilaian sikap, tingkah laku, emosi, peminatan (keseriusan) menjadi pendidik dan pengamatan langsung terhadap aktivitas interaksi. dalam kegiatan belajar mengajar. Aspek psikomotorik didasarkan atas konsep pembelajaran dan penguasaan kondisi dan situasi belajar mengajar. Oleh karenanya aspek motorik tersebut dapat dicapai atau dipenuhi manakala dosen tersebut telah memiliki pengalaman mengorganisasikan pemikiran dan mengorganisasikan interaksi personalitinya dalam lingkup pengalaman organisasi yang pernah dimilikinya.

Kegiatan manajerial untuk melakukan verifikasi – investigasi tersebut dilakukan dalam lingkup pertama, yaitu perencanaan sumber daya manusia yang meliputi pertimbangan-pertimbangan apa yang dipakai untuk merekrut sumber daya dosen. Kedua pengadaan sumber daya manusia, berupa pengadaan, seleksi dan uji coba penempatan, dan ketiga pengembangan sumber daya manusia berupa pelatihan dan pendidikan, serta pemberian motivasi, reward dan punishement untuk memberikan arah bagi kualitas sumber daya manusia. Ketiga fase tersebut diatas dilakukan dengan merujuk kepada tingkat profesionalitas standard dan pendekatan mendapatkan sumber daya manusia yang terecana, terorganisasir dan berkualitas dari segi konsep maupun ukurannya.

Pengubahan paradigma berangkat dari proposisi bahwa melakukan pengubahan manajemen perguruan tinggi adalah suatu kebutuhan. Dan membangun kebutuhan akademis tersebut harus dimulai dengan adanya persepsi yang sama, citra yang sama, kesadaran yang sama dan pengetauan yang sama. Nilai ini harus dimiliki oleh pimpinan perguruan tinggi baik dijajaran struktural maupun fungsional sampai dengan seluruh civitas akademika.

Setiap orang harus memiliki komitmen untuk melakukan yang terbaik. Atas dasar itulah, maka seluruh kegiatan yang dijalankan mengarah pada peningkatan mutu akademik. Proses belajar mengajar, alokasi anggaran dan kegiatan kemahasiswaan semuanya mengacu pada peningkatan mutu akademik. Tidak ada satu kegiatan pun yang dilakukan perguruan tinggi di luar kepentingan akademik.

Keinginan bersama mengubah manajemen di perguruan tinggi dapat dilakukan, bila pimpinan bersikap terbuka dan transparan, melibatkan banyak pihak dan mengakomodir berbagai kepentingan sivitas akademika. Tanpa sikap-sikap seperti ini akan sulit dilakukan perubahan manajemen di perguruan tinggi.

Proses belajar mengajar akan mampu meningkatkan mutu akademik bila tenaga pengajar memiliki keahlian (expert) dalam bidang ilmu yang ditekuninya. Peningkatan kualitas tenaga pengajar dalam berbagai jenjang, termasuk pola-pola pelatihan dan penajaman kemampuan concept & technical teaching merupakan kebutuhan yang tidak boleh terhenti. Dosen harus memiliki up grade ilmu setiap saat,

Penataan dan alokasi dana bagi penyelenggaraan kegiatan perguruan tinggi pun sebenarnya harus melibatkan civitas akademika dan bersifat transparan. Sebab transparansi penyusunan dan pengelolaan anggaran di perguruan tinggi akan berdampak pada kinerja akademik dan administratur di perguruan tinggi, karena mereka menjadi lebih mengerti dan memahami arah dan strategi pencapaian kualitas eksistensi Perguruan Tinggi tersebut.

Pengembangan keilmuan di perguruan tinggi baik dilakukan oleh mahasiswa maupun dosen juga ditentukan oleh berbagai fasilitas fisik dan sarana pendukung lainnya. Sarana pendukung yang terpenting adalah perpustakaan dan dinamika kosntruktif aktivitas lembaga kemahasiswaan intra universitier yang dimiliki dan diakomodasi kampus. Kedua masalah tersebut merupakan masalah kronis bagi sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia. Padahal dua hal tersebut merupakan urat nadi bagi sebuah perguruan tinggi.

Konsep ketiga adalah suksesi. Yaitu tahap dimana perguruan tinggi mampu mengambil pilihan-pilihan obyektif untuk kepentingan sasaran peserta didiknya. Setiap Keputusan yang dilakukan oleh institusi perguruan tinggi, haruslah memiliki substansi keputusan yang bersifat akademis. yakni proses pengambilan keputusan yang didasarkan atas berjalannya proses komunikasi yang merujuk kepada dimensi nilai bagi kemaslahatan seluruh civitas akademika. dengan kata lain, jika dimanifestasikan kedalam kerangka berfikir akademis, maka keputusan institusi pendidikan tinggi haruslah bercermin pada konsep wawasan almamater, statuta akademis, dan pertimbangan moral dan mutu kualitas pendidikan di institusi perguruan tinggi tersebut.

Demikian, agar kita semua mengetahui dan memahami kompleksitas dan problem yang dihadapi oleh lembaga pendidikan tinggi dalam mengelola institusinya. Pada akhirnya mudah-mudahan masyarakat berharap perguruan tinggi tidak meredusir tantangan manajerial tersebut sehingga mencederai segi-segi otentitas dan kualitas output lulusan perguruan tinggi.

* Penulis tergabung kedalam CEC (Care Education Community)

Rabu, 02 April 2008

PENDIDIKAN HOME SCHOOLING ... ? SUDAH ADAPTIFKAH DENGAN पेंदिदिकन DI INDONESIA

Akhir-akhir ini kita sering saksikan mulai banyak bermunculan sekolah-sekolah dengan alternatif pendekatan dan metodologi pengajaran “link & mach yang cenderung praktis dan katanya lebih efektif mengelaborasi esensi pendidikan dengan aplikasi skill peserta didik. Program pendidikan tersebut sering kita kenal dengan istilah home schooling. Diseluruh dunia terdapat kurang lebih 6 juta home schooling tersebar di berbagai negara, termasuk Indonesia. Walaupun bagi kalangan praktisi pendidikan sendiri substansi pendidikan home schooling secara simplistis inheren dengan SMP terbuka, SMA terbuka, Universitas terbuka atau yang sekarang sedang trend adalah e-learning, namun memang ada kecenderungan bahwa home schooling agak “berbeda” jika dilihat dari tingkat fleksibilitas dan metodologi pengajarannya. Fleksibilitas konsep pendidikan home schooling memang an-sich mengacu kepada kompetensi praktis hubungan antara ketertarikan/kemauan dan hoby individual (baca : siswa) dengan orientasi cita-citanya bekerja atau menguasai bidang-bidang tertentu yang menjadi harapannya dalam bekerja. Fleksibilitas tersebut juga diukur dari metode belajar-mengajar yang tidak “terbelenggu” oleh dimensi ruang dan waktu secara formal serta menjamin tingkat kompetensi terealisir dengan baik. Dengan kata lain konsepsi link & mach memang cenderung lebih efektif jika para siswa belajar dalam tataran konsep pendidikan model ini. Apalagi jika kalangan dunia industri sudah menjalin kerja sama dan membangun hubungan dengan lembaga pendidikan home schooling misalnya mengenai pola standard alternatif bagi kompetensi para lulusan (baca : dalam hal ijasah dan nilai) yang selama ini menjadi domainnya pemerintah.

Untuk menelaah lebih jauh tentang bagaimana pendidikan home schooling ini bisa lebih progresif berkembang di Indonesia, tentu tidak terlepas dari paradigma berfikir masyarakat yang mulai cenderung kritis dan selektif dan tentu saja evaluatif terhadap hasil yang sudah dicapai oleh pendidikan formal yang dikemas dan didesain oleh pemerintah. Secara empiris barangkali salah satu faktor yang mempengaruhi mengapa terjadi pergeseran dinamika pemikiran masyarakat terhadap pola pendidikan di Indonesia adalah salah satunya dikarenakan para orang tua murid sudah begitu menyadari bahwa sudah lama pendidikan kita di “hantui “oleh tingginya kekerasan sosiologis yang selama ini terjadi dalam interaksi dunia pendidikan kita. Kasus tawuran, seks bebas dan narkoba dikalangan pelajar dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit adalah salah satu faktor yang menyebabkan para orang tua terbangun landasan berfikirnya untuk melakukan terobosan mencari pendidikan alternatif yang relatif “aman” buat anak-anaknya dan rezim diktatorianisme pendidik terhadap peserta didik yang selama ini menjadi budaya dalam pola pendidikan kita juga telah membuka mata sebagian masyarakat terutama para orang tua murid untuk lebih mempertimbangkan putra-putrinya untuk sekolah di pendidikan formal. Realitas lain yang perlu dicermati mengapa pendidikan home schooling ini menjadi pilihan alternatif masyarakat adalah ketika masyarakat mulai menyadari bahwa sebenarnya pola pendidikan formal di Indonesia belum menyentuh substansi kebutuhan riel tantangan dalam era globalisasi yang harus di respon secara kualitatif oleh peserta didik dengan menyiapkan kompetensi yang relevan dan obyektif terhadap kebutuhan skill mereka ketika mereka beraktivitas (bekerja atau berwirausaha). Memang selama ini bagi sebagian kalangan praktisi pendidikan, mereka menjustifikasi bahwa kebutuhan kompetensi tersebut tetap menjadi skala prioritas yang harus terus dikembangkan dalam setiap jenjang kurikulum. Melalui kurikulum berbasis kompetensi (KBK), dan sekarang berubah lagi menjadi kurikulum berbasis pengetahuan terpadu ditambah kurikulum lokal yang terus berganti. Konsep dan desain penerapan kurikulum tersebut dilakukan dengan pendekatan pemikiran dan teori tentang kecerdasan berganda, kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional dengan asumsi bahwa mereka (baca : para pakar dan praktisi pendidikan) menganggap bahwa setiap insan haruslah perlu diakui dan dihargai modalitas belajarnya. Para praktisi pendidikan menerapkan desain konsep pendidikan dalam berbagai strata dengan berupaya mengelaborasi tingkat intelektualitas ide dan gagasan akademiknya dengan pendekatan teoritical education an sich. Kecenderungan teoritical yang intens tersebutlah yang pada akhirnya menimbulkan problematik teoritis dalam dunia pendidikan kita. Implikasinya bisa kita lihat dari terlalu seringnya kurikulum berganti tanpa visi baik content maupun format penerapannya di lapangan. Akibatnya pula bukan cuma para guru yang kesulitan mengintepretasikan dan mengimplementasikan program kurikulum yang dibuat pemerintah, para siswa pun akhirnya “terbelenggu”untuk menerima konsep dan program pendidikan tersebut tanpa reserve. Kasus kontroversi output penerapan standard kelulusan untuk siswa yang baru-baru ini terjadi semakin menjadi salah satu pemicu kuat bagaimana persoalan standard dalam dunia pendidikan juga menjadi salah satu faktor penting mengapa masyarakat mulai beralih untuk lebih jauh melihat standard bukan secara lokal namun sudah jauh ke standard yang lebih bersifat mondial misalnya standard Amerika sampai standard ketaraf Internasional semisal lembaga pendidikan yang menerapkan sistem ISO dalam program pendidikannya. Dan salah satu aspek yang diangkat oleh program pendidikan home schooling ini adalah standard kompetensi internasional tersebut. Maka terjawab sudah bagaimana seharusnya stakeholders (pihak yang terlibat dan berkepentingan dalam dunia pendikan) termasuk dalam konteks ini juga pihak perusahaan dan instansi yang menampung dan mengakomodir kebutuhan tenaga kerja para lulusan untuk concern menyikapi maraknya pendidikan alternatif semisal home schooling ini dalam perspektif yang lebih otonom dan komprehensif, termasuk didalamnya memberikan solusi tentang otoritas standard kelulusan dan formalisasi pendidikan yang di atur secara baku dan menjadi domain pemerintah.

Tinggal persoalannya adalah sejauhmana masyarakat lebih selektif memilih pendidikan home schooling ini, tidak semata-mata karena faktor status sosial karena memang biaya program pendidikan ini tidak sedikit (atau sekedar trend) saja. Melainkan karena memang masyarakat kita sudah memahami bagaimana konstalasi dan dinamika dunia pendidikan di era globalisasi ini yang menuntut segi otentitas dan kultur lingkungan mondial berkaitan dengan skill dan kompetensi. Kredibilitas program pendidikan home schooling ini bukan hanya diukur dari tingkat fleksibilitas dan kesan informalistik dengan nuansa yang lebih persuasif dan menyenangkan saja, dimensi belajar mengajar yang tidak terbelenggu oleh ruang dan waktu dengan model on the job method maupun off the job method, garansi dan konsepsi link & mach dengan dunia usaha dan industri dan sebagainya. Namun tingkat kredibilitas program pendidikan home schooling ini juga di dasarkan atas legitimasi yang diberikan pemerintah. Apakah pemerintah mau lebih bersikap inklusif atau eksklusif dalam menyoal eksistensi program pendidikan home schooling ini yang nota bene bisa saja mengklaim dirinya setingkat dengan strata pendidikan yang sudah baku di Indonesia. Terlepas memang setiap program pendidikan yang diterapkan di Indonesia apapun itu bentuknya tidak menjamin semua aspek kognitif dan sosial peserta didik terakomodir dengan baik. Seperti halnya program pendidikan home schooling ini yang nota bene jelas tidak menspesifikasikan diri pada aspek sosialisme interaksi dan proses transformasi budaya dan sifat komunitas, namun cenderung individualistik.