Selasa, 29 April 2008

UJIAN NASIONAL : AMBISI MELIHAT HASIL-BUKAN PROSES

Syahdan mulai 22 April 2008 untuk kesekian kalinya pemerintah menyelenggarakan Ujian Nasional. Untuk kesekian kalinya pula pemerintah setiap tahun menaikan great standard kelulusan bagi siswa, dan setiap komunitas pendidik dan masyarakat yang concern terhadap pendidikan melakukan evaluasi, cetak biru tentang Ujian Nasional yang menegasikan otonomisasi sekolah itu - sampai hari ini tetap saja belum memberikan implikasi positif tentang kecenderungan kualitatif kompetensi siswa-siswi kita. Mengapa ?

Sejatinya jika ditelaah dalam perspektif dan anasir kognitif, kebijakan pemerintah adalah inheren dengan cita-cita kita semua, yaitu memiliki tingkat kesetaraan secara kualitatif dalam konteks sumber daya manusia dalam episentrum regional bahkan internasional. kita sama-sama marfum bahwa ketertinggalan kita dengan bangsa-bangsa lain adalah karena salah satu faktor mendasarnya yaitu kualitas sumber daya manusia kita yang “lebih rendah” dari negara lain. dan berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia maka adalah logis jika kita berbicara tentang bagaimana kualitas pendidikan kita. jadi dalam perspektif ini, adalah naif apabila sebagai masyarakat yang concern terhadap pendidikan, kita memiliki paradigma sempit tentang justifikasi kualitas pendidikan dengan mengkorelasi nilai akademik formal an sich. padahal pendidikan adalah sebuah proses membentuk karakter dan sikap manusia yang di dalamnya mengandung berbagai medium nilai dan kontekstualisasi makna interaksi dan proses kematangan bersosialisasi, sehingga pendidikan menjamin paradigma yang obyektif tentang berbagai perkembangan dalam kehidupan dimasyarakat.

Ketika pemerintah melakukan hegemoni terhadap mutu pendidikan kita dengan meng-autarki peran sekolah sebagai pihak yang memiliki primary key terhadap kualitas peserta didiknya, maka bisa kita tebak : ujian nasional berlangsung dengan realitas keterpaksaan sekolah, sebab pemerintah sekaligus melakukan interelatif antara nilai kelulusan dengan kualitas mutu sekolah. Akibatnya ketika berlangsung Ujian-beberapa sekolah terpaksa pula banyak melakukan “kecurangan”. dari perspektif ini saja seharusnya pemerintah bisa melihat sekaligus menakar kedalaman makna pendidikan itu sendiri bagi masyarakat dan bagi sekolah sebagai pihak yang menyelenggarakan pendidikan. proposisinya adalah mendorong kualitas dengan nilai formal secara akademik memang diperlukan untuk melihat tingkat comparatif advantage bagi peserta didik, namun sejatinya yang jauh lebih penting yang justru seharusnya mendapat prioritas agar comparatif advantage tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara akademis, pemerintah seharusnya terlebih dulu mendorong dan meningkatkan proses bagi peningkatan kesetaraan mutu pendidikan di Indonesia secara komprehensif (tidak terkecuali pada sekolah-sekolah yang memiliki akses terbatas secara demografis dan geografis). Proses tersebut misalnya meliputi kebijakan-kebijakan pemerintah tentang ketersediaan infrastruktur dan suprastruktur sekolah. jika proses tersebut berjalan secara elementer, maka implikasinya bukan saja pemerintah akan mendapatkan standarisasi tentang mutu pendidikan sehingga mendapatkan comparatif advantage dengan bangsa lain, namun yang lebih penting dari itu adalah pemerintah akan mendapatkan pula competitif advantage bagi output pendidikan kita dengan bangsa lain.
Membangun kualitas pendidikan kita adalah merupakan proses politik sekaligus proses sosial yang menempatkan berbagai kepentingan (baca : pemerintah pusat dan daerah, komunitas praktisi pendidikan, masyarakat dan elemen-elemen lainnya) yang terintegrasi dan terinterdependensi agar tercipta education life cycle yang akan mendorong hasil (output) berdasarkan proses sesuai dengan kebutuhan dan kompetensi peserta didik. dan pemerintah barangkali abai bahwa nilai tidak semata-mata bertalian kelindan dengan kognisi, konasi dan afeksi sumber daya manusia itu sendiri. Dengan kata lain, proposisi yang dilakukan dan menjadi target pemerintah saat ini adalah menempatkan paradigma tekhnokratisme pendidikan diatas nilai-nilai fundamental yaitu humanisme pendidikan itu sendiri, dan hal tersebut jelas mencederai semangat dan pengabdian pendidik selama ini yang menempatkan pendidikan secara kontekstual sebagai suatu proses memanusiakan manusia diatas kemampuan tekhnokratis yang cenderung tekstual.

(Andi Trinanda - Ketua Pokja di Care Education Community)

Tidak ada komentar: