Minggu, 06 April 2008

DILEMA PENGAJARAN : ANALISIS PROBLEM DALAM LINGKUNGAN AKADEMIS

Dunia pengajaran adalah dunia yang kompleks. Tuntutan merubah sekaligus merekonstruksi paradigma kualitas sumber daya manusia memang berangkat dari sejauhmana proses mengkristalisasi segenap perangkat pemikiran melalui proses belajar yang sistematis dan kontinyu-sambil mengurai sejauhmna relevansi bahan ajar yang diberikan dosen mampu dijawantahkan dalam realitas kehidupan sehari-hari. Namun seiring dengan banyak dan beragamnya faktor yang mempengaruhi fenomena dunia pengajaran., ada baiknya kita menelaah proses interaksi antara mahasiswa dan dosen dikelas sebagai salah satu faktor yang barangkali cukup dominan mendorong terstimulasinya perangkat pemikiran mahasiswa. Alih-alih kompetensi, proses pendewasaan berfikir dan kemampuan merekonstruksi wacana dan gagasan akademis tentang persoalan dalam kehidupan sehari-hari memang beraawal dari kondusifitas komunitas di lingkungan tersebut.
Tulisan ini hanya mengangkat sekelumit problem mendasar dan menjadi dilema dalam dunia pengajaran yang implikasinya dapat dirasakan pada output dan kemampuan sumber daya mahasiswa itu sendiri. Saya tidak ingin menjustifikasi faktor dilema pengajaraan timbul hanya karena “hegemoni akademis” semata - seperti yang pernah disampaikan oleh Prof. Dr. Sri Edi Swasono. Beliau menyatakan bahwa hegemoni akademis-menyebabkan terjadinya proses pendangkalan kreativitas berfikir mahasiswa yang berdampak pada tingkat wawasan berfikir mahasiswa tersebut.
Tulisan ini mencoba menangkap dilema pengajaran tersebut dengan melihat lebih dekat situasi pengajaran di kelas yang penulis rasakan. Yang barangkali jika diurai secara spesifik ada beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu karakteristik kelas, karakteristik mahasiswa secara personal, karakteristik dosen dan iklim pengajaran. Satu hal yang paling mendasar dilema pada saat pengajaran adalah munculnya “ketidakpedulian akademis” yang menghinggapi kultur berfikir dalam dunia pendidikan. Sampai hari ini kerap terjadi gejala “kegagapan” mahasiswa dalam mencerna materi kuliah untuk membaca konteks relevan lebih besar dalam kehidupan nyata di luar ruang kelas, serta sikap terfokus melulu pada kepentingan dan tujuannya sendiri. Secara teoritis menurut William Labov (1972) ketidakpedulian akademis (academic ignorance) merujuk pada “keterbatasan belajar dan menalar akibat setting sosial tertentu”. Dalam The Perils of Academic Ignorance (Chronicle of Higher Education, 2005), LJ Davis mengatakan, ketidakpedulian akademis terjadi ketika seseorang “terus-menerus mengabaikan cara berpikir dan minat pada cakupan keseluruhan suatu bidang akibat keterbatasan pengetahuan”. Substansinya adalah mahasiswa kerap terbelenggu oleh situasi rutinitas akademis
Gejala ketidakpedulian akademis krusial dicermati sebab persis kontradiktif dengan wacana-wacana besar pembaruan pendidikan, di mana praktik pengajaran formal salah satu aspeknya. Wacana “pendidikan dan perubahan sosial” atau “pendidikan sebagai humanisasi” sering terpancang lebar pada langit diskusi pembaruan pendidikan, tetapi jauh dari bumi pengejawantahannya sehari-hari.
Sikap Mahasiswa = Kultur Akademik
Proses perkuliahan dikelas terkadang cenderung terhenti pada teori-teori sebagaimana diuraikan buku teks. Upaya menjabarkan teori untuk mencermati fenomena relevan sehari-hari hanya mengundang muka-muka lesu di dalam kelas.konsepsi ini dikenal dengan “text book thinking”. Dilema pengajaran dalam konteks ini muncul karena keterbatasan akses informasi yang menjadi kendala mahasiswa mengaitkan teori dengan sikap kritis atas fenomena keseharian. Faktor lainnya adalah menyangkut faktor tingkat “kemapanan” yang membuat mahasiswa malas berpikir rumit apalagi jika tidak langsung terkait kepentingan mereka. (baca : kebanyakan berlaku pada mahasiswa-mahasiswa yang kuliah di malam hari, sehabis mereka bekerja). Dalam konteks yang lain faktor ini juga ditengarai oleh timbulnya kecenderungan fokus yang melulu pada substansi perkuliahan yang berorientasi pada kelulusan kuliah. Sebab kelulusan kuliah masih menjadi barometer utama dan dipandang sebagai symbolic capital untuk mobilitas sosial secara akademis. Padahal sejatinya. Kompetensi dan pemahaman mahasiswa terhadap suatu bidang masalah sesuai dengan konteks materi kuliah yang diwacanakan berdasarkan konstruktivitas berfikir mahasiswa adalah nilai hakiki dalam perspektif output akademis. Menariknya sampai hari ini pengalaman penulis mengajar di perguruan tinggi, mahasiswa lebih tertarik untuk merespons positif paradigma text book thinking tersebut ketimbang melakukan telaah relevansi terhadap bahan ajar atau materi kuliah. Kondisi demikianlah yang pada akhirnya menjadi kultur akademis yang melembaga di tengah komunitas dunia pendidikan kita. (wallhualam).
Gaya mengajar
Dilema pengajaran-dalam praktik pengajaran di kelas, banyak dosen kesulitan membangun komunikasi interaktif yang memancing kepedulian ilmiah mahasiswa. Motivasi dosen dan syaratnya beban kerja termasuk didalamnya adalah korelasi positif antara reward & punishment ditengarai sebagai penyebab timbulnya dilema tersebut yang berimplikasi kepada rentannya kualitas hasil pengajaran. Disamping karakteristik kompetensi seperti gaya mengajar (teaching style) juga amat menentukan. Dilema pengajaran ini sangat erat kaitannya dengan efektifitas proses pembelajaran itu sendiri. Sebab prinsip efektivitas pembelajaran adalah kesesuaian gaya mengajar dosen dengan gaya belajar mahasiswa Namun demikian sebagai dosen kita juga harus menyadari bahwa tujuan pengajaran di kelas bukan sekadar efektivitasnya. Sebagai praktik pendidikan, pengajaran mengemban misi selain mereproduksi pengetahuan. Pengajaran harus menumbuhkan kepedulian ilmiah. Gaya mengajar dosen diharapkan mengakomodasi misi tersebut. Oleh karenannya dalam konteks ini lembaga atau institusi pendidikan juga harus lebih selektif tentang kualifikasi dosen yang mengajar. Bukan cuma tingkat pendidikan formal saja yang menjadi skala ukuran. Namun pengalaman belajar dan pengalaman mengorganisasikan pemikirannya ( baca : dapat dilihat dalam pengalaman berorganisasi) juga menjadi pertimbangan obyektif dalam merekrut tenaga pengajar. Sebab secara teoritis gaya mengajar dosen amat dipengaruhi oleh pengalaman belajarnya. Evans (2004). Singkatnya, sebenarnya kunci mengatasi problem dalam dilema pengajaran yang berimplikasi kepada tingkat kepedulian akademis mahasiswa harus dimulai dengan pembaruan gaya mengajar dosen. Namun, upaya memperbarui gaya mengajar dosen sulit tercapai jika para dosen yang mengajar dosen-dosen itu bergaya ortodoks dan hanya berorientasi pada efektivitas pembelajaran saja (suasana kelas yang tenang, mahasiswa yang hanya pasif dan menuruti kemauan dosen, tidak ada bargaining akademis antara dosen dan mahasiswa dan sebagainya).

Sekali lagi mudah-mudahan upaya menggagas dilema pengajaran di lingkungan akademis ini akan menggugah paradigma kita untuk melakukan proses revitalisasi dan pembaharuan dalam dunia pengajaran yang menuntut segi-segi otentitas dan kultur yang dinamis sesuai dengan keinginan dan perubahan zaman (tidak stagnan).

Tidak ada komentar: