Minggu, 06 April 2008

SELF PROMOTION DI TEMPAT KERJA IMPLIKASINYA BAGI EKSISTENSI KARYAWAN

Prolog

Self Promotion secara umum dikatakan sebagai suatu usaha mengembangkan personality seseorang agar diketahui seberapa besar nilai eksistensi pribadi dirinya dalam suatu komunitas. Tujuan dari self promotion tiada lain dan tidak bukan adalah pengakuan dari komunitas itu sendiri tentang kontribusi dan produktifitas seseorang itu di organisasi (baca : ditempat kerja). Secara teoritis self promotion adalah merupakan bagian dari suatu hakikat nilai kebutuhan hidup seseorang. Menurut Maslow setiap orang memiliki hirarki (tingkatan) dalam upaya mencapai suatu taraf hidup yang diinginkan. Tingkatan tersebut berjenjang dari pemenuhan kebutuhan pokok, kebutuhan rekreasi (hiburan), kebutuhan mengenai pengakuan dan kebutuhan tentang aktualisasi diri. Hirarki tersebut pada prinsipnya berdiri diatas faktor-faktor nilai kepribadian orang itu sendiri yang diukur dari berbagai segi, misalnya saja dari segi ekonomi, segi sosial budaya, bahkan dapat dilihat dari segi politik. Tinggal persoalannya dimana proposisi mengenai self promotion tersebut seseorang tempatkan. Dengan kata lain tidak ada salahnya apabila dalam lingkup komunitas kerja terkadang orang perlu mempromosikan dirinya sendiri agar paling tidak komunitas lingkungan kerja “mengakui” produktivitas dan kinerja yang pernah dan telah dilakukannya. Proposisi yang dimaksud adalah apakah cara mempublikasikan diri tersebut sesuai dengan kaidah dan budaya komunikasi. Dalam konteks ini budaya komunikasi dapat dilihat dari sejauhmana komunikasi intra dan antar personal dalam lingkup komunikasi formal tersebut dibangun oleh organisasi kepada masing-masing individu, baik secara vertikal maupun horizontal.

Self Promotion dalam Konteks Komunikasi Intra dan Antar Personal

Self promotion dalam konteks komunikasi intra personal dilakukan untuk mendorong timbulnya motivasi dalam diri. Hal ini penting dilakukan mengingat setiap orang pasti memiliki orientasi dalam bekerja sekecil apapun orientasi tersebut. Orientasi tersebut akan memberikan nilai bagi kualitas produktivitas dan kinerja seseorang. Self Promotion dalam konteks komunikasi intra personal inilah yang akan melahirkan semangat keberpihakan dalam diri atau rasa memiliki (sense of belonging) ketika organisasi dimana tempat ia bekerja telah memberikan harapan bagi dirinya dalam bentuk dan dalam konteks apapun. Istilah “right or wrong is my organizer” adalah cermin telah lahirnya embrio kesetiaan kepada organisasi, dan tentu hal tersebut didapatkan ketika setiap individu mau atau sudah secara terbuka melakukan self Promotion dalam dirinya. Self Promotion dalam konteks komunikasi intra personal tersebut juga akan memberikan semacam proses pendewasaan berfikir terhadap suatu gejala fenomena dalam proses interaksi yang dibangun organisasi. Self Promotion dalam konteks komunikasi intra personal inilah yang menyebabkan orang semakin matang dan dewasa dalam lingkup suasana dan iklim kerja karena learning process yang panjang dengan mengambil ikhtiar dari pengalaman yang dirasakannya. Self Promotion dalam konteks komunikasi antar personal juga perlu dilakukan. Hal ini penting untuk memberikan semacam komparasi obyektif tentang kompetensi dan skill yang dimiliki oleh setiap individu. Secara umum dapat disimpulkan bahwa ketika seseorang melalukan self promotion dengan pendekatan komunikasi antar personal, maka sejatinya akan melahirkan konsep “keterbatasan” dalam diri, yakni bahwa kita memang memerlukan parameter terhadap kemampuan pribadi kita, dan kemampuan pribadi tersebut tidak dimonopoli oleh pribadi orang tersebut. Sebab semakin kita mampu melakukan komparasi terhadap perilaku dan kemampuan orang lain, maka kita akan merasakan pula sejauhmana diri pribadi kita memiliki keterbatasan. Dengan demikian self promotion memang perlu dilakukan mengingat pengakuan seseorang dalam eksistensinya di lingkup komunitas kerja, perlu apresiasi oleh orang lain, dan upaya untuk memberikan gambaran mengenai apresisi orang lain terhadap diri kita itu memberikan value apabila secara pribadi kita mampu mensosialisasikan apa yang sudah pernah kita lakukan dan perbuat secara konstruktif dan positif bagi diri kita, terlebih-lebih memberikan kontribusi bagi organisasi dimana kita mengabdi. Namun demikian self promotion dalam konteks komunikasi antar personal ini, perlu dilakukan dengan suatu pendekatan yang obyektif dan kecakapan berkomunikasi yang baik. Pendekatan yang obyektif dimaksudkan bahwa self promotion memang perlu di sosialisasikan untuk diketahui orang lain sesuai dengan apa yang pernah seseorang perbuat sebagai bentuk kontribusinya kepada orang lain. Hal ini penting mengingat tingkat sensitivitas dari implementasi self promotion ini terkadang memberikan kesempatan kepada kita justru untuk mencederai semangat komunalitas dalam lingkup komunitas kerja. Sebagai contoh, terkadang kita mempopulerkan sesuatu pekerjaan kepada orang lain, terlebih-lebih kepada pimpinan, namun sejatinya pekerjaan yang kita informasikan dan sosialisasikan tersebut adalah bukan pekerjaan kita. Atau self promotion dalam konteks ini bisa saja dimanipulasi dan dicederai oleh perilaku buruk kita sebagai imbas terbukanya tingkat persaingan dalam bekerja. Kecenderungan dari destruksi self promotion ini adalah terkadang seseorang bisa menganggap dirinya bisa menyenangkan orang lain terlebih-lebih pimpinan dengan informasi yang kita berikan, dengan harapan kita nantinya jadi ”populer” dimata pimpinan. Namun cara-cara yang dilakukan tidak dilakukan dengan cara-cara yang elegan. Misalnya dengan menjelek-jelekkan orang lain secara personal maupun menakar kontribusi dan kemampuan orang lain, yang sejatinya hal tersebut sekali lagi justru dapat mencederai semangat kebersamaan. Self promotion dalam konteks komunikasi antar personal juga perlu dilakukan dengan tingkat kecakapan berkomunikasi yang baik. Kecakapan berkomunikasi disini bukan dilihat dari pandainya seseorang bertutur secara sistematis, kemampuan orasi dan bersosialisasi yang baik dan sebagainya. Walaupun kesemua hal tersebut penting, namun yang lebih penting dari kecakapan berkomunikasi tersebut adalah etika menyampaikan suatu pandangan atau pendapat pribadi dihadapan komunitas organisasi, baik kepada bawahan, teman satu level atau kepada kepada pimpinan. Etika yang dimaksud adalah komunikasi yang dibangun haruslah melewati budaya (kultur) organisasi dimana seseorang tersebut berada. Sebab Kultur organisasilah yang akan meredefinisi perilaku seseorang terhadap publiknya sendiri. Secara kongkrit misalnya terkadang maksud seseorang baik, yakni untuk mensosialisasikan dan menginformasikan apa yang telah dilakukannya sebagai sebuah pengakuan bagi nilai eksistensinya, namun terkadang pula niat baik tersebut diintepretasikan tidak secara proporsional, yakni bisa saja seseorang justru malah disebut sebagai arogan (baca : sombong). Oleh karena itu maka untuk mempromosikan diri seseorang harus memahami betul bagaimana pola dan budaya komunikasi dalam organisasi.

Budaya Organisasi Implikasinya terhadap Kecenderungan Munculnya Self Promotion

Berbicara tentang budaya organisasi, maka ada satu hal yang barangkali perlu menjadi suatu gambaran, agar setidaknya kita sebagai individu dalam lingkup anggota komunitas organisasi tidak menjustifikasi budaya yang dikembangkan dan menjadi laten dalam suatu organisasi itu baik atau buruk. Sebab yang namanya budaya organisasi inheren dengan latar belakang pengelolaan organisasi itu sendiri. Ada banyak faktor yang mempengaruhi suatu budaya menjadi bagian dari perilaku organisasi, salah satunya pertama, bagaimana pengelolaan organisasi dilihat dari aspek manajerial, kedua, bagaimana pola komunikasi yang dibangun oleh organisasi, ketiga¸sejauhmana partisipasi yang disediakan oleh organisasi.

Untuk menjawab faktor yang pertama, yakni yang menyangkut pengelolaan organisasi yang dilihat dari aspek manajerial, maka yang harus dicermati adalah sejauhmana organisasi memberikan deskripsi tentang mekanisme dan sistem pengelolaannya yang jika kita intepretasikan lebih detil hal tersebut dapat dilihat dari soal aturan main (rule of the game), soal job discription, dan soal-soal yang berhubungan dengan decisiĆ³n making. Dalam konteks yang demikian itu, jika proses manajerial dilakukan secara obyektif dalam artian terbuka ruang bagi semua pihak untuk mengimplementasikan peran dan posisinya dalam suatu organisasi, maka self promotion-tanpa dilakukan-pun sebenarnya publik organisasi sudah merasakan produktifitas dan kontribusi masing-masing individu. Sebab tiap individu sudah terpetakan dalam pola pembagian posisi dan tugas serta masuk kedalam suatu rangkaian rentang kendali secara manajerial. Jadi apabila organisasi sudah mampu menciptakan budaya “mengedepankan aturan main”, maka sejatinya self promotion sama sekali tidak dibutuhkan. Karena sekali lagi eksistensi seseorang dalam budaya organisasi seperti itu sudah diakui dan secara implisit hal tersebut memang sudah tertuang menjadi salah satu reward organisasi kepada individu (karyawan). Lain soal apabila baik secara infrastruktur maupun suprastruktur organisasi telah memiliki piranti atau elemen manajemen tersebut, namun secara aplikatif tidak diimplementasikan kepada individu karena beberapa sebab, misalnya faktor personality pemimpin, faktor konflik kepentingan dan lain-lain, maka self promotion menjadi suatu pilihan agar organisasi terutama pimpinan mau tidak mau melihat dan menjadi tahu bahwa setiap individu memiliki andil dalam memberikan kontribusinya buat organisasi.

Faktor yang kedua adalah budaya komunikasi. Budaya komunikasi dalam konteks komunikasi organisasi harus lihat dari berbagai sisi. Sisi pertama adalah komunikasi antara atasan kepada bawahan. Sisi kedua antara karyawan yang satu dengan karyawan yang lain. Sisi ketiga adalah antara karyawan kepada atasan. Masing-masing komunikasi tersebut mempunyai polanya masing-masing. Hal inilah yang dinamakan bahwa dalam komunikasi organisasi itu akan lahir yang namanya hubungan industrial dan hubungan subordinatif. Hubungan industrial adalah hubungan yang meletakkan individu atau karyawan sebagai assetnya organisasi, karena ia asset maka ia harus dipelihara dan dikembangkan. Oleh karenanya maka prestasi dan produktifitas kinerja karyawan menjadi salah satu ukuran penting bagi eksistensi individu atau karyawan tersebut dalam suatu organisasi. Hubungan subordinatif adalah hubungan pemberian perintah antara atasan kepada bawahan. Hubungan ini harus disadari menggingat individu atau karyawan bukan cuma dilihat dalam konteks pembagian tugasnya saja. Namun juga dilihat dari rentang posisi yang diberikan organisasi kepada individu atau karyawan. Oleh karenanya maka kesetiaan dan kepatuhan karyawan menjadi salah satu ukuran penting dalam melihat eksistensi individu atau karyawan. Self promotion dalam budaya komunikasi organisasi ini harus dikembangkan dan dipelihara secara obyektif. Apabila organisasi-termasuk pimpinan menciptakan budaya komunikasi yang proporsional, partisipatif dan bertendensi pada upaya penciptaan hubungan yang harmonis, maka sebenarnya karyawan tidak perlu melakukan self promotion. Self promotion menjadi pentig dilakukan apabila ada salah satu dari budaya komunikasi yang dilakukan organisasi, tidak dilakukan secara fair, adil dan obyektif, akibatnya individu atau karyawan dirasa perlu melakukan suatu komunikasi yang bertujuan untuk memberikan pengakuan bahwa tiap individu atau karyawan punya andil dalam membesarkan organisasi. Tanpa kontribusi individu atau karyawan, maka peran manajer tidak akan ada apa-apanya. Tanpa peran manajer, maka seorang Direktur atau pimpinan tidak ada apa-apanya.

Faktor yang ketiga adalah partisipasi. Partisipasi adalah suatu kesempatan yang diberikan oleh organisasi kepada individu atau karyawan untuk mengembangkan kemampuan atau kompetensinya kepada organisasi. Secara kongkrit organisasi akan memberikan keleluasaan kepada individu atau karyawan untuk melakukan inisiatif, kreatifitas dan kemampuan mengambil keputusan sebagai suatu learning proses kaderisasinya menjadi pemimpin, atau paling tidak mengaplikasikan proses aktualisasi dirinya dalam organisasi. Jika organisasi melakukan hal yang demikian itu, maka sebenarnya self promotion dengan sendirinya akan dilakukan oleh individu atau karyawan, karena karyawan akan menyadari bahwa proses observasi dan penilaian organisasi terhadap dirinya sangat ditentukan oleh parameter kreatifitas, pengejewantahan ide dan gagasan dan kemampuan kognitifnya dalam mengemban proses kegiatan organisasi. Jika organisasi tidak menciptakan pola partisipasi, maka salah satu implikasi yang akan muncul kemudian adalah timbulnya konflik antar kepentingan, masing-masing individu akan berupaya “populer” dimata pimpinan namun kesemuanya tidak dalam suatu kerangka iklim yang kondusif dan tidak dibarengi oleh produktifitas dan kinerja individu atau karyawan secara obyektif.


Epilog

Berdasarkan deskripsi tersebut diatas, maka jelas bahwa sebenarnya self promotion adalah bagian yang tidak terpisahkan dari yang namanya kebutuhan hidup manusia secara umum. Pengakuan orang lain terhadap apa yang seseorang lakukan di tengah komunitas organisasi penting untuk membangun semangat komunalitas dan peningkatan kualitas sumber daya individu itu sendiri secara kualitatif. Tinggal persoalannya adalah apakah kemauan individu atau karyawan dalam melakukan self promotion terhadap organisasi dibarengi dengan semangat organisasi terutama pimpinan organisasi dalam menciptakan iklim atau kondisi yang kondusif bagi individu atau karyawan. Tiga faktor diatas adalah salah satu dari indikator keberhasilan organisasi dalam memanfaatkan momentum semangat individu dalam melakukan self promotion untuk kepentingan organisasi dalam jangka panjang. Khususnya dalam hal yang menyangkut kaderisasi kepemimpinan dan menciptakan TOL (totalitas, orientasi dan loyalitas) karyawan.

Tidak ada komentar: