Minggu, 06 April 2008

PENTINGNYA TOL (TOTALITAS-ORIENTASI DAN LOYALITAS) DALAM BEKERJA

“Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit, tapi jangan jadi pemimpi yang lupa bangun dari tidurnya”. (Soekarno).

Pernyataan Bung karno tersebut hanyalah salah satu dari sekian banyak butiran semangat yang pernah disampaikan kepada bangsa ini yang telah sekian lama dijajah oleh bangsa asing. Pernyataan tersebut bukan hanya mengandung makna spirit, tapi juga makna kultural, yaitu kita diajak untuk terus melihat kedepan, melangkah kemasa depan, karena kitalah yang sebenarnya menentukan mau kemana kita depan. Namun melihat jauh kedepan juga bukan berarti kita berjalan terlalu tegak atau terlalu tunduk. Berjalan terlalu tegak hanyalah akan menghasilkan kesombongan (arogan), terlalu percaya diri (over confidence), merendahkan orang lain sehingga mengabaikan komunitas sebagai penopang jati diri. Berjalan terlalu tunduk juga hanya akan menghasilkan pesimisme dan ketidakberdayaan, terombang-ambing, rendah diri dan tidak percaya akan kemampuan diri sendiri. itulah sebenarnya esensi makna kata-kata yang diungkapan Bung Karno. Tidak banyak pemimpin yang mampu menggugah semangat dan kesadaran rakyatnya sampai ke titik nadir, sehingga rakyat walaupun miskin, tidak punya apa-apa namun tetap memiliki keniscayaan hidup dan masa depan. Dengan kata lain kita diajak untuk berpikir optimis namun realistis.

Merekam pernyataan Bung Karno tersebut kedalam aktivitas keseharian kita bekerja, bisa saja menjadi cermin bahwa aktivitas apapun tanpa dilandasi oleh semangat keniscayaan akan suatu harapan yang lebih baik maka ia akan terkungkung pada suatu budaya feodal yakni menerima apa adanya, mengikuti arus tanpa mampu menilai seberapa besar riak dan gelombang dan tidak memiliki semangat kompetitif dalam hidup. Oleh karenanya menggali keniscayaan akan suatu harapan dalam bekerja, maka seseorang paling tidak harus memiliki Totalitas, Orientasi dan Loyalitas (TOL). Tiga hal itulah yang menjadi pilar utama membangun keniscayaan harapan dalam bekerja sekaligus membangun semangat keberpihakan dan hubungan konstruktif dengan organisasi/ lembaga ditempat kita bekerja.

Totalitas identik dengan sungguh-sungguh, tidak main-main, tidak setengah-setengah, rela berkorban, berani mengambil resiko terhadap kontribusi yang diberikan dan hal-hal lain yang identik dengan itu. Seseorang yang berfikir total, menunjukkan kecenderungan bahwa orang tersebut telah melegitimasikan dirinya terhadap proses pemberdayaan diri secara eksistensial. Secara kongkrit barangkali dapat dikemukakan bahwa ketika orang tersebut sudah berada dalam suatu komunitas atau lingkungan tempat dimana ia bekerja, maka fokus utama dalam mencari keniscayaan hidup dalam bekerja adalah dengan menempatkan organisasi atau tempat dimana kita bekerja sebagai suatu tempat utama diatas segala-galanya setelah keluarga secara proporsional.

Orientasi identik dengan harapan diri dalam bekerja. Orang yang semangat dalam melakukan pekerjaan berarti ia telah memiliki orientasi dalam dirinya. Sekecil apapun harapan tersebut haruslah seseorang itu memiliki orientasi. Orientasi diri akan melahirkan suatu proses kematangan berfikir, meningkatkan pengetahuan dan kecakapan dan yang paling utama adalah mengembangkan proses pendewasaan bersikap dalam suatu budaya yang diciptakan oleh organisasi. Sebab tanpa orientasi seseorang hanya akan ditempatkan pada kelompok penggembira dan marjinal, yang mungkin tidak akan dilihat oleh organisasi sebagai suatu upaya untuk menunjukkan eksistensinya kepada organisasi. Orientasi diri bisa dilihat dari dua aspek. Pertama dilihat dari aspek eksplisit. Orientasi diri jika dilihat secara eksplisit dapat direfleksikan sebagai suatu keinginan personal dalam lingkup pengakuan statusnya secara struktural dalam suatu organisasi. Pengakuan status secara struktural ini menggambarkan bahwa seseorang memiliki harapan diri ketika memang dalam konteks berorganisasi atau bekerja, orang tersebut terpola pada suatu tatanan yang memiliki nilai secara klasifikatif. Artinya seseorang akan memiliki penghargaan terhadap dirinya ketika kemampuannya bekerja dikompensasikan pada nilai statusnya pada tatanan struktur organisasi atau ada jenjang karir yang jelas dan terbuka. Dengan demikian maka jelas orientasi diri dalam konteks ini akan melahirkan semangat kompetitif dalam bekerja. Orientasi diri dilihat secara implisit maksudnya adalah setiap orang yang bekerja dalam suatu organisasi, pasti memiliki harapan bahwa akan selalu ada proses peningkatan kemampuan diri, baik yang berhubungan dengan aspek skill maupun yang berhubungan dengan masalah-masalah atitude. Jika seseorang bekerja selama bertahun-tahun, namun secara kualitatif tidak ada yang tampak berubah dari kemampun dan sikap orang tersebut, maka sejatinya orang tersebut tidak memiliki atau belum memiliki orientasi dalam dirinya. Seorang dosen misalnya, walaupun ia sudah berpengalaman mengajar selama puluhan tahun, namun mata kuliah yang diajarkannya hanya mata kuliah itu-itu saja, maka sebenarnya dosen tersebut berpengalaman tidak lebih dari hanya satu semester saja. Begitu pula instruktur, walaupun ia telah bekerja selama beberapa tahun, namun kemampuan menguasai materi hanya ada pada salah satu bidang pemprograman atau hanya satu aplikasi saja, tanpa pernah mau mengembangkan pengetahuannya di bidang (program atau aplikasi) lain, maka sebenarnya sama saja dengan ia punya pengalaman bukan beberapa tahun tapi satu atau dua semester saja. Jadi dengan demikian yang namanya orientasi diri itu harus ada dalam setiap diri seorang karyawan, sebab dengan orientasi diri keniscayaan terhadap pengakuan eksistensi seseorang dalam suatu lingkup organisasi akan terlihat.

Berikutnya adalah loyalitas. Loyalitas dipahami sebagai bentuk kesetiaan dan keberpihakan seseorang ditempat ia beraktivitas. Kesetiaan mengandung pengertian bahwa seseorang telah merasakan bahwa disamping kita telah memberikan kontribusi, organisasi juga telah memberikan kompensasi. Hubungan kausalitatif inilah yang memberikan reward bagi kedua belah pihak. Reward dari organisasi kepada karyawan berupa legitimasi dari berbagai aspek-termasuk kompensasi, reward dari karyawan kepada organisasi adalah berupa loyalitas. Seseorang yang telah memiliki kesetiaan biasanya terefleksikan kedalam aktivitas sehari-hari dalam pekerjaan. Misalnya ia cenderung lebih aktif, lebih reaktif, dan memiliki filterisasi organisasi yang tinggi. Kecenderungan lebih aktif dapat dipahami biasanya orang tersebut memiliki daya inisiatif dan kreatifitas yang tinggi. Seseorang yang sudah loyal kepada organisasi, maka ia akan bekerja tanpa terlebih dahulu ada instruksi, ia lebih berinisiatif melakukan berbagai hal demi kepentingan organisasi. Seseorang yang memiliki kesetiaan juga biasanya lebih reaktif, banyak melakukan kritik, saran dan hal-hal lainnya yang bersifat menakar kedalaman substansi dari suatu program atau kebijakan organisasi. Jadi sebetulnya seseorang yang banyak melakukan kritik dan saran kepada organisasi, jangan dipahami sebagai orang yang tidak peduli dengan organisasi. Justru apa yang dilakukannya adalah sebagai bentuk kecintaannya (sense of belongingnya) terhadap organisasi tempat dimana ia bekerja. Lain soal memang jika kritik, masukan dan berbagai kontribusi yang lain dilakukan secara destruktif. Hal itu bukanlah menunjukkan keadaan dimana orang tersebut memiliki loyalitas terhadap organisasi di tempat ia bekerja, justru orang tersebut adalah merupakan kangker bagi organisasi. Organisasi harus tegas ketika menghadapi orang-orang seperti ini, jika perlu diamputasi (baca : dikeluarkan).

Tiga pilar utama dalam bekerja yang telah disebutkan diatas sekali lagi adalah merupakan deskripsi logis bagi suatu organisasi apabila ingin menakar kedalaman substansi kontribusi seseorang. Tanpa kita harus mengukur kontribusi seseorang, sebetulnya kita bisa melihat, apakah orang tersebut memiliki keniscayaan bekerja atau tidak. Keniscayaan bekerja adalah suatu kondisi dimana ketika seseorang bekerja, ia memiliki cara, metode, dan kesempatan untuk mengembangkan eksistensi dirinya demi suatu tujuan yang hendak dicapai. Tujuan tersebut apakah tujuan yang bersifat pribadi atau tujuan organisasi. Upaya mengembangkan eksistensi tersebut sekali dilakukan dengan mengedepankan proses pemahaman totalitas, orientasi dan loyalitas. Tiga pilar tadi sekali lagi menunjukkan bahwa tidak ada yang bisa menafikan bahwa setiap orang dalam suatu komunitas, terlebih-lebih komunitas kerja, ia akan bersinggungan dengan parameter berorganisasi (dalam konteks ini bekerja). Nilai-nilai tersebut meliputi, obsesi, harapan dan keberpihakannya terhadap organisasi. Oleh karenannya memahami “TOL” dalam konteks ini merupakan salah satu upaya melakukan proposisi obyektif bahwa sesuatu yang dilakukan oleh seseorang ditempat kerja, ketika ia bersinggungan dengan persoalan eksistensi dirinya, maka adalah wajar dan sah-sah saja bahkan harus seseorang itu memiliki semangat “TOL” tadi. Jika hal tersebut dilegitimasi organisasi secara terbuka dengan semangat egalitarianisme, maka konsepsi “jangan tanya apa yang organisasi berikan, tapi apa yang bisa kita berikan buat organisasi” akan menjadi kenyataan dikemudian hari.

Tidak ada komentar: