Selasa, 15 April 2008

REALITAS OPINI PUBLIK TENTANG WAKIL RAKYAT KITA

Masih ingat tentang kasus anggota DPR Yahya Zaini yang menghebohkan dengan perbuatan amoralnya dengan Maria Eva ?- tentu juga masih hangat di mata publik kasus yang baru-baru ini terjadi yaitu terbongkarnya dugaan kasus suap dan “perempuan misterius” Al Amin Nasution yang diciduk KPK. Belum lagi kasus aliran dana BI yang belum tuntas ke kantong anggota DPR, kasus bagi-bagi duit dana non budgeter oleh mantan menteri kelautan dan perikanan Rokhim Dahuri ke kantong-kantong pejabat termasuk angggota DPR, kasus tertangkapnya anggota DPR oleh Polisi di salah satu diskotik di Jakarta Barat yang lagi kedapatan mabuk dan pakai narkoba ( yang kini kasusnya menguap entah kemana) dan tentu masih banyak lagi realitas yang terjadi yang menyangkut perilaku anggota DPR kita.

Proposisi dan respectasi saya saat ini tentang eksistensi dan aktualisasi anggota perwakilan rakyat kita memang sangat degradatif. Persoalan orang lain menilai apakah saya sebagai publik – sebagai rakyat tidaklah obyektif, mengeneralisasi keadaan atau masalah – bagi saya hal tersebut sudah nggak penting. Walaupun saya masih percaya ada orang bener di DPR tapi keprihatinan kita semua saat ini adalah opini publik yang terbangun tentang realitas sepak terjang anggota parlemen kita yang bukan cuma doyan mengaksentuasi retorika (namun dangkal menangkap dan menganalisis kondisi dilematika publik dan masalah-masalah publik - yang justru kental malah kepentingan parpol dan strategi pencapaian kekuasaan jangka pendek semata), Ternyata anggota DPR juga banyak maunya, banyak nuntut hak-haknya (masih ingat tentang kasus minta mesin cuci dan laptop), padahal semua fasilitas yang diberikan sebelumnya sudah relatif lengkap. Nuntutnya banyak tapi sangat kedodoran dalam kinerjanya. Banyak maunya juga ternyata banyak ulahnya, ditambah doyan perempuan, doyan duit nggak halal sampe doyan narkoba juga. well .... inilah realitas subyektif anggota DPR kita. Saya memang mengutip pernyataan dari salah satu anggota DPR itu sendiri (Permadi) yang menyatakan bahwa masalah Yahya Zaini, Al Amin Nasution hanya sekedar “apes”nya beliau. Padahal praktek-praktek keduanya banyak sekali dilakukan oleh anggota DPR yang lain, bahkan yang lebih parah lagi, untuk masalah perempuan, tidak tanggung-tanggung hal itu dilakukan bukan cuma pada saat waktu senggang di luar gedung DPR, tapi juga di lakukan di gedung DPR. Permadi bilang Office Boy dan Cleaning Service sudah sangat terbiasa dengan kondisi demikian. Sudahlah...bagi kita sebagai rakyat, memang persoalan demoralisasi bisa terjadi di mana saja, bahkan Departemen Agama dan Departemen Hukum & HAM yang seharusnya menjadi cermin dan contoh moral bagi eksistensi sebuah lembaga negara, menurut BPK adalah justru salah satu Departemen dengan tingkat korupsi paling tinggi di Indonesia.
Menyangkut masalah perilaku anggota DPR kita yang katanya lembaga terhormat itu, sudah seharusnya kita sebagai rakyat jangan lagi memberikan cek kosong kepada mereka. termasuk semua pihak dalam konteks ini Parpol yang merepresentasi konstituen melalui anggotanya di parlemen, juga harus bertanggung jawab-bagaimana uji kelayakan dan kepatutatanya sebagai wakil rakyat, bagaimana otentitas perjalanan hidupnya sebelum sampai gedung DPR dan seterusnya. Bagaimana pula dengan Badan kehormatan yang dimiliki DPR ? siapa yang mengontrol kinerjanya.... ? Rakyat memang terlalu naif ketika melihat banyak pejabat di "fit & propert test" (uji kelayakan dan kepatutan) oleh DPR. Seolah-olah DPR sangat "megaloman" dengan fragmentasi yang menghadirkan suatu peta dikotomis tentang budaya chouvinisme intelektual di tengah iklim negara yang demokratis (namun sebenarnya sempit paradigma humanisnya). Substansinya memang sangat-sangat konstruktif namun absurd pada tataran implementasi pemahaman subyektif anggota DPR itu sendiri (kita bisa menyaksikan bagaimana cara anggota DPR bertanya, berargumen, membangun analisis, mengkonstruksi dan mengelola persepsi, paradigma dan tingkah laku- sehingga seolah-olah ia adalah orang yang paling tahu, paling otentik dan paling cakap). Rakyat jadi tertawa menyaksikannya - dan bagi saya pribadi mudah-mudahan budaya chouvinisme intelektual tergerus oleh obyektifitas dan kredibilisasi eksistensi-walaupun itu memerlukan proses. bukankah para pakar dan banyak pengamat juga sudah memberikan pernyataan dan pemahaman kepada kita, bahwa sejatinya memang di DPR itu ada 3 kategori atau golongan. Pertama, golongan idealis, yakni kelompok manusia yang memang memegang teguh prinsip-prinsip kelembagaan dan fungsi keterwakilannya di mata publik dengan kompetensi dan kapasitas intelektual yang memadai. Kedua, adalah golongan opportunis, kelompok yang memang memiliki kepentingan, termasuk kepentingan ekonomi, kepentingan politik bahkan kepentingan kasus-kasus yang beimplikasi hukum kepadanya (masu menjadi anggota DPR adalah salah satu jalan elementer yang paling mudah yang akan menyelamatkan dirinya dari masalah-masalah dengan publik-termasuk masalah hukum). kelompok ini adalah kelompok yang memang memanfaatkan peluangnya sebagai wakil rakyat untuk menggali lebih banyak lagi keuntungan pribadi dan golongannya dan sejatinya golongan ini adalah golongan yang jauh dari memikirkan rakyat. Ketiga, adalah kelompok "koboy" yang oleh Gus Dur disebut sebagai play group, kelompok yang lagi seneng-senengnya vokal dan melatih diri untuk menjadi eksis di mata publik, namun kebanyakan atau cenderung dilakukan dengan menabrak rambu-rambu etika dan aturan main ditambah sangat sensitif jika dikritik atau disinggung mengenai kinerjanya. kelompok ini adalah kelompok yang baru melek politik, namun seolah-olah pengalamannya sudah mendunia soal politik.
Nah .. berbagai kasus yang terjadi yang sama-sama kita saksikan saat ini adalah mungkin menjadi marfum bagi kita tentang siapa golongan yang ada di DPR itu. walaupun pada ghalibnya tindakan mereka tidak akan pernah menjadi marfum bagi kita sebagai rakyat. Mudah-mudahan seiring dengan sejarah yang bergulir dan proses pendewasaan kehidupan berbangsa dan bernegara kita, pihak-pihak dengan golongan yang kedua dan ketiga yang disebutkan diatas akan dengan sendirinya ter-autarki dari konteks komunalisme dan demokratisasi di Indonesia.Wallahualam bi sawab

Tidak ada komentar: