Minggu, 06 April 2008

MEMAHAMI KOMPEKSITAS MANAJEMEN PENDIDIKAN DI PERGURUAN TINGGI

Perguruan tinggi adalah institusi yang membidani kelahiran sumber daya intelektual yang diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kegiatan memproduksi, mengkonstruksi dan merevitalisasi paradigma sumber daya manusia itu, agar mereka memiliki perspektif kognisi, afeksi dan konasi yang baik di mata masyarakat sebagai bekal kehidupannya-tentu saja tidaklah mudah. Perguruan tinggi tidak saja harus dituntut segi-segi otentitasnya secara yuridis dan eksistensial agar legitimasinya di akui oleh pemerintah dan masyarakat sebagai sebuah institusi yang capable mengelola dan menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu. Namun pergurun tinggi juga harus mampu mengkonstruktivitaskan institusinya secara moral dan manajerial agar ia dapat survive dan mampu menyediakan semua proses intelektualisasi produk yang dihasilkannya kepada masyarakat secara sistematis, kontinue dan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat tentang harapan dan cita-citanya mendapatkan manfaat belajar di perguruan tinggi.


Peran tersebut diataslah yang pada akhirnya mendudukan perguruan tinggi sebagai menara gading. Suatu cita-cita yang senantiasa terus dikejar oleh masyarakat untuk menapaki eksistensi kehidupannya dalam komunitas kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegera. Dengan kata lain, perguruan tinggi sampai hari ini merupakan jalan elementer bagi masyarakat dalam upayanya menjadikannya kaum elit – kelompok masyarakat yang memberikan pengaruh, dan daya dorong kuat sekaligus juga sebagai pemimpin ditengah suatu komunitas masyarakat. Apapun komunitasnya–apakah komunitas politik, ekonomi, sosial, budaya, profesi dan sebagainya.

Lulusan perguruan tinggi diharapkan mampu menjalankan fungsinya sebagai agen pembaruan dalam masyarakat (agent of social change). Yakni Pemahaman dan pemikiran masyarakat yang terbuka dan cerdas dalam bidang apapun (politik, hukum, pendidikan, kesehatan, keagamaan) dan berbagai dimensi lain. Lulusan peguruan tinggi juga diharapkan membawa pencerahan dan memberikan pengaruh bagi peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat..

Harapan masyarakat yang begitu menggebu terhadap lulusan perguruan tinggi cukup beralasan. Karena kalau bukan lulusan perguruan tinggi siapa lagi yang memberikan pencerahan, pembaruan, dan peningkatan taraf hidup mereka. Namun keinginan masyarakat agar lulusan perguruan tinggi berkualitas dan mampu melakukan yang terbaik baginya, tenyata akahir-akhir ini tinggal harapan. Kenapa? Selama ini kualitas lulusan perguruan tinggi pada skala nasional maupun daerah cukup mengkhawatirkan. Jumlah lulusan yang memiliki kualitas yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademik kepada masyarakat cukup kecil. Inilah salah satu persoalan mendasar dalam praktek pengelolaan pendidikan di perguruan tinggi. Pada akhirnya tidak salah apabila masyarakat sering memiliki pandangan miring kepada lulusan perguruan tinggi. Masyarakat menemukan sebagian besar lulusan perguruan tinggi tidak mampu menjalankan misinya sebagai orang yang terdidik, memiliki ilmu pengetahuan dan memiliki nilai (values), yang menjadi identitas sebagai kaum terdidik. Rendahnya values baik berupa nilai agama dan etika, juga telah memperparah keberadaan lulusan perguruan tinggi di mata masyarakat.

Berbagai pandangan miring yang dialamatkan kepada lulusan perguruan tinggi tersebut, memang tidaklah perlu dinegasikan secara defensif oleh institusi perguruan tinggi. Sebab hal tersebut adalah realitas yang harus disikapi dengan arif oleh para pemimpin perguruan tinggi. Stakeholders Harus berfikir mengapa realitas ini terjadi. Oleh karena itu maka institusi perguruan tinggi perlu mencari berbagai faktor determinan yang menentukan mengapa lulusan perguruan tinggi sebagian besar sangat rendah kualitasnya. Bukankah, seseorang dikatakan lulusan perguruan tinggi apabila ia telah memenuhi standar akademik yang baik. Mengapa lulusan perguruan tinggi belum mencerminkan suatu standar akademik, padahal mereka sudah mengikuti proses belajar di perguruan tinggi. Mengapa mereka belum mampu menjalankan misinya sebagai agen pembaruan masyarakat?

Banyak faktor penyebab. Ada yang berpandangan inputnya tidak baik, dananya terbatas, dan bahkan ada pula yang berpendapat regulasi pemerintah tidak memihak kepada peningkatan mutu akademik lulusan perguruan tinggi. Faktor-faktor itu memang mempengaruhi output perguruan tinggi dalam memproduksi sumber daya manusianya, Namun, dari kesemua faktor yang ada, kecenderungan faktor determinan yang menunjukkan rendahnya kualitas lulusan perguruan tinggi kebanyakan justru terletak pada manajemen perguruan tinggi itu sendiri. Yaitu kemampuan mengelola perguruan tinggi secara integral dan menyeluruh dengan mengoptimalkan alokasi dan pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki perguruan tinggi.

Sebab fasilitas yang memadai tidaklah menjamin jika kemampuan menata dan mengoptimalkan sumberdaya termasuk sumberdaya manusia yang dimiliki, tidak menguasai keahlian tertentu yang menjadi kompetensinya dalam aktivitas kegiatan belajar dan mengajar (skill).
Dalam konteks yang demikian itulah maka manajemen perguruan tinggi tentu menjadi landasan dasar bagi penataan dan perbaikan yang ditujukan untuk menghasilkan lulusan perguruan tinggi berkualitas dengan kualifikasi akademik yang dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat. Ted Wall, guru besar manajemen pendidikan dari Mc Gill University, menyebutkan, manajemen perguruan tinggi harus dimulai dari adanya kesadaran (awareness) seluruh civitas akademika, terutama bagi pimpinan perguruan tinggi. Artinya, setiap kebijakan diambil semata-mata untuk meningkatkan mutu akademik.

Kesadaran pimpinan perguruan tinggi tersebut harus berangkat dari filosofis bahwa mengelola perguruan tinggi tidak saja berorientasi pada economic capital (profit oriented) saja, melainkan juga haruslah berorientasi pada sosio capital – yakni target pengelolaan yang berorientasi pada segi-segi konstruktivitas dan charactarer building manusia, atau dengan kata lain stakeholders haruslah memprioritaskan human capital sebagai sasaran output bagi eksistensi perguruan tinggi yang dikelolaanya. .

Problematika yang dihadapi dalam mengelola perguruan tinggi, yang dikemukakan diatas-yang merupakan salah satu penyebab atau faktor utama yang mempengaruhi kualitas lulusan perguruan tinggi, dapat saja dieleminir jika semua elemen baik stakeholders maupun seluruh civitas akademika memiliki komitmen, konsensus, dan completion berupa situasi yang mendukung untuk melakukan perubahan. Komitment akan melahirkan suatu kesadaran manajerial bahwa mengelola perguruan tinggi cenderung didasari oleh suatu konsep yakni pertama, activition, kedua verifikasi-investigasi dan ketiga, suksesi. Konsep manajerial ini penting untuk dikembangkan menjadi suatu komitment yuridis formal oleh institusi pendidikan tinggi agar ia memiliki standard baku dalam setiap proses langkah mengelola sebuah organisasi yang term-nya adalah produk intelektual.

Activation adalah komitment stakeholders dalam melakukan identifikasi, perencanaan dan konsep konstruksi komunikasi yang dibangun lembaga kepada seluruh civitas akademika. Identifikasi dalam konteks tersebut adalah semua embrio tentang trend kebutuhan masyarakat tentang konsep-konsep keilmuan yang secara akademis harus direspons kedalam suatu kurikulum yang up to date, identifikasi juga merujuk kepada sumber daya pengelola (misalnya dalam hal ini adalah standard dosen dan standard tenaga penyelia lainnya). Hasil identifikasi tersebut kemudian di rumuskan dalam suatu rencana kebijakan strategis perguruan tinggi untuk dapat menghasilkan suatu konsep pengelolaan civitas akademika (dosen, mahasiswa dan tenaga penyelia lainnya) secara konstruktif sesuai dengan kaidah normatif dan yuridis yang telah dibakukan kedalam konsepsi nilai dan statuta pengelolaan perguruan tinggi. Dosen memiliki kualifikasinya, mahasiswa memiliki formulasi efektif kegiatan belajar-mengajarnya, dan tenaga penyelia lainnya memilki harapan tentang carrer path-nya. Tahap terakhir dalam activation adalah bagaimana stakeholders membangun konstruktivitas komunikasi yang mutual-intens, mutual-empiris, mutual empatic, dan mutual-economic kepada segenap karyawan dan civitas akademikanya. Mutual-intens adalah konsep komunikasi yang dikembangkan secara terus menerus didasarkan pada kegiatan teknis-operasional kegiatan kelembagaan. Momentum membangun komunikasi melalui pertemuan rutin dan bersifat persuasif diharapkan akan melahirkan iklim yang kondusif antara stakeholders dengan civitas akademika. Mutual-empiris adalah konsep komunikasi yang dikembangkan oleh stakeholders kepada civitas akademika dengan mengedepankan konsep proses secara kausalitatif. Simbol-simbol keberhasilan, semangat dan motivasi serta kesuksesan yang pernah diraih merupakan jalan praktis bagi civitas akademika agar mereka memiliki orientasi dan memiliki sense of belonging terhadap lembaga. Mutual-empatic adalah konsep komunikasi yang mengedepankan aspek kepedulian lembaga terhadap civitas akademikanya. Konsep yang dikembangkan dengan pendekatan AIDA (Atensi, Interest, Desire dan Action) tersebut diharapkan dapat memberikan persepsi dari civitas akademika kepada lembaga tentang keberpihakan stakeholders pada kesejahteraan dan kepeduliannya kepada civitas akademika. Mutual –economic adalah konsep yang dikembangkan oleh lembaga dengan mendeskripsikan bahwa setiap aktivitas apapun, apabila ia melewati kultur dan iklim persaingan untuk mencapai suatu kehidupan yang baik, maka paradigma ekonomis agar lembaga ini tetap eksis perlu mendapat respons positif dari seluruh civitas akademika. Mutual-economis, bukam berarti hanya mengedepankan materi sebagai target oriented. Akan tetapi lebih kepada konsep bagaimana lembaga ini dapat mengatur dan mengelola potensi sumber daya yang dimilikinya untuk mencapai kehidupan dan eksistensi yang lebih baik.

Konsep kedua adalah verifikasi – investigasi, yaitu tahap manajerial dimana perguruan tinggi melakukan proses perencanaan yang matang, realistik dan strategis untuk memperoleh sumber daya pengelola (dosen dan karyawan). Standard kompetensi dosen haruslah sesuai dengan nilai instrinsik dosen tersebut yaitu kognisi, afeksi dan psikomotoriknya. Aspek kognisi terdiri dari knowledge (pengetahuannya), comprehension (kemampuan memahami), aplication (kemampuan penerapan), analisis (kemampuan menganalisis informasi), sinthetis (kemampuan menggabungkan beberapa informasi) dan evaluation (kemampuan mempertimbangan dan mengukur value atau nilai baik/ buruk untuk mengambil suatu keputusan. Aspek Afeksi didasarkan atas penilaian sikap, tingkah laku, emosi, peminatan (keseriusan) menjadi pendidik dan pengamatan langsung terhadap aktivitas interaksi. dalam kegiatan belajar mengajar. Aspek psikomotorik didasarkan atas konsep pembelajaran dan penguasaan kondisi dan situasi belajar mengajar. Oleh karenanya aspek motorik tersebut dapat dicapai atau dipenuhi manakala dosen tersebut telah memiliki pengalaman mengorganisasikan pemikiran dan mengorganisasikan interaksi personalitinya dalam lingkup pengalaman organisasi yang pernah dimilikinya.

Kegiatan manajerial untuk melakukan verifikasi – investigasi tersebut dilakukan dalam lingkup pertama, yaitu perencanaan sumber daya manusia yang meliputi pertimbangan-pertimbangan apa yang dipakai untuk merekrut sumber daya dosen. Kedua pengadaan sumber daya manusia, berupa pengadaan, seleksi dan uji coba penempatan, dan ketiga pengembangan sumber daya manusia berupa pelatihan dan pendidikan, serta pemberian motivasi, reward dan punishement untuk memberikan arah bagi kualitas sumber daya manusia. Ketiga fase tersebut diatas dilakukan dengan merujuk kepada tingkat profesionalitas standard dan pendekatan mendapatkan sumber daya manusia yang terecana, terorganisasir dan berkualitas dari segi konsep maupun ukurannya.

Pengubahan paradigma berangkat dari proposisi bahwa melakukan pengubahan manajemen perguruan tinggi adalah suatu kebutuhan. Dan membangun kebutuhan akademis tersebut harus dimulai dengan adanya persepsi yang sama, citra yang sama, kesadaran yang sama dan pengetauan yang sama. Nilai ini harus dimiliki oleh pimpinan perguruan tinggi baik dijajaran struktural maupun fungsional sampai dengan seluruh civitas akademika.

Setiap orang harus memiliki komitmen untuk melakukan yang terbaik. Atas dasar itulah, maka seluruh kegiatan yang dijalankan mengarah pada peningkatan mutu akademik. Proses belajar mengajar, alokasi anggaran dan kegiatan kemahasiswaan semuanya mengacu pada peningkatan mutu akademik. Tidak ada satu kegiatan pun yang dilakukan perguruan tinggi di luar kepentingan akademik.

Keinginan bersama mengubah manajemen di perguruan tinggi dapat dilakukan, bila pimpinan bersikap terbuka dan transparan, melibatkan banyak pihak dan mengakomodir berbagai kepentingan sivitas akademika. Tanpa sikap-sikap seperti ini akan sulit dilakukan perubahan manajemen di perguruan tinggi.

Proses belajar mengajar akan mampu meningkatkan mutu akademik bila tenaga pengajar memiliki keahlian (expert) dalam bidang ilmu yang ditekuninya. Peningkatan kualitas tenaga pengajar dalam berbagai jenjang, termasuk pola-pola pelatihan dan penajaman kemampuan concept & technical teaching merupakan kebutuhan yang tidak boleh terhenti. Dosen harus memiliki up grade ilmu setiap saat,

Penataan dan alokasi dana bagi penyelenggaraan kegiatan perguruan tinggi pun sebenarnya harus melibatkan civitas akademika dan bersifat transparan. Sebab transparansi penyusunan dan pengelolaan anggaran di perguruan tinggi akan berdampak pada kinerja akademik dan administratur di perguruan tinggi, karena mereka menjadi lebih mengerti dan memahami arah dan strategi pencapaian kualitas eksistensi Perguruan Tinggi tersebut.

Pengembangan keilmuan di perguruan tinggi baik dilakukan oleh mahasiswa maupun dosen juga ditentukan oleh berbagai fasilitas fisik dan sarana pendukung lainnya. Sarana pendukung yang terpenting adalah perpustakaan dan dinamika kosntruktif aktivitas lembaga kemahasiswaan intra universitier yang dimiliki dan diakomodasi kampus. Kedua masalah tersebut merupakan masalah kronis bagi sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia. Padahal dua hal tersebut merupakan urat nadi bagi sebuah perguruan tinggi.

Konsep ketiga adalah suksesi. Yaitu tahap dimana perguruan tinggi mampu mengambil pilihan-pilihan obyektif untuk kepentingan sasaran peserta didiknya. Setiap Keputusan yang dilakukan oleh institusi perguruan tinggi, haruslah memiliki substansi keputusan yang bersifat akademis. yakni proses pengambilan keputusan yang didasarkan atas berjalannya proses komunikasi yang merujuk kepada dimensi nilai bagi kemaslahatan seluruh civitas akademika. dengan kata lain, jika dimanifestasikan kedalam kerangka berfikir akademis, maka keputusan institusi pendidikan tinggi haruslah bercermin pada konsep wawasan almamater, statuta akademis, dan pertimbangan moral dan mutu kualitas pendidikan di institusi perguruan tinggi tersebut.

Demikian, agar kita semua mengetahui dan memahami kompleksitas dan problem yang dihadapi oleh lembaga pendidikan tinggi dalam mengelola institusinya. Pada akhirnya mudah-mudahan masyarakat berharap perguruan tinggi tidak meredusir tantangan manajerial tersebut sehingga mencederai segi-segi otentitas dan kualitas output lulusan perguruan tinggi.

* Penulis tergabung kedalam CEC (Care Education Community)

Tidak ada komentar: