Kamis, 24 April 2008

KEJUJURAN AKADEMIK


Dimanapun dan sampai kapanpun, yang namanya kejujuran adalah sesuatu yang mutlak yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Dengan kejujuran niscaya seseorang akan dapat mengisi hidup dan kehidupannya dengan baik. Kejujuran adalah apa yang dilakukan oleh seseorang sesuai dengan seberapa besar orang tersebut memahami dan memaknai otentitas sesuatu dari aktivitas kehidupan yang dilakukannya. Itulah ukuran tentang seberapa besar nilai kualitas hidup seseorang. Bangsa ini menjadi terdegradasi kualitas moral kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakatnya pun salah satu sebab yang signifikan berasal dari masalah kejujuran tersebut.

Kejujuran dengan kata lain menjadi salah satu tolok ukur dalam setiap aktivitas kehidupan, tidak terkecuali dalam lingkungan dunia pendidikan-pun, masalah kejujuran menjadi salah satu indikator keberhasilan dalam proses kegiatan belajar-mengajar yang dilakukan. Alih-alih ingin memperoleh hasil yang maksimal dan positif, namun jika dilakukan secara tidak jujur maka implikasinya tetap saja tidak akan baik. Walaupun dikatakan lembaga pendidikan dikatakan berhasil, namun sejatinya keberhasilan tersebut adalah keberhasilan yang semu, Sebab proses menuju keberhasilan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tidak jujur.

Diberbagai tingkatan dalam dunia pendidikan, juga sering kita alami praktek-praktek ketidakjujuran tersebut. Salah satu bentuk ketidakjujuran yang terdapat di lingkungan dunia pendidikan, khususnya di lembaga pendidikan tinggi kerap dilakukan oleh dosen maupun mahasiswa. Misalnya melakukan plagiasi atau menyontek. Bahkan masalah ketidak jujuran tersebut juga kerap pula menghinggapi lembaga pendidikan, misalnya berupa penegasian dan membuat simplifikasi-absurd standarisasi kompetensi dan kualifikasi kurikulum.

Kita harus menyadari bahwa persoalan kejujuran akademik, sampai kapanpun tetap akan selalu ada. Sebab kejujuran akademik adalah masalah kejujuran hati nurani. Biar bagaimanapun kebijakan yang digulirkan lembaga pendidikan dengan tujuan mengeliminir setiap ruang ketidakjujuran, namun tetap saja sebenarnya yang bisa mengontrol kejujuran akademik tersebut adalah diri pribadi pelaku dalam dunia pendidikan itu sendiri. Sekali lagi keberhasilan karir seseorang dalam dunia pendidikan, jika ia melandaskan diri dari aktivitas ketidakjujuran dalam memperoleh hasil akademis, maka sejatinya ia berdiri pada hasil yang semu. Tidak akan bisa dinikmati secara hakiki. Sampai kapanpun kepalsuan atas apa yang dilakukan, akan senantiasa terus teringat selama hidup. Itu artinya siapapun orangnya, jika ia melakukan ketidakjujuran akademik, ia akan selalu mengingat peristiwa itu, yang pada akhirnya membuat ketidaknyamanan dalam memori hidupnya sendiri.

Kejujuran Akademik Dalam Perspektif Tri Dharma Perguruan Tinggi

Mahasiswa yang berhasil melalui cara-cara yang tidak jujur dengan cara menyontek karya orang atau plagiasi hasil karya akademiknya, akan senantiasa dirasakan dalam bentuk ketidakcakapan (incompetency) dalam dunia kerja atau dalam praktek-praktek lainnya dalam kehidupannya kelak. Dengan kata lain bisa jadi ia berhasil dalam nilai, namun tidak akan mendapat tempat dalam kapasitas hidupnya dimata orang lain, lebih-lebih dalam dunia kerja. Sebab nilai yang diperoleh adalah palsu.

Bagaimana dengan dosen yang melakukan ketidakjujuran akademik ? Jika kita menelaah peran dosen sesuai dengan pola aplikasi dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, kita bisa melihatnya dalam praktek-praktek sebagai berikut :

Dalam dunia pengajaran misalnya, dosen yang melakukan kejujuran akademik adalah dosen yang senantiasa melakukan kegiatan pengajarannya sesuai dengan latar belakang keilmuan dan kompetensi atau keahlian yang dimilikinya, ia menguasai materi kuliah dan memberikan materi kuliah sesuai konteks kurikulum yang dibebankan oleh lembaga kepada dosen yang bersangkutan. Mengusai materi kuliah juga tidak cukup, ia juga otentik terhadap bahan ajarnya, sehingga materi yang disampaikannya juga relevan dengan content dan kualifikasi mata kuliah yang diajarkan. Dosen yang melakukan ketidakjujuran secara akademik, dapat dilihat dari perspektif ini, yaitu kerap tidak menguasai materi mata kuliah, tidak cakap memberikan apresiasi perkuliahan kepada mahasiswa karena tidak memiliki otentitas sikap, sifat, dan referensi memadai terhadap bahan ajarnya yang berimplikasi kepada tidak kredibelnya dosen dimata mahasiswa. Dosen yang tidak melakukan kejujuran akademik juga dapat dilihat dari ketidak sesuaian dan ketidakmaksimalan seorang dosen mengelola waktu beban akademik yang diberikan dalam muatan mata kuliah yang diajarkannya kepada mahasiswa yang berimplikasi kepada tidak maksimalnya proses transformasi keilmuan yang didapatkan mahasiswa.

Kegiatan penelitian sebagai salah satu aspek Tri Dharma Perguruan Tinggi juga dapat kita lihat dari aktivitas yang dilakukan oleh dosen. Bentuk-bentuk penelitian yang dilakukan oleh dosen amatlah beragam. Dan salah satu kegiatan penelitian yang dilakukan oleh dosen adalah menghasilkan kontribusi berupa karya-karya ilmiah dan hasil studi. Baik berupa hasil objek aplikatif yang dilakukan oleh dosen di masyarakat, maupun berupa karya-karya akademis semisal buku dan tulisan-tulisan ilmiah. Faktor ini menjadi penting mengingat salah satu indikator jenjang kepangkatan akademik, dan kredibilitasnya seorang dosen adalah ketika ia berhasil memberikan berbagai kontribusi berupa hasil karya akademik secara ilmiah dan diakui oleh komunitas ilmiah.

Dosen yang melakukan kejujujuran akademik adalah dosen yang senantiasa melakukan proses kegiatan penelitian tersebut secara otentik. Kaidah, prosedur, metodologi dan kode etik ilmiah dalam kegiatan penelitian kerap senantiasa dijunjung tinggi tanpa menegasikan unsur-unsur korelasi dan interelasi keaslian dan komparasinya dengan karya ilmiah orang lain. Sebaliknya dosen yang tidak melakukan kejujuran akademiknya dapat dilihat dari perspektif ini misalnya dengan menegasikan kaidah, prosedur, metodologi dan kode etik ilmiah dalam kegiatan penelitian. Sengaja atau tidak sengaja dengan melakukan kegiatan seperti itu, akhirnya menyebabkan dispute-nya sebuah karya ilmiah. Contoh paling dangkal dalam kasus ini adalah misalnya dosen yang begitu gampang mudah mengutip pendapat tertulis yang pernah di kemukakan orang lain, tanpa memperhatikan tata cara pengutipan (langsung dan tidak langsung) atau menggunakan catatan kaki (bca : footnote) baik secara redaksional maupun subtansial, bahkan kerap hal tersebut dilakukan secara sengaja, sehingga seolah-olah redaksi dan pemikiran akademisnya yang dinyatakan secara tekstual. Jadi amatlah ironis, ketika seorang dosen kesal terhadap mahasiswanya yang melakukan plagiasi, namun dosen itu sendiri melakukan plagiasi. Bahkan terminologi yang paling relevan untuk mendefinisikan dosen yang seperti ini adalah sebagai pelacur intelektual.

Dengan demikian jika kita ingin menjunjung idealisme dalam lingkungan pendidikan, maka sejatinya junjunglah kejujuran akademis, minimal dalam kerangka pengabdian kepada Tri Dharma Perguruan Tinggi. Persoalannya memang bukan pada masalah bisa atau tidak bisa kita sebagai dosen melakukan itu, tapi pada masalahnya mau atau tidak mau. Itu saja. Dan satu hal lagi sampai kapanpun, jika kita melakukan ketidakjujuran atau kebohongan akademik, kita kembalikan saja kepada hati nurani masing-masing. Tanggung jawab dan integritas diri ada pada diri masing-masing. Namun yang terpenting dalam sebuah komunitas ilmiah seperti lembaga pendidikan adalah seyogianya tetap ikhtiar dan memiliki political will dalam memperjuangkan misi kejujuran akademik ini diberbagai spektrum aktivitas kegiatan pendidikan.(andi trinanda - Care Education Community)

Tidak ada komentar: