Selasa, 08 April 2008

PRESIDEN PIDATO... PEJABAT TIDUR... ?

Fenomena pejabat tidak memiliki sense of respect berupa tidak mendengarkan pidato Presiden terjadi lagi. Setelah pidato didepan para guru (PGRI), kemudian di Istana negara, terakhir baru-baru ini kembali terjadi. Kali ini di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghentikan pidatonya dalam pembekalan kepada peserta forum konsolidasi pimpinan daerah, bupati, wali kota, ketua DPRD kabupaten/kota di Gedung Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta, Selasa (8/4), karena mendapati peserta yang mendengarkan pidatonya tertidur. "Itu coba bangunkan yang tidur itu. Kalau tidur di luar saja!" ujarnya menunjuk pimpian daerah yang masih terlelap tidur. Kemudian SBY meneruskan lagi kejengkelannya dengan kalimat :"Pimpinan bagaimana dapat memimpin rakyat kalau tidur! Malu dengan rakyat yang memilih. Untuk mendengarkan pembicaraan untuk rakyat saja tidur! Jangan main-main dengan tangung jawab. Berdosa, bersalah dengan rakyat," ujarnya. Presiden akhirnya meminta kepada Ketua Lemhanas Muladi agar peserta konsolidasi yang tertidur tidak diluluskan karena masuk dalam kategori pemimpin yang tidak bisa mengendalikan diri. Menurut SBY "Lembaga yang bisa meluluskan pemimpin yang kepribadiannya jelek akan menjadi racun. Jangan diluluskan. Bukan karena tidak pandai, tetapi tidak bagus kepribadiannya," Namun Bos Lemhanas Muladi malah membela bahwa yang namanya ngantuk itu manusiawi dan yang ngantuk itu punya kencing manis… dan seterusnya bahkan beliau menyatakan peserta yang diminta SBY agar tidak diluluskan tersebut tetap akan diluluskan….

Secara kognitif, kata para pakar otak kiri kita mamang maksimal mampu secara konsisten menyerap informasi (pesan) paling lama sekitar 15 sampai 30 menit, lebih dari waktu itu bisanya otak kiri kita sudah cenderung tidak fokus,instabil, distorsif dan sebagainya. Hal tersebut sebenarnya didorong oleh gairah dan stimulasi lingkungan yang direspons oleh otak kanan. Jadi memang manusiawi jika pada komunitas yang sedang mendengarkan pesan, ada satu atau dua individu yang mengalami kondisi demikian. Misalnya ngobrol, tidak mendengarkan komunikator, asyik dengan dirinya sendiri, ngantuk dan sebagainya. Itu adalah sekali lagi karena reaksi lingkungan yang di stimulir oleh belahan otak kanan kita. Bahkan ngantuk juga katanya adalah manusiawi. Tapi bukankah yang namanya manusia itu adalah makhluk yang mampu mengontrol dan mengorganisasikan semua respon lingkungan, jika semua dari kita menjustifikasi kata manusiawi sebagai suatu reaksi dari tindakan apapun yang kita lakukan, maka salah-salah kita sebenarnya malah menjadi manusia yang tidak manusiawi, padahal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan benegara manusia kan punya prinsip komunalisme dan tatanan yang dibingkai oleh norma. Kalau semua orang menjustifikasi tindakannya dengan kata manusiawi, maka jangan-jangan mencuri pun manusiawi jika kita tidak punya uang dan sedang lapar, kebutuhan mengenai seks juga manusiawi karena semua manusia membutuhkan itu, dan apabila tidak tersalurkan, maka tempat-tempat maksiat pun bisa bertoleransi terhadap kata manusiawi kita. Saya kira pada ghalibnya kita harus menelaah istilah ”kata manusiawi” dalam perspektif yang lebih proporsional agar kita tidak terjebak pada suatu budaya komunikasi yang membenarkan suatu tindakan yang sejatinya tidak sesuai dengan nilai-nilai komunalitas. Istilah manusiawi haruslah merujuk pada aktivitas yang memiliki tingkat toleransi-kemanusiaan dalam aktivitas kehidupan manusia secara mondial.

Dalam konteks pejabat yang tidak mendengarkan/ tidur ketika Presiden berpidato.- dilihat dari sudut manapun juga tidak akan patut berada dalam nilai-nilai komunalisme manusiawi, terlebih-lebih menyangkut etika relationship dalam level tatanan kehidupan bertata negara. Teguran-teguran SBY seperti yang dilansir oleh media kepada pejabat yang tidak mendengarkan/ tidur itulah yang sejatinya menurut saya sangat manusiawi. SBY memang tidak memiliki porsi untuk memberikan sangsi karena pejabat publik di tingkat daerah adalah menjadi kewenangan rakyat didaerah untuk menentukan pemimpinya. Tapi sebagai presiden, SBY memiliki hak subordinatif kepada bawahannya dan terlebih-lebih SBY memiliki hak mengakselerasikan prinsip pembelajaran bagi image pejabat dimata publik, yaitu memberikan pemahaman kepada pejabat tersebut tentang dampak dari distorsifnya pemahaman komunalisme dalam prinsip relationship yang akan meredefinisi kembali public perception (persepsi publik), public confidence (kepercayaan publik), public support (respect dan dukungan publik) dan public cooperatif (kerjasama/ kemauan publik). Pejabat yang miskin pemahaman komunalisme tatanan dalam prinsip relationship itulah yang dipahami oleh SBY sebagai manusia yang tidak berkepribadian. Implikasi dari itu semua adalah persis apa yang dikatakan Ketua DPR Agung Laksono, bahwa konsekwensi menjadi pejabat publik adalah kognisi, afeksi dan konasinya akan senantiasa dinilai publik. Jadi mengekspose pejabat tersebut dan mempublikasikan peristiwa (tidak respect-nya kepada Presiden dengan berperilaku tidak etis) kepada publik adalah bagian dari konsekwensi yang harus diterimanya sebagai pejabat publik. Terakhir menurut saya adalah kita sangat beruntung memiliki Presiden yang memiliki tingkat komunikasi verbal secara terukur, sistematis dan memiliki sense of human dalam redaksi pilihan kata-katanya sehingga tokoh sekaliber Prof. Dr. Muladi SH, saja sampai menganggap hal tersebut adalah peristiwa biasa. Seandainya bukan SBY ...... atau seandainya kondisi tersebut terjadi di zaman Orde Baru......... bagaimana dengan pejabat itu ya... wallahualam

Tidak ada komentar: